oleh DR. Sayyid Nuh
Seorang muslim akan diuji oleh Allah isteri dan anak-anaknya. Yaitu melalui adat kebiasaan mereka. Jika kita tidak waspada, teliti, serta sabar dalam menghadapinya, maka kita akan mudah sekali dipengaruhi oleh mereka.
Jika kebetulan anak dan isteri kita itu senang berperilaku israaf, maka boleh jadi perilakunya itu akan mudah sekali menghinggapi kita. Oleh karena itu, ajaran islam memberikan peringatan agar kita memiliki sikap selektif dalam memilih calon seorang isteri. Nash-nash yang berkaitan dengan hal ini juga telah kita lewati s aat membahas faktor penyebab yang pertama (latar belakang keluarga).
Islam memberikan peringatan agar para orang tua mendidik anak dan isteri dengan norma-norma yang telah ditentukan oleh-Nya. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.Penjaga-penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tharim : 6)
Sabda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Uma ra :
"Sesungguhnya masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian bertanggungjawab atas apa yang dipimpinnya itu. Seorang imam adalah pemimpin manusia, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas keluarga suaminya dan anak-anaknya, dna ia bertanggung jawab atas mereka.." (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalai Terhadap Tabiat Kehidupan Dunia dan Apa yang Harus Terjadi.
Kehidupan dialam dunia ini tidaklah kekal dan tidak pula terus-menerus berada dalam suatu situasi dan kondisi yang statis. Sesuai dengan sunatullah. Ia senantiasa berganti dan berubah. Bisa jadi hari ini kita mendapat kenikmatan hidup, namun boleh jadi esok hari kita ditimpa musibah. Maha benar Allah berfirman:
وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“ .. Dan masa (kemenangan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran”. (QS. Al-Imran : 140)
Oleh karena itu, kita wajib berhati-hati dan waspada, yakni dengan jalan sennatiasa menempatkan anugerah kenikmatan hidup (harta-benda, masa senggang, kesehatan, dan sebagainya) sesuai dengan porsinya, kemudian menyimpannya untuk kepentingan hari esok.
Itulah sunnatullah yang berlaku dalam kehidupan ini, dan demikian lah cara seorang muslim menghadapinya. Barangsiapa yang mengabaikan hal itu niscaya mereka akan sangat mudah masuk ke dalam jurang lembah israaf.
Kurang Mampu Mengendalikan Aneka Tuntutan Jiwa
Sebab lain yang dapat menjerumuskan seseorang dalam siksa israaf yakni dirinya kurang mampu mengendalikan aneka tuntutan jiwa. Sepertikita maklumi pada umumnya, dilihat dari sudut rohani atau kejiwaannya, manusia senantiasa memiliki keinginan menuntut dan menurut terhadap apa-apa yang diinginkannya. Situasi itu hanyalah akan dapat diatasi manakala kita memilih suatu ketegasan, ketelitian, dan sikap senantiasa memantau gejolak tuntutan syahwat.
Sebaliknya jiak kita selalu meloloskan semau keinginan serta tuntutan itu, maka kita akan senantiasa dirongrong atau dijajah olehnya. Rupanya inilah maksud dibalik penegnasan Islam kepada kita agar senantiasa melakukan mujahadatun nafs, sebelum memulai segala sesuatu. Firman Allah :
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaannya sendiri”. (QS. Ar-Ra’d : 11)
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا ﴿٩﴾ وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴿١٠﴾
“Sungguh telah menanglah orang yang menyucika jiwanya dna rugilah orang yang mengotorinya”. (QS. Asy-Syam : 9-10)
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٦٩﴾
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh berjuang) pada jalan kami, niscaya akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah berserta orang-orang yang berbua ihsan”. (QS. Al-Ankabut : 69)
Lalai Terhadap Bekal Perjalanan
Lalai terhadap bekal perjalanan dakwah juga dapat melahirkan sikap israaf. Jalanyang mengantarkan seseorang ke arah ridho Allah Swt dan surga-Nya itu bukanlah jalan yang erhampar diatas permadani serta dipenuhi dengan aroma bunga ata wewangian.Tetapi jalan yang sarat dengan duri dan air mata, penuh dengan cucura darahdan tumpukkan tengkorak.
Oleh karena itu, dalam penitiannya tidak bisa dilakukan dengan cara mengumbar kemewahan, kelunakan, dan kesantaian, tetapi dengan kenjatanan dan kekerasan. Itulah bekal perjalanan.
Dalam banyak ayat Al-Qur’an, hal mengenai karakteristik jalan dakwah tersebut berulang kali diungkapkan, misalnya :
مْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ قَرِيبٌ ﴿٢١٤﴾
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetak adan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan macam-macam cobaan), sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang bersamanya, ‘Bilakah datangya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat.” (QS. Al-Baqarah : 214)