KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan
Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*
Kedua, adalah merupakan pandangan yang mungkin untuk menggugah banyak anasir emosi yang ada di dalam jiwa kita dengan dua cara:
Pertama, menggunakan akal agar mengingatkan diri kita akan emosi dan perasaan yang tersembunyi, dengan harapan bisa menggugah dan mengarahkannya pada tujuan dan jalan yang dituju.
Sebagai contoh, ketika kita ada di hadapan orang kaya, kita berusaha untuk menggugah rasa emapatinya kepada orang miskin yang ada di sekitarnya, lalu akal dan pikirannya pun menyadari, bahwa adalah sebuah kedhaliman yang nyata dalam masyarakat ketika ada jurang perbedaan kekayaan materi antara dua saudara yang bertetangga, dan akibat besarnya dalam masyarakat adalah begini dan begini, adalah sangat tidak masuk akal ketika ada tetangga yang kelaparan bukan karena dosa yang dilakukannya, sementara dirinya hidup dalam kelimpahan padahal tidak ada yang istimewa dalam dirinya.
Sesungguhnya anda dengan ungkapan ini dan semisalnya, hendak mengingatkan akalnya dengan bahasa logika kepada buruknya kondisi tetangga yang miskin tersebut, dengan harapan orang kaya itu akalnya menerima, tergugah rasa kasih sayangnya, sehingga ia tergerak untuk berempati kepada tetangganya yang miskin.
Namun cara ini tidak berhasil sama sekali, karena emosi jiwa itu tidak akan tergerak oleh akal, tetapi oleh tembusan rasa ke dalam jiwa.
Kondisi si miskin yang mengenaskan karena kelaparan adalah pandangan yang menyakitkan bagi si kaya, menggoyang perasaan dan akhirnya mempengaruhinya, bukan karena pikiran para pembaharu dan bukan karena logika ahli filsafat sekalipun.
Kalau seandainya pemikiran dan logika memiliki kekuasaan untuk menembus ke perasaan, pasti orang-orang yang miskin papa itu akan merubah penampilannya yang mengundang rasa kasihan, dengan papan pengumuman di dada yang menjelaskan kondisi sosial mereka yang berbeda, dan berhujjah dengan bukti-bukti yang membuat orang lain memperhatikan kondisi mereka yang sangat sengsara dan menyedihkan.
Kedua, Menggunakan cara deskripsi dan penggambaran, meletakkan gambaran ini dalam alam khayal, jika tidak mungkin meletakkannya di depan mata kepala mereka, tanpa memakai sedkiitpun sarana pikiran maupun logika.
Ini adalah cara yang sangat jitu bagi seorang murabbi yang ingin menggunakan sarana menggugah emosi anak didiknya untuk sampai pada tujuan tarbiyahnya, dan inilah cara yang telah digunakan oleh Al Quran.
Sesungguhnya Al Quran itu tidak akan berdialog dengan akal kecuali apabila ada ingin mengingatkan akan hakikat ilmiah dan pikiran semata. Namun apabila Al Quran hendak beridialog dengan perasaan yang tersembunyi dalam jiwa, maka Al Quran akan memakai sarana penggambaran dan deskripsi, lalu meletakkannya dalam khayalan pembaca dan pendengarnya, ibarat kaca paling bening yang mampu memantulkan gambar yang kita inginkan dengan lebih jelas dan nyata.
Bisa jadi Al Quran memaparkan gambaran ini ke dalam jiwa kita hanya dengan satu kata atau dengan beberapa ayat, sesuai dengan kondisi, artikulasi dan konteks pembicaraan.
Perhatikanlah beberapa ayat, di antaranya dalam surat Al Isra :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra : 23)
Ayat ini berdialog dengan akal manusia, memerintahkan manusia agar tidak beribadah kepada selain Allah, berbakti kepada kedua orang tua, tidak menyakitinya dengan kata ataupun perbuatan, namun agar perintah-perintah ini bisa dilaksanakan dengan baik, maka ia butuh ketundukan hati pada Allah yang harus digerakkan, sekaligus juga penerimaan akal sehat terhadap perintah ini, lalu di kata apakah Allah tumbuhkan dan gerakkan perasaan hati yang tunduk tersebut?
Rahasia jawabannya adalah ada di kata عِنْدَكَ “indaka.” Seandainya kata ini dihilangkan, maka hilanglah faktor terbesar yang memiliki pengaruh dalam hati, satu kata namun penuh dengan segudang perasaan yang mempengaruhi jiwa manusia, karena ayat ini memberikan gambaran kepada pembaca dan pendengarnya kondisi kedua orang tuanya yang sudah beranjak tua dan lemah, kemudian kedua orang tua itu hidup nyaman dalam naungan kasih dan sayangnya, setelah dulunya ia dalam naungan kasih dan sayang kedua orang tuanya.
Lihatlah bagaimana Allah menggugah rasa empati dan kasih sayang yang ada dalam jiwa seorang anak dengan gambaran yang diletakkan di depan matanya, tanpa memakai sarana petunjuk, arahan dan peringatan akal pikiran. Seandainya gambaran itu digantikan dengan ungkapan peringatan, ancaman atau semisalnya, maka akan ada pembatas antara akal dengan persepsi jiwa akan gambaran yang cukup menyakitkan itu, dan jauhlah arahan moral itu dari pengaruh kejiwaan yang diinginkan.
Ayat di atas mirip sekali dengan ayat berikut ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.” (QS. Al baqarah : 178)
Ayat ini, seperti yang kita lihat, menetapkan aturan syariat tentang qishash dan diyat atas seorang pembunuh, sebagaimana ditetapkannya ampunan qishash dari keluarga terbunuh yang menuntut agar si pembunuh segera melunasi keseluruhan diyat atau sebagiannya jika keluarga si terbunuh mengampuni sebagiannya.
Hanya saja ayat ini di samping menetapkan hukum aqli yang berdimensi hukum fiqih, ayat ini juga menyentuh perasaan persaudaraan dan kemanusiaan antara si keluarga terbunuh dengan si pembunuh, dengan harapan adanya pengguguran hak dari si keluarga terbunuh, dan ini diungkapkan dengan satu kata saja أَخِيهِ “akhiihi”
Lihatlah makna dan keduduan kata ini dalam ayat tersebut, kata ini hanya sekedar mengingatkan kepada keluarga si terbunuh tanpa mendikte atau mengarahkan kepada suatu tindakan. Satu kata yang mencoba unttuk melukiskan gambaran persaudaraan antara keluarga terbunuh dengan si pembunuh, bahwa si pembunuh adalah juga saudaranya, dan keluarga yang terbunuh adalah wali bagi yang terbunuh. Betapa ada perbedaan yang mencolok antara dua gambaran di sini, satu sisi melukiskan rasa sayang dan pengampun, dan sisi yang yang lain melukiskan hak balas dan dendam.
Seandainya kita ganti kata ini yang penuh makna ini dengan bahasa pengarahan yang hanya menyentuh akal dan pikiran saja, maka hal itu tidak akan mampu menggantikannya. Dan akal tidak akan memberikan pengaruh apapun dengan logika pikirannya, karena perasaan yang ada di dalam jiwa lah yang bergelora dengan rasa dendam dan balas, bukan akal dan pikiran saja.
Mari kita lihat lagi firman Allah dalam ayat yang lain :
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُولُو الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُمْ مِنْهُ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (8) وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (9) إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An Nisa : 8-10)
Kita melihat, bahwa pokok bahasan ayat ini adalah hak anak yatim dan kewajiban kita untuk menjaganya. Dalam ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya ada ancaman keras bagi yang mendapat washiyat harta anak yatim agar tidak menyia-nyiakan nya dan memakan berlebihan melebihi haknya, dan di dalamnya aada perintah umum agar kita menjaga kondisi orang-orang lemah yang kehilangan penuntun dan keluarga yang menanggung mereka.
Sesuai dengan kaidah umum dalam kitab Allah swt, seperti yang telah kami sampaikan pada bab-bab awal, bahwa adalah suatu hal yang niscaya mewarnai hukum fiqih yang penuh perintah dan larangan, dengan menggugah perasaan yang membantu jiwa untuk mudah menerima dan memperhatikannya dengan smangat ketaatan dan cinta, yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana ayat ini menggugah perasaan dan bagaimana caranya ?
Cara menggugah perasaan ini kita lihat berlipat kali diulang dalam ayat ini,
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا (9)
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisa : 9)
Permulaan ayat diawali dengan perintah yang menguatkan perintah-perintah sebelumnya, namun Allah menjelaskan ayat ini dengan mengikat perintah dengan lukisan perasaan yang pengaruhnya sampai kepada kedalaman jiwa hamba yang diajak berdialog dalam ayat ini secara langsung, yakni perasaan khawatir akan keturunan yang ditinggalkan dalam keadaan lemah tanpa penuntun dan penolong sama sekali.
Penjelasan Allah ini membuahkan gambaran yang menggugah perasaan orang yang diajak berdialog, ketika mereka sadar dan membayangkan kejadiannya, maka akan bangkit rasa kasih sayang dan iba dalam dadanya kepada anak-anak yang masih kecil dan yang yatim di sekitar mereka, lalu Allah pun menurunkan perintah untuk merawat dan menjaga setiap anak yatim yang ada dalam tanggung jawabnya dan melihat hak mereka dengan mata kasih sayang yang manusiawi.
Bisa saja kita melontarkan ungkapan sebagai ganti dari ayat di atas :
(perlakukan anak yatim itu sesuka hatimu memperlakukan anak-anak kalian setelah kalian)
Namun ungkapan ini hanya menyentuh akal semata, dan tidak membuahkan pengaruh apapun dalam perasaan dalam kedalaman jiwa, kecuali jika jiwa seseorang yang kita ajak dialog sudah siap untuk menerima prinsip kemanusiaan seperti ini, sehingga kecenderungan untuk memberikan kasih sayang dan empati mampu mengalahkan kepentingan pribadi dan tarikan keinginan hawa nafsu.
Mari kita baca contoh yang lain, salah satu firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat : 12)
Dalam ayat ini Allah swt melarang ghibah dan memperingatkan kita. Lalu Allah swt menguatkan larangan yang menyentuh akal ini dengan dosa yang mengusik seluruh emosi dan perasaan, Allah lukiskan gambar buruk pelaku ghibah, dengan gambaran orang yang menyayat daging saudaranya sendiri yang sudah menjadi bangkai yang tidak ada tanda hidup sama sekali, gambaran tersebut dipaparkan di depan mata kita agar kita dapat merenunginya dengan sepenuh jiwa dan perasaan. Lalu disusul kemudian dengan pertanyaan, padahal sudah dipaparkan di depan mata kita gambaan ghibah dan hakikatnya, “Apakah engkau suka menyayat tubuh mayat kemudian engkau mengunyah dan memakannya.”
Betapapun besar keinginan dan alasan seseorang untuk ghibah kepada saudaranya, ketika mendengar gambaran buruk ghibah yang terpampang nyata dalam imaginsi dan perasaan ini, tanpa pikir panjang ia akan menolak melakukannya, karena ia akan merasa jijik dan mual.
Jelas masalahnya adalah penggambaran dan imaginasi, sebuah model pendidikan yang tidak ada gantinya, yang mampu menjadikan perasaan menyatu dengan akal dan pikiran.
Ini adalah gambaran dari fenomena “Al Iqran asy Syarthiy”(Perbandingan bersyarat) yang mampu menanamkan pengaruh pada yang dibandingkan sebagaimana yang dirasakan pembanding, sekalipun berada dalam alam khayal saja. Setiap pelaku ghibah yang teringat dengan gambaran Al Quran, maka ia pasti berusaha untuk ikut tidak tenggelam dalam ghibah, ia pasti berusaha untuk membersihkan lidahnya dari gumpalan daging busuk, dengan penyesalan dan istighfar.
Contoh-contoh metode menggugah emosi yang kami kemukakan di muka bertebaran di dalam Al Quran. Cukuplah kami sampaikan bahwa ayat kabar gembira dan buruk dibangun di atas janji dan ancaman yang dikuatkan dengan dalil dan argumen, kemudian dengan gambar yang kami jelaskan dan contohkan.
Jalan pertama adalah dengan menyentuh akal dan kedua dengan menggugah emosi yang ada dalam jiwa setiap anak manusia. Ketika ayat Al Quran masuk dalam jalan yang kedua maka isinya adalah imaginasi dan perasaan jiwa, tanpa meninggalkan untuk payung akal dan pemikiran jalan yang mengotori kebeningan pandangan jiwa tersebut.
Cobalah kita baca semua ayat panjang dalam Al Quran yang berisi janji dan ancaman, gambaran tetang hari kebangkitan dan pengumpulan, maka pasti akan kita dapatkan gambaran yang kami paparkan dengan jelas di muka.
Bukan berarti kita mengecilkan peran akal dan pikiran kita, justru dalam hal ini ada kesatuan dan keistimewaan yang dimiliki oleh setiap akal dan perasaan. Kita membutukan keduanya untuk melakukan aktifitas perbaikan, karena salah satu dari keduanya, yakni akal, akan melukiskan dan merencanakan, sementara yang kedua , yakni perasaan, akan mendorong penerapan dan eksekusinya, salah satu dari keduanya tidak berdiri di atas sandaran di mana yang lain bersandar di atasnya.
Menjadi hal yang harus kita lakukan, agar keduanya, akal dan perasaan bisa melaksanakan tugas masing-masing, maka kita harus mengkombinasikan dan memberikan keistimewaan keduanya, sehingga antara yang satu dengan yang lain tidak saling memperkeruh.
Hal ini berlaku, karena menggugah emosi itu pada hakikatnya adalah menggebah gambaran yang ada dalam imaginasi dan perasaan, ketika akal ikut campur maka gambaran itu akan bias, dan hilang pengaruhnya. Sentuhan akal dan logika berpikir akan bermanfaat jika pada posisinya, ketika mengawali atau menutup peran imaginasi dann perasaan. Inilah metode yang lazim dalam Al Quran, sebuah metode yang mampu menegakkan prinsip dan nilai pendidikan dengan timbangan akal dan hangatnya emosi dan perasaan.