Secara bahasa, "uzlah atau tafarrud" berarti "penjauhan" atau "pengasingan diri". Dalam kitab Lisanul-Arab, azala syai’a berarti menjauhkan sesuatu". Sedangkan ayat al-Qur’an yang menyebutkan mengenai uzlah ini antara lain.
إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ
"Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengarkan Al-Qur’an itu." (QS. Asy-Syu’ara [26] : 212)
Maksdunya, ketika mereka (para jin) di lempar dengan bintang-bintang, sehingga pendengaran mereka terhalang. Hal itu sesuai dengan firman-Nya yang lain:
وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا
"Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki berapa tempat di langit itu untuk mendengarkan (berita-beritanya). Akan tetapi, sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengarkan (seperti itu), tentu akan menjumpai panh api yag mengintai (untuk membakarnya)." (QS. Al-Jin [72] : 9)
Sedangkan menurut istilah, "uzlah atau tafarrud" ialah tindakan seseorang yang lebih mengutamakan hidup menyendiri daripada hidup bersama dengan orang lain. Jadi, jika ada seorang aktivis yang merasa cukup dengan mengatakan Islam pada diri sendiri saja, tanpa peduli dengan keadaan orang lain dan tanpa melihat keadaan mereka yang tengah terjerumus dalam lembah kebinasaan dan kehancuran, maka dia termasuk orang yang terkena penyakit "uzlah dan tafarrud" ini.
Contoh lainnya, jika seorang aktivis Islam hanya melaksanakan misi dakwahnya secara fardiyah saja (individual) dan jauh dari sikap ta’awun (saling tolong menolong) dengan para aktivis lain dalam melaksanakan misi dakwahnya , maka dia pun dapat digolongkan telah terhinggapi penyakit "uzlah dan tafarrud".
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Uzlah
Beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya penyakit ini antara lain dapat dikelompokkan antara lain.
Salah Menafsirkan Seruan Uzlah
Di dalam ajaran Islam memang ada beberapa nash yang menganjurkan kita ber-uzlah. Diantara nash-nash yang memuji dan menganjurkan sikap "uzlah" tersebut antara lain hadist Nabi Shallahu alaihi wassalam yang berbunyi :
"Akan datang suatu saat di mana sebaik-baik harta seorang muslim adalah kambing yang dibawa yang ke puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan. Ia menghindar dari fitnah dengan membawa agamanya." (HR. Bukhari)
Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW pernah ditanya oleh sahabatnya, "Siapakah manusia yang paling utama, ya Rasulullah?". Beliau SAW menjawab, "Seseorang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya". Shahabat itu bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?". Rasulullah SAW menjawab, "Seorang mukmin yang tinggal di salah satu tempat di gunung. Ia beribadah kepada Allah Tuhannya dan meninggalkan manusia dari kejahatan mereka". (HR. Muslim)
Sabda beliau yang lain berbunyi, "Di antara penghidupan yang paling baik bagi manusia adalah seorang yang memegang tali kudanya di jalan Allah, kemudian ia berpacu diatas punggung kudanya. Setiap kali ia mendengar sesuatu yang menakutkan dan mengejutkan, ia segera melesat menuju arah suara tersebut untuk dapat berperang dan mati menjadi taruhannya. Atau seseorang bersama hartanya yang berada di salah satu tempat yang tinggi atau pada sebuah lembah. Di tempat itu ia mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan beribadah kepada Tuhannya hingga ajal menjemputnya sedang ia dalam keadaan baik." (HR. Muslim)
Meskipun demikian, cukup banyak nash-nash syariat yang lain, yang menganjurkan umat Islam, agar menjalani kehidupan dan beribadah kepada-Nya dalam naungan jamaah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
"…Dan hendaklah kalian tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalilan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran." (QS. Al-Maidah [5] : 2)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ
"…Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah (agama) dan janganlah kalian bercerai-berai." (QS. Ali-Imran [3] : 103)
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ
"Sesungguhnya Allah suka terhadap orang-orang yang berperang di jalan Allah, seolah-olah mereka itu adalah suatu bangunan yang kokoh." (QS. Ash-Shaf [61] : 4)
Selain itu, Rasulullah shallahu alaihi was sallam juga bersabda, "Jauhilah bercerai-berai, dan hendaklah kalian berjamaah (berkelompok). Sesungguhnya setan akan menyertai orang yang sendirian dan akan menjauh dari dua orang. Barangsiapa yang ingin memasuki taman surga, maka hendaklah ia berjamaah." (HR. Tirmidzi)
Dalam kesempatan lain, beliau SAW juga bersabda, "Allah bersama jamaah." (HR. Tirmidzi)
Sabdanya lagi, "…Aku menyuruh kalian kepada lima perkara dan Allah menyuruhku pula untuk demikian, yaitu berjamaah, mendengar, taat, hijrah, dan jihad di jalan Allah. Sesungguhnya barangsiapa yagn keluar dari jamaah satu jengkal ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali meluruskan sikapnya. Mendengar ucapan beliau SAW para shahabat bertanya, "Sekalipun ia melakukan shalat dan berpuasa wahai Rasulullah?" Rasulullah shallahu alaihi wassalam menjawab, "Ya, sekalipun ia mendirikan shalat dan berpuasa serta mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim". (HR. Ahmad)
Dari penjelasan diatas jelaslah jika seorang aktivis berpegang teguh hanya pada nash-nash syar’iyah yang pertama, yaitu menganjurkan sikap ‘uzlah karena kejahilannya, atau berpura-pura jahil akan hubungan nash-nash tersebut dengan nash-nash yagn menganjurkan sikap berinteraksi dngan jamaah dan hidup di tengah pemeliharaannya, maka tidak diragukan lagi ia akan terkena penyakit ‘uzlah atau tafarrud. (bersambung)