Agenda Politik dan Pemerintahan Islam

Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.

***

Agenda Politik

Bertolak dari pandangan politik Imam Hasan Al-Banna, seorang politisi yang ingin melangkah ke wilayah-wilayah yang realistis dan nyata, Beliau menuntut pemerintahan-pemerintahan di dunia Arab dan mengajak para raja maupun kepala negara guna mendialogkan implementasi dan langkah praktis dari hukum syari’at, sambil Beliau mengetengahkan tuntutan-tuntutan politik yang terperinci dan detail.

Di antara tuntutan-tuntutan politik tersebut adalah yang tertera dalam risalah “nahw an-nur” yang Beliau tujukan pada para pemimpin dan penguasa dunia Arab. Surat tersebut berisi beberapa tuntutan dan proposal praktis yang diberi judul: “Beberapa langkah Praktis dalam Upaya Reformasi” yang mencakup beberapa bahasan berikut:

  1. Dalam kajian politik, peradilan dan manajemen negara.
  2. Dalam kajian sosial dan budaya, Beliau mengusulkan 30 langkah praktis yang mungkin bisa diimplementasikan bila mendapatkan perhatian serius.
  3. Dalam kajian ekonomi, tak kurang dari 10 usulan praktis guna memperbaiki situasi perekonomian sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dalam aspek politik Beliau menyoroti dan mengusulkan pada para kepala negara Arab beberapa point berikut:

  • Pembasmian hizbiyyah (fanatisme buta terhadap partai-partai politik) yang telah memecah belah persatuan umat Islam dan pengklasifikasian anak-anak bangsa dalam beberapa kelompok yang kesemuanya bisa dibilang tidak memperjuangkan Islam dan bersaing demi kepentingan-kepentingan materi dan finansial serta keinginan-keinginan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan rakyat dan tidak berkeinginan menyatukan umat Islam dalam satu barisan dan orientasi.
  • Amandemen konstitusi sehingga sejalan dengan syariat Islam dalam segenap cabang-cabangnya.
  • Memperkuat pasukan militer dan mengobarkan semangat para generasi muda untuk berjihad.
  • Mempererat hubungan diplomasi antar negara-negara Islam, khususnya negara-negara yang berada dalam kawasan semenanjung Arab sebagai langkah awal untuk menunjukkan kesungguhan perjuangan memikirkan solusi dari persoalan Khilafah Islamiyyah yang telah lama hilang.
  • Mengkampanyekan spirit dan semangat Islam di kantor-kantor dan instansi-instansi pemerintahan, sehingga para pegawai, staf dan aparat pemerintahan yang bekerja pada instansi-instansi tersebut merasakan keindahan dan urgensi ajaran-ajaran Islam.
  • Melakukan pengawasan terhadap moralitas para pegawai negeri dan tidak memisahkan perhatian antara aspek pribadi maupun aspek profesi.
  • Mempercepat jadwal kerja aktif di perkantoran pada musim panas dan musim dingin, sehingga memudahkan mereka melakukan shalat wajib dan ibadah fardhu lainnya serta berguna menghilangkan kebiasaan begadang.
  • Memerangi segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme serta berpegang pada profesionalisme dan cara-cara yang telah dilegitimasi oleh perundang-undangan.
  • Seluruh aktifitas dan kebijakan pemerintah harus berlandaskan pada timbangan hukum dan nilai-nilai Islam, sehingga aturan-aturan yang mengatur berbagai acara resepsi (pesta), undangan, pertemuan-pertemuan resmi, penjara-penjara dan rumah sakit-rumah sakit tidak berlawanan dengan niai-nilai Islam. Serta pembagian waktu kerja yang tidak menggangu waktu pelaksanaan ibadah shalat.
  • Pendayagunaan tenaga alumni universitas Al-Azhar dalam tugas-tugas kemiliteran, manajemen dan memberikan pelatihan pada mereka.

Dalam orasi Imam Hasan Al-Banna pada pertemuan para kepala daerah dan pimpinan komando jihad yang diselenggarakan pada 3 Syawal 1364 H atau bertepatan dengan tanggal 8 September 1945 M, Beliau menyampaikan: “Untuk itu kita meminta terutama terhadap pemerintahan Mesir, kemudian pemerintahan negara-negara Arab dan negara-negara Islam secara umum supaya mereka kembali pada perundang-undangan dan peradaban Islam, sebagai langkah nyata perwujudan cita-cita tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Meminta Mesir supaya memproklamirkan diri secara resmi sebagai negara Islam yang merefleksikan prinsip negara Islam.
  2. Mematuhi kewajiban-kewajiban dan lambang-lambang Islam serta mewajibkan para pegawai dan staf pemerintahan untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam tersebut. Dan pada pejabat teras pemerintahan diharapkan dapat memberikan contoh dan tauladan yang baik terhadap para pegawainya.
  3. Meminta pemerintah Mesir membuat perundang-undangan yang melarang secara tegas perkara-perkara yang dilarang oleh agama seperti minuman keras, zina dan hal-hal yang mendorong pada perbuatan zina, riba dengan segala macam jenisnya. Dalam hal ini negara diharapkan dapat memberikan tauladan, artinya tidak memberikan legitimasi terhadap larangan-larangan agama tersebut dan tidak memberikan perlindungan melalui undang-undang terhadap praktek-praktek itu serta menghindari sejauh mungkin interaksi dengan praktek-praktek tersebut.
  4. Mereformasi konsep dan kurikulum pendidikan sehingga benar-benar berlandaskan pada metode pendidikan Islam dan metode pendidikan nasional. Artinya memberikan perhatian ekstra dan prioritas terhadap Bahasa Arab dan Sejarah Kebangsaan. Kondisi ini akan lebih menuntut para kaum pelajar untuk menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter Islami serta memberikan pencerahan wawasan mereka terhadap hukum dan hikmah Islam.
  5. Menjadikan syariat Islam sebagai sumber utama perundang-undangan.
  6. Pemerintah berkewajiban mengarahkan masyarakat supaya selalu menampilkan perilaku Islami dalam setiap tindakan.

Demikianlah beberapa point penting yang dapat kami sampaikan sebagai bentuk pemenuhan kewajiban dakwah Islam. Ya Allah saksikanlah. Itulah yang dapat kami sampaikan, karena menurut hemat kami, ini saat yang tepat guna menyampaikannya .

Pemerintahan Islam

a. Konsep Pemerintahan Islam

Imam Hasan Al-Banna memahami pemerintahan Islam sebagai sebuah pemerintahan yang terdiri dari aparatu-aparatur yang beragama Islam yang mematuhi kewajiban-kewajiban Islam serta tidak secara terang-terangan dan bangga melakukan tindakan-tindakan maksiat serta pemerintahan yang menerapkan hukum dan ajaran Islam. Sebuah pemerintahan yang memiliki aparatur-aparatur yang berpegang teguh pada akhlak-akhlak Islam yang terpuji dan menerapkan hukum Islam dalam kehidupannya. Sehinga menurut Beliau, sebuah pemerintahan yang tidak menerapkan hukum syariat Islam bukanlah pemerintahan Islam.

b. Urgensi Pemerintahan dalam Islam

Imam Hasan Al-Banna mengkategorikan keberadaan pemerintahan dalam Islam ibarat salah satu tiang penyangga dalam bangunan atau merupakan hal yang tak terpisahkan darinya. Namun urgensi keberadaan pemerintahan Islam tidak seperti kewajiban-kewajiban yang lain. Sebagaimana dimaklumi, fungsi tiang dalam sebuah bangunan adalah tempat penyangga sesuatu yang merupakan bagian internal dalam substansi sesuatu bangunan tersebut. Sementara runtuhnya tiang berakibat pada runtuh dan hancurnya bangunan.

Dari analogi di atas dipahami bahwa Islam tidak akan terealisasi sesuai dengan harapan Allah SUBHANAHU WATA’ALA, hingga berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dalam pengimplementasian hukum Islam dalam segenap aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, peradilan, tata negara dan sebagainya. Imam Hasan Al-Banna menegaskan makna di atas dengan ungkapannya: “Islam yang dipahami oleh Ikhwanul Muslimin menganggap pemerintahan sebagai salah satu tiang penyangga Islam, karena Islam selain bergantung pada dakwah yang berupa nasehat-nase¬hat kebaikan juga bergantung terhadap keberadaan sebuah pemerintahan” .

Imam Hasan Al-Banna pernah menyebutkan dalam “Musykilatuna Ad-Dakhiliyyyah fi Dhou’i An-Nizham Al-Islamy” bahwa: “agama Islam yang lurus ini mewajibkan kaidah pokok sistem kemasyarakatan yang ditawarkan pada umat manusia, yaitu sebuah aturan yang tidak menyukai kekacauan serta tidak meninggalkan umat Islam tanpa ada seorang pemimpin” . Dalam hal ini, Beliau berhujjah dengan hadits yang berbunyi:

إِذَا نَزَلْتَ بِبَلَدٍ وَلَيْسَ فِيْهِ سُلْطَانٌ فَارْحَلْ عَنْهُ (الحديث)

Artinya: Jika kamu singgah di suatu negeri yang disana tidak ada penguasa (pemimpin), maka tinggalkanlah negeri tersebut.

Dan hadits yang berbunyi:

إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً فَأَمِّرُوْا عَلَيْكُمْ رَجُلاً (الحديث)

Artinya: jika kamu (musafir) berjumlah tiga orang, maka angkatlah salah seorang di antara kamu menjadi amir.

c. Kewajiban-kewajiban Pemerintahan Islam

Imam Hasan Al-Banna telah menentukan beberapa kewajiban pemerintahan Islam sebagai berikut:

  1. Menjaga stabilitas keamanan negara dan menerapkan konstitusi Islam.
  2. Memperhatikan masalah pendidikan bangsa.
  3. Mempersiapkan angkatan militer nasional yang kuat.
  4. Memberikan pelayanan kesehatan yang cukup.
  5. Melindungi kepentingan-kepentingan public secara utuh.
  6. Mengembangkan sumber daya alam dan melindungi aset kekayaan negara.
  7. Mengokohkan moralitas bangsa.
  8. Menebarkan dakwah Islam.

Semua kewajiban ini Beliau simpulkan dari pemahaman terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah serta dapat ditemukan dalam buku-buku fiqih Islam. Beliau juga menambahkan bahwa pemerintahan Islam berkewajiban pula merasa peduli terhadap kondisi rakyat, mewujudkan rasa keadilan antar sesama manusia, mengambil tindakan preventif dan bertindak ekonomis terhadap aset publik.

d. Hak-Hak Pemerintahan Islam

Setelah menyebutkan kewajiban-kewajiban pemerintahan Islam, Beliau melanjutkan dengan menerangkan tentang hak-hak dari pemerintahan Islam yang baru terlaksana jika kewajibannya telah ditunaikan. Ini merupakan salah satu bukti pemahaman fiqih Imam Hasan Al-Banna yang sangat cermat. Perhatikan perkataan Beliau: “Di antara hak-hak pemerintahan Islam adalah: wala, loyalitas serta sokongan baik dengan harta bahkan nyawa” .

Al-Qur`an juga telah menjelaskan bahwa hak baru diterima setelah kewajiban ditunaikan. Firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 58-59:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيْعاً بَصِيْرًا) (يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ [النساء: 58-59]

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri (pemimpin)di antara kamu.

Ayat pertama menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan seorang pemimpin terhadap dirinya, yaitu supaya ia berlaku adil dalam penyerahan wewenang dan jabatan tertentu pada orang yang tepat dan memang ahli di bidang tersebut serta kewajiban menegakkan keadilan antara dua pihak yang mengadukan permasalahan mereka kepadanya untuk diselesaikan secara hukum dengan adil. Sedangkan ayat kedua mengindikasikan tentang hak-hak yang bakal diterima seorang pemimpin dari rakyatnya yaitu berupa loyalitas serta kewajiban rakyat untuk selalu menjalankan instruksinya selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Kesimpulannya ialah jika seorang pemimpin telah menegakkan keadilan terhadap diri sendiri dan masyarakatnya yang notabene merupakan kewajiban seorang pemimpin yang paling urgen, maka hak pemimpin tersebut berupa wala’, loyalitas serta ketaatan rakyatnya akan ia dapatkan. Jadi hak berbanding lurus dengan kewajiban.

e. Sikap terhadap Pelanggaran dan Kelalaian Pemerintahan Islam

Ustadz Imam Hasan Al-Banna telah berjasa terhadap ahli sunnah, khususnya terkait dengan pengembangan konsep perpolitikan ketika Beliau memiliki pandangan yang jelas dan gamblang mengenai para pemegang otoritas dalam sistem pemerintahan Islam yang melakukan pelanggaran, kekeliruan serta tidak profesional dalam menjalankan tugas, namun pemerintahan tersebut tidak mau mendengarkan nasehat-nasehat politik dari pihak-pihak berwenang dan para ahli dalam bidangnya dan juga tidak bersedia mengevaluasi kesalahan dan kekeliruan, maka pemerintahan seperti itu berhak dilengserkan dan dikudeta.

Tentunya, proses pelengseran dan kudeta tersebut membutuhkan satu badan atau lembaga khusus yang memiliki kekuatan hukum, wewenang dan otoritas penuh yang mengikat, hingga lembaga itu bisa mnegeluarkan kebijakan yang mampu memberikan tekanan dan paksaan terhadap pemerintahan maupun pejabat yang melanggar tersebut supaya lengser dari jabatannya. Disebutkan dalam Risalat Ta‘alim setelah Imam Hasan Al-Banna menjelaskan kewajiban dan hak pemerintahan Islam, Beliau melanjutkan jika pemerintahan melakukan kekeliruan, kelalaian dan pelanggaran. Langkah awal yang dilakukan adalah memberikan teguran dan nasehat, jika langkah ini tidak mempan maka berujung pada pelengseran dan kudeta terhadap pemerintahan tersebut, karena tidak ada loyalitas terhadap siapapun yang tidak taat terhadap aturan Allah.

f. Sikap terhadap Pemerintahan yang Tidak Menerapkan Hukum Islam

Imam Hasan Al-Banna memandang bahwa pemerintahan-pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam, maka kaum Muslimin yang menjalani kehidupan di negara tersebut wajib untuk tidak mengakui perundang-undangan dan hukum ciptaan manusia yang diterapkan di negara itu serta berupaya untuk membersihkan pemerintahan dari perundang-undangan non-Islam itu. Karena Imam Hasan Al-Banna menilai bahwa penerapan syariat Islam merupakan salah satu kewajiban dalam agama ini (Islam) yang bila tidak diiringi dengan upaya untuk menegakkannya, maka dianggap telah berbuat dosa. Dan dosa ini bisa ditebus dengan cara berjuang melengserkan pemerintahan dan aparat-aparatnya yang tidak menerapkan hukum syariat tersebut.

Di sela-sela muktamar V Imam Hasan Al-Banna menyampaikan bahwa: “Aturan pemerintahan dalam literatur-literatur kita merupakan tema pembahasan aqidah dan masalah ushul (utama), bukan hanya sekedar pembahasan dalam fiqih dan furu’ biasa. Karena Islam adalah pemerintahan, konstitusi, pendidikan, undang-undang dan peradilan. Kesemua itu tidak bisa dipisah satu sama lain”.

Beliau melanjutkan pembicaraannya: “Adapun realita yang ada di hadapan kita sekarang, seolah-olah syariat Islam berada dalam satu lembah sementara perundang-undangan yang berjalan (non-syariat) berada di lembah yang lain. (Hal ini mengindikasikan betapa jauhnya jarak antara fakta di lapangan dengan harapan penerapan syariat Islam. pent). Sesungguhnya kondisi stagnan dan statisnya para kaum reformis Islam dari upaya pengembilan kekuasaan dan pemerintahan merupakan dosa yang hanya ditebus dengan perjuangan untuk bangkit dan membersihkan pemerintahan dari tangan-tangan aparat yang tak tidak loyal dan tidak bersedia menerapkan hukum Islam.

Kembali Imam Hasan Al-Banna menegaskan di penghujung pembicaraannya: “Oleh karena itu, perjuangan Ikhwanul Muslimin untuk merebut tampuk kekuasaan di pemerintahan bukan demi kepentingan Ikhwanul Muslimin. Artinya jika ada di antara umat Islam yang bersedia dan sanggup menjalankan amanah dan sebuah pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam yang Qurani, maka dengan ini Ikhwanul Muslimin menyatakan kesediaan membantu dan mendukung pemerintahan tersebut. Namun bila tidak ada di antara umat Islam yang mampu dan bersedia, tentunya pemerintahan akan dijalankan oleh para kader Ikhwanul Muslimin yang akan berjuang membebaskan pemerintahan dari cengkeraman aparat-aparat yang tidak bersedia menunaikan perintah-perintah Allah SUBHANAHU WATA’ALA.

Dengan lugas Imam Hasan Al-Banna telah menjelaskan kondisi pemerintahan-pemerintahan ala jahiliyyah yang menolak implementasi syariat Islam. Beliau menegaskan pula bahwa penandatanganan kerjasama (musyarokah) dan kesepakatan administratif dengan pemerintahan semacam itu tidak akan banyak menuai hasil. Akan tetapi, dibutuhkan perjuangan guna mereformasi total pemerintahan dengan cara-cara damai dan metode-metode bijaksana yang merupakan metode yang dilegitimasi Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah.

Di samping itu, Beliau menemukan metode lain hasil tela’ahan terhadap Al-Qur`an dan Hadits yaitu metode yang diterapkan bila terjadi pembatasan ruang gerak dakwah dan para kader dakwah. Caranya ialah dengan menggunakan strategi pembentukan dan pengkaderan individu Muslim, diiringi oleh tahapan terbentuknya keluarga Muslim, lalu fase terbentuknya negara Islam hingga sampai ke penghujung dan puncak perjuangan dengan berdirinya Khilafah Islamiyyah. Pada tahapan awal, metode ini lebih menitikberatkan prioritasnya pada pembentukan aqidah dan nilai-nilai agama yang kokoh, kemudian berangsur pada tahapan pengokohan persatuan dan ikatan umat Islam, setelah itu baru dengan menggunakan kekuatan senjata dan perlengkapan-perlengkapan militer.

Imam Hasan Al-Banna -rahimahullah- pernah berkata: “banyak orang bertanya-tanya, akankah Ikhwanul Muslimin menggunakan kekuatan yang identik dengan kekuatan militer demi merealisasikan target dan misi mereka? Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menuntaskan duduk persoalan tersebut agar tidak lagi muncul pertanyaan-pertanyaan serupa mengenai hal tersebut:

"Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin akan mempraktekkan metode itu tatkala tidak ditemukan lagi alternatif lain dan bila kondisi memang telah memungkinkan untuk hal tersebut, serta ketika persatuan dan kesatuan umat Islam telah terbentuk dalam sebuah koalisi yang kokoh dan solid. Itupun berada dalam koridor-koridor yang bijaksana dan arif. Artinya, terlebih dahulu diawali dengan teguran dan peringatan. Bila teguran tidak menampakkan hasil yang memuaskan, barulah dengan menggunakan kekuatan militer. Kemudian Ikhwanul Muslimin telah siap dengan segala konsekwensi tindakan mereka tersebut dengan segala keridhoan hati.