2. Krisis Wawasan Keislaman
Sungguh aneh tapi nyata, kebanyakan para aktivis Gerakan Dakwah mengalami kerisis wawasan keislaman. Bahkan amat memprihatinkan, sebagain para pemimpinnya mengalami nasib yanga sama. Kondisi ini telah memprihatinkan penulis sejak awal tahun 1990an. Kondisinya semakin parah sejak era reformasi yang membuka peluang kehidupan dakwah agak lebih longgar dibanding zaman Orde Baru yang diktator dan militeristik. Keterlibatkan mereka pada aktivitas politik praktis telah pula membuat wawasan keinlsaman mereka semakin dangkal dan menyempit, bahkan terkadang kacau, karena seluruh perhatian, waktu, pikiran dan bahkan mimpipun terfokus pada masalah politik praktis. Mereka dilalaikan oleh mimpi-mipmi kekuasaan dan kesenangan duniawi dan tidak tertarik membangun para pemmimpin dan kader dengan kekuatan ilmu. Anehnya lagi, tujuannya hanya satu, yakni melipatgandakan perolehan suara dalam pilkada-pilkada dan Pilpres. Atau dengan bahasa lain adalah “mengejar kekuasaan”. Dalihnya beragam, sejak dari kekuasaan murini sampai strategi memenangkan Isalm lewat balantika politik dan kekuasaan dalam rimba kehidupan jahiliyah.
Tidak sedikit di antara mereka yang bicara dan bekerja keras hanya masalah politik praktis alias kekuasaan, sampai-sampai sholat fardhu berjamaah di Masjid, khususnya shalat subuh terabaikan. Baca Qur’an yang menjadi wirid harian para kader dakwah juga tidak lagi menjadi kebiasaan. Lupa bahwa untuk membangun sebuah kekuasaan atau pemerintahan memerlukan keimanan pada Allah yang yang kuat, akhlak kookoh, dan keilmuan yang komprehensif dan mendalam. Kalau tidak, hanya merupakan angan-angan kososng dan fatamorgana, atau ibarat orang yang sedang mengigau di siang bolong.
Fakta membuktikan bahwa keterlibatan ribuan kader dakwah di parlemen (legislatif) sejak sepuluh tahun belakangan, belum mampu memberikan pengaruh yang berarti dalam sistem pemerintahan “jahiliyah”, apalagi melakukan perubahan yang signifikan, kendati beberapa kader dakwah yang sudah menjabat di eksekutif sebagai menteri, wali kota, bupati dan sebagainya. Sebaliknya, yang terpengaruhi sistim atau prilaku yang kontra dengan nilai-nilai dakwah Nampak pula bermunculan. Kalau kita tanyakan, mereka hanya berapologi sambil berkata dengan enteng : untuk melakukan perubahan atau perbaikan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, atau dengan dalil lain : Kitakan masih minoritas di parlemen dan eksekutif? Jawaban yang amat klise. Anehnyam syahwat harta dan kekuasaan mereka Nampak lebih dominan ketimbang strategi, ikhtiyar dan kerativitas dakwah yang mereka lakukan. Di samping itu, mereka tidak mau membuka pintu diskusi dan dialog secara ilmiah. Pintu dialog dengan mereka seakan tertutup mati. Sebaliknya, kritik dan kajian ilmiyahpun dianggap sebagai dosa yang bernama “najwa’ (berbisi-bisik) dan berbagai label negative lainnya.
Yang lebih ironis lagi ialah jika para pemimpin, penanggung jawab atau elite Gerakan Dakwah sebagai menjadi lokomotif dakwah yang mengalami krisis wawsan keislaman tersebut. Apa jadinya Gerakan Dakwah yang tidak dibangun di atas wawsan keisalaman yang benar dan luas? Apa yang menjadi standar Gerakan Dakwah dalam segala tindak tanduknya, baik yang terkait dengan mabadik (prinsip), khuthuwat (strategi), asalib (metode) dan wasa-il (sarana)?
Prinsip-prinsip Dakwah dan Tarbiyahpun kelihatannya juga belum dipahami dengan baik. Islam macam apa yang mereka mau perjuangakan? Apakah Islam yang dipahami dengan baik dengan berbagai teori dan metode keislaman yang mapan yang menjadi landasan pergerakan Dakwah? Atau Islam yang hanya berdasarkan presepsi mereka sendiri seperti yang dilakukan oleh kaum Ahlul Kitab yang tidak mengerti isi dan esensi Al-Kitab kecuali hanya sesuai presepsi dan dugaan mereke belaka?
Dan di antara mereka (Ahlul Kitab) adalah kaum ummiyuun, mereka tidak mengerti isi Al-kitab kecuali angan-angan (presepsi-presepsi) dan tidaklah (pengetahuan mereke) kecuali menduga-duga. (Q.S. Albaqarah / 2 : 78)
Sebab itu, tidak heran jika tingkah laku sebagian pemimpin dan aktivis dakwah dalam kehidupan sehari-hari; dalam berdakwah, apalagi dalam berpolitik praktis terlihat aneh, kontradiktif dan sekaligus menggelikan. Banyak dari mereka yang tidak memahami antara keharusan berpegang teguh pada prinsip dan keharusan menggunakan metode atau cara yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip irtu sendiri ketika menghadapi sbebuah kenyataan dalam lapangan kehidupan politik.
Contoh sederhana ialah : Prinsip Dakwah mengajarkan bahwa setiap amal perbuatan harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata. Namun, ketika melakukan suatu kegiatan sosial, kususnya saat kampanye Pilkada, Pemilu atau Pilpres, mereka lakukan untuk mendapatkan imbalan dari masyarakat seperti, pujian, dunkungan suara atau motif lainnya. Contoh lain ialah, dakwah yang begitu luas lapangan dan sarananya, mereka sempitkan dengan kegiatan-kegiatan politik praktis dengan alasan mengejar kekuasaan. Menurut mereka, memperoleh kekuasaan adalah suatu keniscayaan untuk menegakkan nilai-nilai Islam kendati dengan melanggar nilai-nilai dakwah yang suci, seperi keikhlasan, kejujuran (tidak berbohong), al-walak (loyalitas pada Allah, Rasul dan orang-orang beriman), al-barok (berlepas diri segala bentuk thaghut dan jahiliyah), kebersihan harta yang dijadikan modal berdakwah dan berpolitik, gaya hidup sederhana dan sebagainya. Semua itu mereka bungkus dengan bungkusan sedrhana nan lucu “ untuk Kemenangan Dakawah”.
Gambaran seperti di atas sangat banyak kita temukan di lapangan dengan berbagai bentuk dan warna. Yang amat meyedihkan lagi ialah, sebagian aktivis dakwah, bahakan yang berpendidikan tinggi dalam bidang ilmu syari’apun akan melihat semua apa yang digariskan, diputuskan dan diperintahkan para pemimpin mereka adalah final dan pasti kebenarannya, tanpa ada upaya menelaahnya dengan baik dan teliti apakah semua itu sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dakwah itu sendiri. Kalaupun mereka melihat adanya kejanggalan, keanehan, paradoks dan nyeleneh sekalipun, mereka akan jawab secara instan dengan menggunakan salah satu atau beberapa istilah syar’i dari enam istilah syar’I (terminology Islam) yang lazim mereka pakai yakni, ta’at, tsiqoh (percaya), husnuzh-zhan, fiqhuddakwah, ijtihad atau syura qiyadah (musyawarah pemimpin).
Sudah sekitar 20 tahun penulis merasakan dan mengamati kondisi seperti itu berjalan terus. Di era reformasi (keterbukaan) yang sduah berjalan 10 tahun, krisis wawasan keislaman ini malah semakin parah dan berkembang dengan amat sangat subur. Kalau demikian kondisinya, enak benar menjadi aktivis dakwah? Apa lagi menjadi pemimpin dakwah masa kini? Kenapa tidak? Semua masalah yang dihadapi dalam hidup yang amat kompleks ini cukup diselesaikan dengan hanya enam istilah (ta’at, tsiqoh (percaya), husnuzh-zhan, fiqhuddakawah, ijtihad atau syura qiyadah) yang seringkali dipahami secara salah dan keliru.
Selintas mereka terlihat lebih hebat dari Rasulullah dan para Sahabat yang harus belajar wahyu selama 23 tahun secara benar dan konsisten serta bersusah payah menjaga orisinilitas ajaran Islam sehingga mengharuskan mereka menghadapi berbagai kesulitan hidup dan bahkan dalam banyak situasi harus ditempuh dengan air mata dan darah. Kendati demikian, mereka, termasuk baginda Muhammad Saw. seringkali dikritik, dluruskan dan bahkan diancam Allah saat melakukan kesalahan berpendapat, bersikap maupun berijtihad. Para Rasulullah dan para Sahabat segera kembali ke jalan yang benar dengan penuh kesadaran dan kebahagiaan saat menerima kritikan, saran, nasehat baik oleh Wahyu maupun oleh Sahabat sendiri.
Kritik mengkritik tersebut banyak terlukis indah dalam Sirah seperti kasus Abdullah Bin Ummu Maktum, perkara tawanan Badar, Shulhul Hudaibiyah dan sebagainya. Kisah-kisah tersebut secara gamblang kita temukan dalam Al-Qur’an dan Sirah Rasul Saw. Sebaliknya, tidak sedikit dari pemimpin Gerakan Dakwah dan para aktivisnya yang alergi dinasehati, dikritik dan diluruskan saat mereka keliru berucap, berpendapat, bertindak dan berijtihad. Seakan menempatkan nasehat dan sejenisnya adalah musuh laten ajaran Islam yang diharamkan. Mungkin mereka lupa bahwa salah satu metode terbaik dalam menjaga kemurnian penerapan ajaran Islam sesama para pemimpin dan aktivis dakwah, demikian juga dengan pemimpim Negara dan masyarakat umum adalah nasehat, seperti yang dijelaskan junjungan kita Nabi Muhammad Saw. dalam sebiuah Haduts Beliau :
Dari Jabir Bin Abdullah dia berkata : Saya membai’ah (mengucapkan sumpah setia) Rasul Saw untuk menegakkan salat, membayar zakat dan memberi nasehat pada setiap Muslim (Riwayat Imam Al-Bukhari)
Dalam kesempatan lain Rasul Saw. bersabada lagi dengan lebih rinci :
Dari Tamim Ad-Dariy, bahwa Nabi Saw. berkata : Agama ini (Islam) adalah nasehat. Kami berkata : Untuk siapa saja? Beliah menjawah : Untuk Allah (dengan meyakini dan menta’ati-Nya) dan untuk Kitab-Nya (dengan meyakini dan membaca, memahami dan mengamalkannya), dan untuk Rasul-Nya (dengan meyakini dan mengikuti sunnah -jalan hidup-nya), untuk para imam (pemimpin tertinggi kaum Muslimin seperti Kahlifgatul Muslimin atau Amirul Mukminin, dengan mentaati mereka selama dalam hal ma’ruf) dan untuk semua kaum Muslimin (Riwayat Imam Muslim)
Kalau boleh kita jujur, ajaran Islam yang amat komplit dan rinci itu, belum menjadi fokus pelajaran dalam pembentukan kader-kader dan pemimpin dakwah masa kini. Penyajian materi-materi dakwah dan tarbiyah sangatlah sederhana dan tidak tertata secara baik dan maksimal, apalagi rinci dan mendalam, paling tidak untuk para pemimpin dan calon-calon pemimpin masa depan. Tak jarang pula silabus, atau manhaj tarbawi yang dibuat tidak pula mampu dipahami, apalagi diimplementasikan.
Doktrin-dokrin kejamaahan/keorganisasian jauh lebih dominan ketimbang mempelajari ajaran Islam secara baik, sistimatik dan akedimis dan ilmiyah. Tidak heran jika masih banyak pemimpin dan kader inti dakwah yang wawasan keislaman mereka masih dangkal yang mengakibatkan pola fikir dan prilaku mereka amat sangat sederhana dan bahkan dengan menggunakan cara pandang kaca mata kuda, kendati sudah terlibat dalam dakwah puluhan atau belasan tahun. Yang belum lancar membaca Al-Qur’an saja masih banyak, apalagi membacanya setiap hari satu juz, memahami dan mengamalkan kandungan dan ajarannya secara baik dan sungguh-sungguh.
Pada kenyataannya, yang banyak mempengaruhi dan mewarnai prilaku dan pola fikir sebagian besar pimpinan dan aktivis dakwah adalah pengaruh-pegraruh ilmu sekular yang dipelajari di rumah, di sekolah, di media dan di masyarakat yang sudah berjalan paralel dengan umur mereka. Masalah tersebut bertambah runyam saat style dan perjalanan dakwah ini diwarnai dan didominasi oleh background dan gaya para pemimpinnya yang beridiologi pragmatism dan materilistik (intifak dakwah). Dengan dalih demi kepentingan dakwah semuanya bisa menjadi halal. Allahul must’aan.
Salah seorang sahabat dakwah pernah berkata pada penulis: Kita ini masih orang Indonesia, yakni pengaruh-pengaruh jahiliyah lokal dan import dalam diri kita yang kita peroleh selama hidup di negeri ini masih mendominasi kehidupan kita. Pengaruh nilai-nilai Islam yang orisinil hanya terbatas pada wacana, ucapan, ibadah mahdhah dan semangat berdakwah. Itupun sudah mulai direcoki oleh bid’ah-bid’ah baru yang di masa 10 tahun pertama dakwah dapat dihindarkan dengan baik. Sebab itu, tidak heran jika sudah masuk ke dalam kehidupan nyata, khususnya rimba politik praktis yang penuh tipu muslihat, tidak sedikit yang melakukan kekeliruan.
Timbul beberapa pertanyaan mendasar : Apa yang salah dengan Gerakan Dakwah hari ini? Apa mungkin mampu menegakkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dan pemerintahan negeri ini, sedangkan nilai-nilai tersebut belum tegak secara baik dan kuat dalam diri para pemimpin dan para kativis dakwah itu sendiri? Mau kemana arah Gerakan Dakwah ini? Apa yang menjadi target atau agenda besarnya? Apa hambatan terbesar yang dihadapi saat ini? Sudahkah memiliki hardware (SDM) dan software (konsep) yang lahir dari hasil shibgatullah (celupan Allah) dalam hal keimanan dan proses pemahaman Islam (keilmuan) dalam mencapai pemahaman yang bik dan benar? Dan banyak lagi pertanyaan mendasar yang menggelayut dalam kepala kita seputar fenomena kurangnya wawasan keislaman para aktivis dan pemimpin Gerakan Dakwah hari ini.
Perlu kiranya disadari bahwa semua ajaran Islam itu adalah ilmu yang sudah pasti, bukan presepsi-presepri atau hipotesa-hipotesa sosial seperti yang dikira banyak orang sehingga mudah sekali berubah atau berkembang disebabkan perubahan atau perkemabngan sosial yang terjadi. Kepastian ilmu Islam itu mencakup semua ajarannya, sejak dari ‘akidah, syari’a, mu’amalh sampai akhlak.
Kalau kita pelajari apa yang ditulis oleh para ulama besar Islam sepanjang sejarahnya yang lebih dari 14 abad itu amatlah mengagumkan . Hampir tidak ada masalah kecuali mereka bahas secara tuntas. Kalaupun kita mencoba berijtihad, niscaya sedikit sekali peluangnya. Itupun hanya sebatas asalib dan wasa-il yang belum ditemukan contoh praktisnya dalam karya-karya ulama besar Islam sepanjang masa. Atau mumgkin memerlukan revisi disebabkan sistuasi dan kindisi zaman. Itupun harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan pembahasan mendalam yang ditinjau dari semua asepeknya agar tidak menyimpang dari tujuan asalnya. Atau dengan kata lain, syaratnyapun harus mengacu kepada kaedah-kaedah dasar Islam yang menjadi bingkainya agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sekal-kali tida boleh dilakukan secara sembrono atau dengan tujuan kepentiangan duniawi semata.
Masalah bai’at, taat pada pemimpin, tsiqah, husnuzh-zhan, fiqhuddakwah, ijtihad dan syura misalnya, merupakan masalah yang sudah tuntas dan final dibahaas sejak zaman Nabi Muhammda Saw. Beliau merumuskan taat kepada pemimpin itu dengan syarat, yakni selama dalam batas-batas otoritasnya yang tidak mengakibatkan maksiat pada Allah.
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat (durhaka) pada Allah. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf (dibenarkan Allah). (R. Muslim)
Di samping itu, taat pada pemimpin itu dengan sayarat jika mereka telah menunaikan kewajiban-kwajiban mereka terhadap rakyat atau anngota jamaah. Demiakian juga dengan masalah husnuzh-zhon dan tsiqoh juga sudah final dan ada tempatnya. Ia tidak bertentangan dengan sikap kritis dan kewajiban salinng menasehati. Kedua sifat tersebut harus digandengkan. Kalau tidak, hanya akan melahirkan aktivis-aktivis berkacamata kuda. Yang diuntungkan sudah pasti para pemimpin yang meletakkan diri mereka melebihi posisi Rasulullah di tengah para Shabatnya. Akhirnya lahirlah generasi ummiyyun, yakni seperti generasi Ahlul Kitab yang tidak memahami Al-Kitab kecuali hanya berdasarkan presepsi semata, bukan didasari ilmu yang matang dan mendalam. Perlu dicatat, Kondisi ummiyyun tersebut akan semakin memperkokoh posisi para pemimpin yang haus kekuasaan dan kehidupan dunia. Demikianlah sejarah manusia mengajarkan kepada kita.
Untuk lebih jelas bagaimana proses terbentukanya wawasan dan pemikiran keisalaman seseorang yang baik sehingga menjadi keyakinan, konsep dan prilaku, dapat dilihat dalam gambar berikut ini.