Syarat-syarat Anggota Dewan Syura (Parlemen)
Hari ini kita menyebutnya parlemen atau dewan perwakilan rakyat. Mereka dipilih dari para anggota dewan kota—sebagaimana dalam sistem syura, dan itulah yang paling benar—atau dari para anggota dewan provinsi, atau dari masyarakat umum sebagaimana dalam sistem demokrasi. Penjelasan tentang syarat-syarat mereka merupakan hal penting agar pemilih muslim tahu siapa yang dipilihnya, tahu bagaimaan ia menunaikan amanah pemilu yang harus dilaksanakan dengan cara yang benar serta sesuai dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW. Berikut ini adalah syarat-syaratnya:
1. Islam. Para pemilih harus memerhatikan kebenaran akidah dan agamanya. Tidak semua orang yang lahir dari orangtua yang muslim itu serta merta muslim juga. Ada faktor-faktor yang membatalkan syahadat yang seharusnya dipelajari umat Islam, agar mereka bisa membedakan muslim dari non-muslim. Karena tidak semua orang yang mengaku Islam itu adalah muslim. Di zaman sekarang ini banyak orang-orang ambisius terhadap jabatan itu menumpang arus kebangkitan Islam, padahal bisa jadi ia orang athesis yang menyimpang. Majelis syura adalah orang-orang yang memutuskan berbagai kebijakan, dan seyogianya anggotanya beragama Islam. Karena majelis tersebut menetapkan undang-undang yang diambil dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW, sedangkan non-muslim tidak bisa berbuat demokrasi. Al-Maududi berkata, “Non-muslim yang tinggal di Darul Islam tidak boleh menjadi anggota majelis syura, dan kami tidak menemukan seorang pun dari kalangan non-muslim di masa Nabi atau Khulafa Rasyidun yang menjadi anggota majelis syura, atau menjadi seorang gubernur di sebuah wilayah Islam, atau qadhi, atau panglima pasukan. Padahal jumlah mereka puluhan juta di masa Khulafa Radyidun.” (Nazhariyyah al-Islam wa Hadyuhu, hlm. 302)
2. Laki-laki, karena laki-laki lebih mampu menangani masalah-masalah publik dan penerapan syari‘at Islam. Meski demikian, sebagian ulama kontemporer semisal al-Qardhawi dan selainnya membolehkan perempuan menjadi wakil rakyat di parlemen, dan di sini bukan tempatnya untuk menmusyawarahkan masalah ini. Pendapat yang paling unggul adalah tidak boleh. Berikut ini adalah dalil-dalil yang dikemukakan kalangan yang melarang keterlibatan perempuan dalam parlemen (baca buku Hukm Tawalli al-Mar’ah al-Imamah wal-Qadha’ wal-Wazarah, Amin Haj Muhammad Ahmad).
a. Tidak seorang perempuan pun yang dilibatkan dalam musyawarah pada Hari Saqifah.
b. Ash-Shiddiq ra tidak mengajak seorang perempuan pun untuk membahas masalah kemurtadan.
c. Tidak seorang perempuan pun yang diajak musyawarah saat ‘Umar membentuk tim sukses yang berjumlah enam sahabat.
d. Tidak seorang perempuan pun yang diajak musyawarah dalam majelis syura selama pemerintahan Khulafa Rasyidun.
Al-Juwaini (hlm. 62) mengatakan, “Kami tidak mengetahui sama sekali adanya keterlibatan perempuan dalam memilih imam. Ini adalah pekerjaan parlemen. Mereka tidak dimintai pendapat sama sekali. Seandainya ada seorang perempuan yang dimintai saran dalam masalah ini, maka perempuan yang paling pantas dimintai pendapat adalah Fathimah ra, kemudian Ummahatul Mu’minin. Namun kita tahu bahwa mereka tidak mendapatkan tempat dalam ranah ini di sepanjang zaman.”
Komisi Fatwa Ulama Besar al-Azhar dan ulama kontemporer lain tidak membolehkan keanggotaan perempuan dalam majelis syura, dan inilah dalil-dalil mereka:
Al-Qur’an.
a. “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya.” (al-Baqarah [2]: 228)
b. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (an-Nisa’ [4]: 34)
c. “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (al-Ahzab [33]: 33)
Sunnah.
a. “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”
b. “Dan perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan anaknya, dan ia dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari 13/19 dan Muslim 12/213)
c. “Perempuan adalah aurat. Apabila ia keluar, maka ia diintai setan.” (HR Tirmidzi, 3/476)
d. “Apabila para pemimpin kalian adalah orang-orang yang jahat di antara kalian, orang-orang yang kaya di antara kalian adalah orang-orang yang bakhil, dan urusan kalian diserahkan kepada kaum wanita, maka perut bumi lebih baik bagi kalian daripada permukaannya.” (Tirmidzi, 4/529)
e. “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali muhrimnya.” (HR Bukhari, 9/243)
f. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Banyak yang sempurna dari kalian, tetapi tidak da yang sempurna dari perempuan selain Maryam binti ‘Imran, Asiya istri Fir’aun…” (HR Muslim dalam kitab Keutamaan Khadijah, 2431).
Dalil realitas dan sejarah: tidak ada seorang pun pun yang terlibat dalam Saqifah bani Sa’idah, sebagaimana telah dijelaskan.
Logika: Larangan perempuan berbaur dengan laki-laki itu mengimplikasikan larangan keterlibatan perempuan dalam parlemen. Mushthafa as-Siba’i mengatakan, “Dengan tegas saya nyatakan bahwa aktivitas perempuan dalam politik itu sangat ditentang oleh Islam, jika bukan diharamkan. Bukan karena tidak adanya kapabilitas perempuan untuk itu, melainkan karena bahaya sosial yang ditimbulkannya, karena bertentangan secara jelas dengan etika dan akhlak Islam, dan karena mengakibatkan dampak negatif yang sangat besar bagi keutuhan keluarga.” (al-Mar’ah baina al-Fiqh wal-Qanun, hlm. 156)
Al-Mawardi menjelaskan bahwa keberadaan seorang perempuan sebagai mufti tidak serta merta membolehkannya menjadi qadhi. Ia mengatakan, “Setiap orang yang memberi fatwa syari‘at boleh dimintai fatwa oleh qadhi, seperti orang buta, budak dan perempuan, meskipun tidak seorang pun di antara mereka yang boleh menjadi qadhi.” (Adab al-Qadhi, 1/164) Maka, terlebih lagi ia tidak boleh menjadi anggota dewan. (Abu Juhair, hlm. 472) Imam al-Banna melarang perempuan memegang jabatan publik seperti hakim dan menteri, serta tidak boleh menjadi anggota legislatif yang menetapkan nasib umat dalam keadaan damai dan perang. (Abu Faris, hlm. 63)
“Sesungguhnya hukum positif yang ada melarang sebagian kelompok untuk terlibat dalam politik, seperti hakim dan tentara. Dan terkadang hukum positif melarang mereka untuk ikut pemilu dan dicalonkan menjadi anggota parlemen demi menjaga maslahat umum dan mencegah mereka masuk ke dalam hal-hal yang bisa memengaruhi obyektivitas mereka terhadap perkara-perkara umum. Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal tersebut dapat merendahkan kehormatan mereka, atau mengabaikan sisi kemanusiaan mereka. Sebagaimana undang-undang melarang pegawai negeri untuk berniaga karena pertimbangan-pertimbangan yang sama.
Apabila maslahat umat menghendaki agar perempuan dilarang beraktivitas di parlemen untuk menjaga dirinya dari kerusakan, dan untuk menjaga tenaganya agar bisa disalurkannya untuk tugas yang penting, yaitu menyiapkan generasi yang shalih, menyiapkan para pemimpin dan ibu para pemimpin. Penyiapan ini jauh lebih penting daripada sibuk dengan aktivitas politik dan parlemen.
Patut disebutkan bahwa perempuan Switzerland telah menolak dengan kesadarannya sendiri untuk menjalankan hak-hak politiknya. Hasil dari sebuah polling pada waktu itu menyatakan bahwa 95% perempuan Switzerland menolak hak ini, tetapi mereka tidak dituduh kuno dan tertinggal, atau rela terbelenggu. (al-Muhawarah al-Kubra haula Tathbiq asy-Syari‘ah, hlm. 116)
3. Syarat ketiga untuk menjadi anggota parlemen adalah memiliki ilmu. Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas ra, ia berkata, “‘Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah bin Badar datang lalu ia tinggal di rumah keponakannya yang bernama Hur bin Qais bin Hishn. Dia termasuk kalangan sahabat yang dijadikan pendamping ‘Umar. Majelis syura ‘Umar diisi oleh para ahli qira’ah, baik tua maupun muda.” Hal itu agar ijtihad ‘Umar tidak menyalahi hukum syari‘at yang didukung Kitab dan Sunnah atau ijma’.
Sebagian ulama menyaratkan agar para pendamping imam itu mencapai tingkatan mujtahid—sebagaimana imam itu sendiri. Namun sebagian ulama tidak melihat syarat ini sebagai sesuatu yang wajib, melainkan cukup mengetahui Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya SAW.
Dalam syarat ilmu ini kami menambahkan syarat mengetahui apa yang kita har ini sebut ilmu-ilmu humaniora. Di antaranya adalah sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, ilmu manajemen dan politik, serta menguasai pemikiran-pemikiran kontemporer. Sehingga dengan demikian ia menggabungkan antara orisinalitas dan pembaharuan. Termasuk bentuk pengetahuan adalah ia tidak mempromosikan dan mencalonkan dirinya, tetapi partai atau jama‘ahnya-lah yang mencalonkannya dan memaksanya untuk menerima pencalonannya itu.
Abu Juhair berkata, “Ilmu ada dua macam. Pertama, ilmu orang yang pantas menjadi imam sesuai syarat-syaratnya, sebagaimana yang dikatakan al-Juwaini (hlm. 63), “Seandainya pemilih tidak mengetahui sifat-sifat orang yang pantas menerima wewenang ini, maka ia pasti akan memberikan suaranya secara tidak tepat dan mengakibatkan bahaya bagi umat Islam akibat pilihannya yang keliru. Karena itu, kalangan awam dan orang-orang yang tidak dianggap memiliki pandangan yang tajam itu tidak terlibat dalam pemilihan.”
Al-Juwaini berpendapat bahwa yang pantas dicalonkan hanyalah mujtahid yang memenuhi syarat-syarat fatwa. Al-Baqilani berpendapat bahwa ia harus memiliki kecerdasan, kecerdikan, keutamaan dan pandangan yang tajam.
Ilmu jenis kedua adalah ilmu dengan maknanya yang luas, yaitu ilmu agama dan politik, sebagaimana yang dikatakan Muhammad Rasyid Ridha, “Sekarang ini, imam dan anggota dewan syura harus mengetahui undang-undang dan berbagai perjanjian, kondisi bangsa-bangsa dan negara-negara tetangga, serta hubungan politik dan dagang.”
Abdul Qadir ‘Audah berpendapat bahwa anggota dewan syura tidak disyaratkan menguasai setiap bidang ilmu, melainkan salah satunya saja. Ia cukup memiliki kemampuan ijtihad secara global, bukan pada setiap bidang ilmu. (Audha’una as-Siyasiyyah, hlm. 210)
4. Syarat keempat adalah adil, yaitu menjalankan berbagai kewajiban dan rukun Islam, menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil, dan tidak terkuasai hawa nafsunya. Al-Mawardi berkata, “Orang yang adil adalah orang yang benar tutur katanya, menjaga diri dari perkara-perkara haram, jauh dari hal-hal yang meragukan, tidak melakukan hal-hal negatif saat senang atau marah, serta menjaga kehormatan dirinya dalam perkara agama dan dunianya.” (hlm. 64)
5. Kuat. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kuat bagi anggota dewan adalah komit terhadap Islam dari segi akidah dan syari‘at, mampu menegakkan argumen dan membela syari‘at, menolak kerancuan musuh-musuh syari‘at, memahami siasat mereka, piawai dalam berpolitik, mampu berinteraksi dengan para politikus lain dengan kuat dan integritas moral, sehingga tidak terbawa untuk melakukan larangan-larangan Allah, atau menggunakan siasat dan taktik yang mengundang murka Allah. Tetapi ketakwaannya tidak mendorongnya untuk berbaik sangka secara berlebihan dan lupa akan apa yang terjadi di sekitarnya sehingga ia tertipu dan menjadi bahan tertawaan, bahkan menjadi permainan di tangan musuh-musuh Islam yang sangat berpengalaman dan licin dalam berpolitik. Intinya adalah seperti yang dikatakan ‘Umar, “Aku bukan penipu, tetapi penipu tidak bisa mengelabuhiku.” (Shalah ash-Shawi, hlm. 175)
Jadi, saudaraku pemilih muslim, ini adalah syarat-syarat anggota dewan perwakilan rakyat yang mewakili Anda untuk menerapkan syari‘at Islam. Dewan perwakilan rakyat merupakan lembaga legislatif tertinggi di tengah masyarakat. Karena itu, sifat-sifat ini harus ada pada para anggotanya agar bisa melakukan pekerjaan dewan. Karena itu, sadarilah bahwa Anda memikul amanah, yaitu suara Anda, supaya Anda menjatuhkannya pada orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut, seluruhnya atau sebagian besarnya. Ketika kita tidak menemukan orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut, maka kita memilih yang paling mendekati ideal. Saudaraku pemilih muslim, janganlah sampai Anda mengkhianati amanah hanya demi keluargamu atau partaimu, karena keluarga dan partai tidak bisa melindungi Anda dari siksa Allah sedikit pun pada hari ketika harta dan keturunan, serta partai dan keluarga tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih dan amal shalih.