KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan
Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*
C.4. Menggugah emosi
Menggugah emosi bukanlah metode pendidikan yang baik kecuali jika dimaksudkan untuk menundukkan jiwa kepada hakikat ilmiah yang benar atau pada prinsip moral baik. Menggugah emosi adalah metode pendidikan untuk sebuah hasil pendidikan yang ilmiah, bukan semata-mata tujuan yang berdiri sendiri.
Metode ini sangat berbahaya sekali jika digunakan dengan cara yang salah, sebagaimna ia memiliki manfaat besar jika kita mampu melakukannya dengan baik.
Konsep tarbiyah dalam Al Quran mengunakan metode ini dalam menghasilkan hal-hal berikut :
Pertama , bukan sebagai ganti dari aktifitas akal dan hukumnya, namun sebagai penggugah aktifitas akal lalu emosi yang tunduk kepada hukum tersebut.
Kedua, metode ini semaksimal mungkin menggunakan cara menanam image dan hayalan, bukan sebagai proses akal dan logika. ungkapan emosi menjadi minimal dalam gelombang pemikiran dan logika ilmiah.
Ketiga, seorang pendidik hendaknya memadukan seluruh anasir emosi bukan hanya terpusat pada satu unsur saja.
Tiga hal inilah yang dipakai Al Quran dalam seni menggugah emosi, sehingga menjadi metode tarbiyah yang berhasil dan terhindar dari mudharat yang sering kali menjadi sebab bagi timbulnya mudharat tersebut.
Sekarang kita akan lihat bagaimana Al Quran dengan konsep tarbiyahnya memperhatikan tiga hal di atas, dan bagaimana Al Quran menggugah emosi dengan berdasar pada tiga syarat penting di atas :
Pertama, menggugah emosi sesungguhnya bukanlah tujuan pendidikan yang dimaksud, namun dia adalah sarana yang membantu akal agar menguasai nafsu dan berkuasa atasnya.
Hal ini terjadi karena ajakan Al Quran pada dasarnya lebih menyentuh akal dan fikiran, ajakan ini berkaitan dengan prinsip dan hakikat yang tidak akan sampai pada obyek dakwah kecuali dengan jalan akal dan fikiran, seperti iman kepada Allah dan keesaan-Nya, dan keyakinan bahwa hidup di dunia ini bukanlah sebuah kesia-siaan yang menuju kepada kerusakan dan kehancuran.
Kita melihat bagaimana Al Quran sampai pada tujuan itu dengan jalan diskusi terbuka yang mengandung dasar logika yang detail dengan jalan perenungan dan analisa, sekalipun Al Quran dalam memaparkannya tidak menggunakan bahasa dan istilah ilmiah.
Pada awalnya Al Quran menggugah akal untuk mengenali hakikat di atas dengan aneka argument ilmiah dan logika, dan membawa para pemikir untuk menggunakan akal dan pikiran mereka dengan bebas.
Namun setelah itu Al Quran menggugah emosi agar memotong penghalang yang menutupi jalan akal mereka, Al Quran menggugah perpaduan rasa cemas, suka dan cinta, dengan kadar seimbang seperti dalam contoh yang akan kami paparkan sebentar lagi insyaAllah, kemudian jiwa kita tunduk kepada prinsip-prinsip dasar yang telah dijelaskan Al Quran secara nyata di depan akal kita.
Renungkan ayat Allah di bawah ini, yang diawali dengan mengugah akal dan pikiran, membawanya pada kebenaran dengan sarana keilmuan dan pemikiran semata, lalu setelah itu lihatlah bagaimana ayat ini menggugah emosi, rasa takut dan cemas yang tersembunyi di dalam hati agar tidak lari jauh dari kebenaran akal dan ketetapannya yang tidak mungkin diragukan, ayat itu adalah
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ (24) أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا (25) ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا (26) فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا (27) وَعِنَبًا وَقَضْبًا (28) وَزَيْتُونًا وَنَخْلًا (29) وَحَدَائِقَ غُلْبًا (30) وَفَاكِهَةً وَأَبًّا (31) مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ (32) فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ (33) يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (34) وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (35) وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (36) لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ (37) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ (38) ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ (39) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ (40) تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ (41) أُولَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ (42)
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya kami benar-benar Telah mencurahkan air (dari langit). Kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, Lalu kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, Anggur dan sayur-sayuran, Zaitun dan kurma. Kebun-kebun (yang) lebat. Dan buah-buahan serta rumput-rumputan, Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu. Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan bapaknya. Dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. Banyak muka pada hari itu berseri-seri. Tertawa dan bergembira ria. Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu. Dan ditutup lagi oleh kegelapan. Mereka Itulah orang-orang kafir lagi durhaka.” (QS. ‘Abasa : 24-42)
Penggalan pertama teks ayat di atas berisi peringatan kepada akal akan bukti adanya sang maha pencipta dan mengimaninya, sedangkan penggal kedua menggugah emosi manusia dengan membangkitkan rasa harap dan cemas, agar selalu bersama dengan pemahaman akal dan ketetapannya, jangan sampai terpisah dan terlepas darinya.
Dalam surat An Nisa Allah swt memaparkan aturan syariat Islam yang berkenaan dengan anak yatim, washiyat, nikah dan warisan, dimana semuanya ini adalah masuk dalam kategori bahasan pemikiran yang bertumpu pada kemaslahatan dan pengaturan akal semata, namun Allah swt selalu mewarnai ayat-ayat hukum di atas dengan menggugah emosi jiwa agar selalu siap untuk menerima hukum tersebut dan serta merta tunduk terhadap segala hal yang telah diputuskan oleh akal. Allah swt berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1) وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا (2)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (QS. An Nisa : 1-2)
Kita melihat bagaimana Allah menggerakkan emosi para pendengar atau pembaca yang ada di sekitar para pendengarnya, yang masih satu jenis, dan menggerakkan kesatuan rasa kasih dan sayang yang tersimpan di dada mereka, lalu mereka saling mengikat kasih sayang itu di antara mereka, sekaligus juga menjaga faktor keutuhan dan kesuciaannya. Kemudian pada sisi yang lain, Allah swt memperingatkan adzab yang harus dicemaskan oleh setiap jiwa, apabila mereka menyia-nyiakan atau meremehkan urusan mereka, sehingga ketika perasaann ini telah menetap dalam hati, maka hati pun akan siap untuk menerima peerintah, washiyat untuk menjaga keutuhan mereka dan juga kasih sayang dan keakraban yang telah terbina di anatara mereka, lalu Allah memulai ayat berikutnya : “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk.” (QS. An Nisa : 2). Seluruh ayat dalam Al Quran tidak jauh dari gaya bahasa ini, mewarnai setiap dialog aqliah dengan melakukan sentuhan pembuka, sentuhan emosi yang menggugah dan mengingatkan, atau menutup setiap pembahasan ilmiah dengan penutupan rasawi yang mengingatkan jiwa kita akan akibat penolakan dan pembangkangan terhadap akal.
Dari sisi ini kita menjadi tahu, betapa bahayanya tarbiyah berpegang pada emosi dan perasaan sebagai tujuan utama dan bukan sarana, yang dilakukan tanpa ada sentuhan akal yang menjadi jantung pemikiran yang diyakini dan dicenderungi.
Jika yang terjadi seperti ini, maka jiwa kita tidak akan bergerak kecuali hanya bergolak, bersentuhan dengan emosi kosong semata, sehingga ia tidak menangkap kecuali hanya dorongan emosi akal semata, dan tidak berapa lama kemudian emosi itu hilang begitu saja dan kekuatannya lemah di bawah kendali gelombang perasaan yang tidak memilki sandaran apa-apa.
Usaha yang berbahaya ini menjadi sarana empuk orang-orang yang ingin menguasai orang lain untuk mengikuti segala hal yang tidak bersandarkan kepada kekuatan akal dan kebenaran ilmiah. imaginasi dan khayalan liar semata, akan menjadikan pelaku dan akalnya tunduk hina di bawah pengaruhnya.