KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan
Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*
***
A5. Inilah obatnya
Sebelum kami berbicara lebih panjang, akan kami ajukan satu pertanyaan:
“Apakah sekarang anda sudah tahu permasalahan yang kita hadapi?"
“apakah anda yakin dengan penyakit itu sekaligus diagnosanya?”
Karena memahami permasalahan adalah setengah jalan dari sebuah penyelesaian. Yakin akan sebuah penyakit merupakan setengah dari pengobatan.
Jika anda tidak yakin dengan apa yang kami paparkan, anda ragu bahwa pangkal dari musibah yang menimpa kita adalah bahaya besar dosa batin yang telah kami ringkas dalam tulisan yang telah lalu, maka tidak ada gunanya kami jelaskan obat penawarnya, karena untuk apa.
Tapi apabila kata-kata kami sudah anda serap, anda yakin bahwa bahaya besar ini merupakan titik rahasia setiap yang kita keluhkan selama ini, maka anda akan memperhatikan apa yang kami katakan dengan penuh antusiasme, andapun dengan Islam yang anda yakini akan berusaha untuk menjadikan obat penawar ini dengan semaksimal usaha. Anda mengajak umat dan mengingatkan akan bahaya besar itu sekaligus obat penawarnya.
Anda pun yakin bahwa ini adalah obat penawar satu-satunya, dan umat Islam sangat membutuhkannya. Karena itulah obat ini akan kami paparkan kepada diri kami sendiri untuk yang pertama kalinya, lalu kepada umat Islam seluruhnya, dalam rangka saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran dalam menjalankannya.
Kita ini ibarat seorang mahasiswa yang berada di ruang ujian. Dalam kondisi tegang ketika menjawab soal ujian, ia minta kepada pengawas ujian segelas air yang menenangkan gelora pikirannya. Ketika air itu telah datang, ia pun meminumnya dengan segala perasaan…matanya pun terpaku pada gelas, pikirannya pun beralih, membayangkan betapa bening dan betapa lembut gelas yang ada di hadapannya, siapa gerangan yang begitu pandai memproduksinya.
Mahasisiwa itu terlena, ia lupa dengan ujian, soal-soal ujian yang dihadapinya, waktu ujian yang sebentar lagi akan berakhir, terus tenggelam dalam imajinasinya.
Anda tahu apa obat penawar atau solusi yang tepat yang dapat mengingatkan mahasiswa ini dengan ujian yang dihadapinya sekaligus mengembalikan seluruh alur pikirannya seperti semula?
Ini adalah hal yang cukup sederhana.
Solusinya adalah ada orang yang datang mengingatkannya, bahwa dia sedang berada di ruang ujian, waktu ujian sudah hampir habis, dan pengawas segera akan mengambil kertas jawaban dari tangannya.
Kami kira masalah yang mahasiswa dan kita hadapi adalah sama. Tidak ada yang berbeda, kecuali medan ujian kita lebih lebar dan lebih luas cakupannya. Materi ujian kita lebih tinggi. Tetapi obat penawarnya sama, yaitu ada orang yang datang mengingatkan tentang dirinya, mengingatkan tentang masa-masa genting yang telah dilewatinya, mengingatkan akibat buruk yang telah menantinya. Dan sebaik-baik pengingat adalah kata hati yang telah lama ada dirinya.
Obatnya wahai saudara muslimku. Kita ingat akan hakikat diri kita, kita ingat akan tugas besar kita diadakan dunia ini, lalu selalu ingat ketika kita dilalaikan dan dilupakan.
Apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita ini adalah hamba Allah swt. Di tangan-Nya segala kekuasaan, Dia tempat kita kembali, di tangan-Nya pula hidup dan mati kita. Allah berfirman :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“ Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’am : 162)
Hakikat ini telah tercetak dalam diri seorang mukmin maupun kafir. Adapun misi besar kita diciptakan adalah kita meletakkan ubudiyyah pada alam praktek, seluruh prilaku dan amal lahir kita berdiri di atas petunjuknya. Kita merasa tinggi dari seluruh keinginan dan nafsu syahwat. Kita menundukkan seluruh keinginan dan nafsu syahwat dibawah bimbingan perintah Allah. Hanya kepada-Nyalah kita memohon dan tunduk. Hati kita tidak bergantung kepada selain-Nya. Kita tidak berharap kebaikan kecuali kepada-Nya. Tidak berlindung kecuali kepada-Nya. Inilah prilaku yang mempertegas perbedaan antara mukmin dan kafir
Jika kita telah mengetahui misi besar kita, maka kita akan memahami tujuan besar yang kita tuju dalam hidup di dunia ini, mengetahui betapa urgennya tujuan besar ini. Semua yang ada di dunia terbagi menjadi dua. Pertama, segala hal yang menjadi sarana membawa pada tujuan besar. Kedua, segala halangan yang memutus jalan pada tujuan besar. Yang kita lakukan agar sukses sampai kepada tujuan adalah dengan berpegang kepada sarana-sarana yang mendekatkan dan menyampaikan kepada tujuan, berusaha keras untuk menghindari rintangan atau melewatinya dengan selamat.
Inilah prilaku dan sikap yang kita pegang dalam mencapai tujuan besar kita. Sarana-sarana yang kita manfaatkan untuk sampai kepada tujuan besar kita, merupakan bentuk syukur kita kepada Allah. Adapun rintangan yang kita hadapi dan lewati, maka itu adalah wujud kesabaran luar biasa yang diperintahkan Allah.
Tidak ada yang mengingkari hakekat ini kecuali dua model manusia. Pertama, orang yang ingkar kepada Allah, tidak yakin akan kehambaannya, misi dan tujuan besarnya dalam hidup ini. Orang seperti ini tidak masuk dalam tema bahasan kita. Kedua, orang yang lalai dari kehambaan, misi dan tujuan besarnya dalam hidup ini, hal ini terjadi karena orang tersebut tenggelam dalam tipuan dan perangkap dunia yang melalaikan lagi melenakan. Solusi bagi model orang kedua ini adalah harus diingatkan dan diperingatkan.
Allah maha tahu dengan kondisi manusia. Allah tahu bahwa kenikmatan dunia yang melenakan dan melupakan itu sering kali mejauhkan kesadaran manusia dari hakikat dan misi besar dirinya. Lalu Allah tetapkan syiar dua kalimat yang diharapkan melekat di hati mereka, untuk mengingatkan manusia akan diri mereka:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
(Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu aku memohon).
Allah jadikan dua kalimat ini kalimat yang diulang-ulang dalam setiap rakaat shalat. Sehingga dua kalimat ini menjadi pil penguat yang akan melawan nafsu dunia. Manusia selalu sadar, ia adalah hamba Allah yang lemah dan hina di hadapan-Nya. Misi hidupnya adalah tunduk kepada Allah dengan ketundukan sempurna. Manusia yakin tidak ada manfaat atau mudharat kecuali berada dalam kekuasaan-Nya. Allah satu-satunya yang menjadi tumpuan harapan segala hal.
Apabila setiap mukmin selalu menyadari hakikat ini, atau selalu teringat ketika tarikan-tarikan dunia hendak mengikatnya, maka hatinya akan terlepas dari ikatan kepada selainnya. Hatinya tidak tertawan oleh harta, kedudukan, pujian dan kesombongan. Hatinya tidak akan beranjak untuk dengki, iri dan benci dendam. Hatinya tidak berangan-angan kosong dengan menggantungkannya kepada salah satu anak manusia.
Hakikat ubudiyyah (kehambaan)nya kepada Allah telah melebur dalam diri mereka. Mereka tidak berhajat kecuali hanya kepada-Nya. Ia tidak mengetuk kecuali pintu-Nya yang selalu terbuka. Ketika Allah memberi mereka bersyukur dan berusaha menjadikan pemberian itu sebagai sarana untuk menahan ridha-Nya lebih banyak. Ketika Allah tidak banyak atau tidak memberi sama sekali, maka mereka pun sabar dan yakin Allah memiliki rencana yang baik untuk dunia dan akhiratnya.
Hal ini persis dengan yang disabdakan Rasulullah saw kepada sahabat Ibnu Abbas ra. : ”Wahai Ibnu Abbas, kalau kamu minta, maka mintalah kepada Allah. Kalau kamu ingin ditolong, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh penduduk bumi berkumpul untuk mendatangkan manfaat kepadamu, maka tidak ada manfaat yang datang kepadamu kecuali yang telah ditulis oleh Allah untukmu. Ketahuilah seandainya seluruh penduduk bumi ini berkumpul untuk menimpakan mudharat atasmu, maka tidak ada kemudhratan kecuali yang telah dituliskan oleh Allah untukmu.” (HR. Turmudzi)
Sabda Rasulullah saw ini menjelaskan dengan tegas, tidaklah menjadi syarat untuk melepaskan ketergantungan hati kita dengan dunia, mencabut naluri hajat kita akan dunia dan kelezatannya. Ini adalah sikap yang tidak benar. Sikap melawan fitrah yang telah dititipkankan Allah dalam diri hamba-Nya. Tapi yang dituntut oleh sabda Rasulullah saw adalah, hendaknya kita berhajat hanya kepada Allah, minta kepada-Nya segala hal yang kita suka dan inginkan. Kita mengadu atas segala ketidakbaikan yang menimpa kita hanya kepada-Nya. Sesuai dengan tuntunan firman-Nya :
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“ Maka mintalah rezki itu di sisi Allah.” (QS. Al Ankabut : 17)
وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. An Nisa : 32)
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya Aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (QS. Adz Dzariyat : 50)
Bahkan ketika seorang hatinya terikat kepada Allah, maka ubudiyyah (kehambannya) semakin meningkat, seiring dengan rasa butuh dan hajatnya yang semakin membuncah.
Karena yang inti dari ubudiyyah itu adalah memperlihatkan kelemahan, butuh dan hajat kita kepada-Nya. Allah berfirman : “Manusia diciptakan dalam kondisi lemah.” (QS. An Nisa : ) Kalau bukan karena hajat yang tertanam dalam fitrah yang membuat hati kita selalu butuh kepada-Nya, kalau bukan karena kelemahan kita untuk memenuhi seluruh hajat yang ada dalam fitrah kita, maka tidak ada makna sama sekali komitmen ubudiyyah kita kepada-Nya.
Karenanya, bukanlah suatu kontradiksi dalam sikap kita, ketika kita rela dengan keputusan Allah pada satu saat dan pada saat yang lain kita mengadu atas keputusan-Nya pula. Keduanya merupakan dua sikap yang mana ubudiyyah tidak akan sempurna tanpa keduanya.
Dua sikap ini dihimpun oleh Rasulullah saw dalam doanya, ketika kembali dari Thaif :
“Ya Allah kami mengadu kepada-Mu akan lemahnya kekuatanku, pikiran dan kedudukanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha pengasih, Rab hamba-hamba yang lemah dan Rabku. Kepada siapa akan engkau serahkan aku, apakah kepada orang jauh yang tidak suka keahadiranku atau musuh yang Engkau kuasakan atas segala urusanku, selama Engkau tidak murka keapadaku maka aku tidak peduli. Tapi pintu maaf-Mu begitu luas. Aku berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menyingkap segala kegelapan dan menjadikan baik setiap setiap urusan dunia dan akhirat, dari turunnya kemarahan dan murka-Mu, kepada-Mu aku ridha (atas segala yang menimpa diriku) sehingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali atas ijin-Mu.”
Jadi, Obat penawar bagi sakit yang menimpa hati kita karena dosa batin, adalah dengan selalu mengingat hakikat diri kita, selalu memahami misi hidup yang dibebankan Allah kepada kita. Lalu kita jadikan semua itu di depan mata hati kita sebagai puncak tujuan hidup, dan dunia kita jadikan sebagai sarana untuk mencapainya.
Inilah hakikat ubudiyyah kita kepada Allah. Itulah maqam tertinggi orang-orang yang gigih menempuh jalan kepada-Nya. Inilah Maqam mulia yang selalu didambakan oleh hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Sementara kebanyakan manusia ibadahnya bias dari hakikat ini, ibadahnya hanya berhenti sebatas kulit yang lepas dari hakikatnya.
*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.
Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.
Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.
Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.