Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme
Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
***
Level Pertama Pemilu yang Benar
Seluruh warga baik laki-laki yang telah mencapai usia dua puluh dua tahun dan berijazah SMA, atau perempuan yang telah berusia tiga puluh tahun dan telah berijazah SMA menentukan pilihannya. Logikanya, masyarakat warga yang telah memiliki sifat-sifat tersebut mengetahui atau mendengar secara mutawatir tentang para kandidat laki-laki yang populer di daerahnya yang kapabel untuk menjadi anggota dewan tingkat daerah. Dan mayoritas pemiih yang memenuhi syarat-syarat di atas tahu tugas anggota dewan tingkat daerah. Ia juga bisa membandingkan di antara karakter para kandidat dan kewajiban-kewajiban tugas yang akan diembannya. Hal itu agar ia memberi kesaksian untuk kandidat apabila ia mampu mengerjakannya, atau apabila orang lain lebih mampu darinya. Demikianlah, ia dipilih secara syar‘i.
Dewan kota (municipal council) merupakan sistem administratif a la Eropa seperti yang dipraktikkan di Afrika Utara. Di sana warganya memilih dewan kota, lalu dewan kota tersebut melakukan pekerjaan-pekerjaan administratif dan memberikan pelayanan harian kepada warga. Jadi, dewan tersebut bersentuhan langsung dengan warga, dan pekerjaannya murni administratif. Mayoritas pemilih mengetahui orang-orang yang kapabel dan menonjol di wilayah mereka, orang-orang yang pantas menjalankan tugas ini. Mayoritas pemilih juga mengetahui tugas anggota dewan kota karena warga sering bersentuhan dengan dewan kotapraja dan lembaga-lembaganya. Karena itu, pilihan yang dijatuhkan pemilih terhadap mereka—apabila ia orang yang takut kepada Allah—itu bermuatan amanah, kesaksian, loyalitas dan disloyalitas.
Level Kedua Pemilihan yang Benar
Seluruh dewan kota ini berkumpul di provinsi dan memilih dewan provinsi. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa para anggota dewan provinsi ini dipilih oleh para anggota dewan kota se-provinsi. Semua warga tidak berpartisipasi dalam memilih mereka, dan lapisan pemilih telah dipersempit. Semakin naik levelnya, maka semakin sempit. Hal itu karena para anggota dewan kota itu lebih memahami dan mengetahui para tokoh tingkat provinsi yang kapabel untuk menjadi anggota dewan provinsi karena terjadi kontak sehari-hari. Anggota dewan provinsi itu dipilih dari anggota-anggota dewan provinsi, baik yang masih aktif atau yang sudah lepas jabatan, yang memang sudah terbiasa dalam menjalankan administrasi dan memiliki pengalaman dalam menjalankan urusan-urusan provinsi.
Level Ketiga Pemilihan yang Benar
Seluruh dewan provinsi berkumpul dan memilih dewan perwakilan rakyat. Setiap kali wilayah pemilihan dipersempit, maka syarat-syarat pemilih akan terpenuhi dan bisa menyampaikan kesaksian dan amanah. Demikian pula sebaliknya. Karena para anggota dewan provinsi itu lebih mengetahui daripada para anggota dewan kota. Mereka mengetahui tugas-tugas wakil rakyat dan mengetahui tokoh-tokoh tingkat provinsi yang kapabel untuk menerima jabatan ini. Dan ketika mereka takut kepada Allah dan tahu bahwa pemilu itu bermuatan amanah, kesaksian serta loyalitas dan disloyalitas, maak pilihan mereka itu benar dengan ijin Allah.
Level Terakhir Pemilihan yang Benar
Parlemen memilih presiden yang akan membentuk pemerintahan. Presiden mengajukan kebijakan pemerintahannya kepada parlemen untuk disetujui, ditolak atau direvisi. Presiden adalah salah seorang anggota parlemen yang masih aktif atau yang sudah lepas jabatan. Ia pasti figur yang dikenal dengan baik oleh rekan-rekan sejawatnya, dan mereka bisa membandingkan di antara para kandidat. Dengan demikian, pilihan mereka itu sesuai dengan kesaksian dan amanah, dan prinsip syura terlaksana di dalamnya.
Al-Mawardi (hlm. 6) berkata, “Apabila kepemimpinan hukumnya wajib, maka kewajibannya adalah kifayah, sama seperti jihad dan mencari ilmu (maksudnya bagi orang yang sanggup melaksanakannya). Apabila kewajiban tersebut dikerjakan orang yang memiliki kapabilitas, maka gugurlah kewajiban bagi semua orang. Dan apabila tidak seorang pun yang mengerjakannya, maka dua kelompok yang harus bertindak, yaitu orang-orang yang memiliki kepantasan untuk menjadi imam agar salah seorang dari mereka dipilih menjadi imam, dan orang-orang yang memiliki kewenangan memilih (ahlul hill wal ‘aqd) dapat memilih imam bagi umat. Selain dari kedua kelompok ini tidak berdosa akibat menunda pemilihan imam. Karena selain dua kelompok tersebut tidak dituntut untuk memilih imam, dan tidak berhak untuk terlibat dalam memilihnya.
‘Umar ra membatasi kepemimpinan hanya pada enam orang saja. Sedangkan orang-orang yang memiliki hak memilih itu adalah orang-orang yang diajak musyawarah oleh Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka adalah tokoh-tokoh sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar, para panglima pasukan. Ia tidak meminta pendapat dari seluruh penduduk Madinah Munawarah, apalagi dari seluruh umat Islam. Dalam kitab al-‘Aqd al-Farid (3/93) disebutkan, “Ketika ‘Utsman terbunuh, maka orang-orang segera menemui Ali bin Abu Thalib ra. Jama‘ah berjubel untuk membaiatnya. Lalu Ali berkata kepada mereka, “Itu bukan hak kalian, melainkan hak Ahli Badar. Dimana Thalhah, Zubair dan Sa’d?” Lalu mereka datang dan membaiat, kemudian kaum Muhajirin dan Anshar pun membaiat Ali, disusul semua orang.” Ath-Thabari (4/427) berkata, “Ketika penduduk Madinah berkumpul, maka penduduk Mesir berkata, “Kalian adalah ahli syura. Kalian-lah yang menentukan pemimpin. Perintah kalian berlaku bagi umat. Angkatlah seseorang menjadi pemimpin, dan kami mengikuti kalian.”
Dari riwayat ini, jelas bahwa seluruh umat Islam tidak terlibat dalam memilih khalifah, dan jelas pula bahwa orang-orang yang berhak memilih itu adalah kalangan khusus dari umat Islam seperti Muhajirin dan Anshar di masa kekhalifahan. Adapun orang-orang yang datang dari Kufah, Mesir dan Basrah, pilihan mereka tidak diterima oleh Ali, Thalhah dan Zubair. Ketiga sahabat ini tidak memperkenankan mereka ikut campur dalam menentukan perkara.
Oleh karena tugas yang akan diemban kandidat itu merupakan perkara yang penting, maka jumlah pemilihnya sediit. Jumlah pemilih presiden lebih sedikit daripada jumlah pemilih lain, jumlah pemilih parlemen lebih sedikit daripada jumlah pemilih dewan provinsi, dan rakyat hanya memilih dewan kota saja. Pada saat itulah syarat-syarat pemilih. Dan pada kelanjutannya, pemilu menjadi bermuatan amanah, kesaksian serta loyalitas dan disloyalitas, serta sesuai dengan syari‘at Allah.
Andai Mereka Masuk Lobang Biawak
Tetapi, problematika umat Islam hari ini ada pada sikap taklid kepada Yahudi dan Nasrani. Seandainya mereka masuk lobang biawak, maka kalangan awam dari umat Islam pasti mengikuti mereka. Jadi, umat Islam hari ini mengambil demokrasi dari Barat dengan segenap celah dan cacatnya. Sebagaimana mereka beberapa dasawarsa yang lalu mengambil sosialisme setelah mereka terpesona dengan kilauan sinarnya, dan setelah mereka dibuat tercengah oleh media internasional yang mempropagandakannya dan memujinya. Persis seperti yang dilakukan media para hari ini terhadap demokrasi. Dahulu umat Islam menghancurkan negara dan ekonomi mereka dengan sosialisme, kemudian terbukti di mata dunia cacat dan celah sosialisme yang memiskinkan bangsa-bangsa dunia dan memberi jalan bagi para penguasa untuk mengeruk dan merampas kekayaan, hingga mengakibatkan rakyat terlantar dan lapar, siang malam mencari sepotong roti.
Saya berharap umat Islam mengetahui cacat demokrasi—meskipun tampak memesona mata—sebelum ia menghancurkan negara mereka, seperti sosialisme telah menghancurkannya. Pemilu akan banyak digunakan di dunia Islam, dan umat Islam digiring ke bilik suara, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Lalu kepada mereka dikatakan: pilihlah si A, karena dia akan mengubah bumi kalian menjadi surga. Atau, pilihlah si B karena dia berasal dari suku yang sama dengan Anda. Mereka melihat gambar para kandidat di pinggir-pinggir jalan, lalu mereka suka dengan gaya dan penampilan si A, dan tidak suka dengan gaya dan penampilan si . “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum.” (al-Munafiqun [63]: 4)
Demikianlah, umat Islam menghancurkan negara mereka dengan demokrasi, sebagaimana sebelumnya mereka menghancurkannya dengan sosialisme. Semua itu akibat kebodohan umat Islam. Tiada daya dan upaya kecuali dengan seijin Allah.
Seandainya umat Islam tahu bahwa keadilan sosial dalam Islam adalah sistem ekonomi mereka sebagaimana yang dikehendaki Allah dan dijelaskan Rasulullah SAW, dan seandainya mereka meyakini bahwa sistem ekonomi Islam itu berbeda dengan sosialisme, maka mereka pasti memperoleh kekayaan mereka yang hilang dirampas para penguasa mereka dan kaki tangan musuh mereka atas nama sosialisme, dan karenanya mereka selama beberapa dasawarsa mengalami keterpurukan ekonomi yang masih mereka hadapi saat ini, meskipun sumber daya alam mereka sangat berlimpah.
Demikian pula, seandainya umat Islam hari ini tahu bahwa syura—bukan demokrasi—adalah sistem pemerintahan rabbani yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya dan yang dijelaskan Rasulullah SAW, maka mereka pasti dengan cara yang singkat dapat mewujudkan kekhalifahan menurut manhaj kenabian yang telah dijanjikan Rasulullah SAW dalam hadits yang disebutkan pada pendahuluan buku ini.