Hukum-hukum Darurat
Bagi Pemilih
Terkadang berbagai insiden menghalangi seorang muslim untuk menjalankan pemilih sebagai amanah dan kesaksian. Terkadang seseorang mendapati dirinya telah dikelilingi keluarga dan sukunya. Mereka memaksanya untuk memilih fulan karena ia adalah kandidat suku atau keluarga tersebut, padahal ia yakin bahwa kandidat yang mereka paksakan itu bukan kandidat yang paling diridhai Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia terpaksa membela kebatilan yang dipaksakan padanya. Lalu, bagaimana jalan keluarganya?
Pada saat itu, sebaiknya ia menutup pintu dan menghindari pemilu. Dan apabila ia dipaksa untuk pergi ke tempat pemungutan suara, maka hendaknya ia membiarkan kertas suaranya kosong. Kalau ia tidak berkesempatan untuk menjadi pendukung orang-orang mukmin, maka setidaknya ia tidak menjadi pendukung orang-orang yang berbuat dosa. “Musa berkata, ‘Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.’” (al-Qashash [28]: 17)
Seseorang yang bekerjama dengan seorang skuler yang berbuat batil agar ia memperoleh kekausaan, padahal ia mengetahui bahwa orang skuler tersebut memusuhi Allah dan Rasul-Nya, menentang syari‘at Islam, maka sejatinya ia membantunya untuk menghancurkan Islam, serta mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin.
Bagi Wakil Rakyat
Wakil yang diantarkan pemilih muslim ke parlemen untuk berusaha menerapkan syari‘at Islam, tetapi kondisi parlemen menghalanginya untuk mewujudkan tujuan tersebut, sehingga ia tidak bisa membantu orang yang terzhalimi atau mencegah orang yang berbuat zhalim, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk tidak meninggalkan posisinya dan kembali kepada dakwah dan masjidnya, dimana ia berusaha untuk memperbaiki umatnya agar darinya muncul orang-orang yang shalih yang siap menerima tugas tersebut. Kondisi darurat tidak memberi keringanan kepada wakil rakyat di parlemen untuk mengesahkan undang-undang yang bertentangan dengan perintah Allah, atau membiarkan para pengusung syari‘at dalam menyerukan pemberlakuan syari‘at Allah.
Sesungguhnya selemah-lemahnya iman dalam posisi seperti ini adalah menyuarakan kebenaran dengan lantang, menegakkan argumen dalam setiap moment yang bersinggungan dengan agama Allah, meskipun ucapannya tidak direspon dan nasihatnya tidak didengar. Kalau hal ini saja tidak bisa dilakukannya, maka keberadaannya dalam dewan menjadi sia-sia tanpa guna, bahkan batil dimana ia akan memikul dosanya. (Shalah ash-Shawi, hlm. 186)
Anggota dewan ini memikul amanah para pemiluh muslim yang mengantarnya ke parlemen agar membela syari‘at, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, memberi nasihat setiap hari kepada teman-temannya sesama anggota parlemen, mengingatkan dan menasihati mereka bahwa mereka secara syara’ terbebani untuk membela syari‘at Islam, menerapkannya di negara-negara Islam, dan menghapus hukum positif. Apabila ia tidak menemukan jalan untuk mengingatkan, menasihat dan menyatakan kebenaran dari mimbar parlemen, maka keberadaannya menjadi bahaya bagi umat Islam, dan ia harus meninggalkan parlemen agar rakyat tahu bahwa parlemen tidak memungkinkan para wakilnya untuk mengucapkan kebenaran, sekedar mengucapkan, apalagi berbuat!
Sosialisasi Amandemen Syari‘at Sistem Pemilu
Di antara kewajiban penting bagi para dai dan ulama hari ini adalah mensosialisasikan fiqih pemilu melalui media cetak dan elektronik, dengan selebaran, buku, khutbah di masjid, forum diskusi, ceramah dan kajian-kajian akademik. Hal itu agar jelas bagi umat Islam mengenai pentingnya pemilu, agar jelas bagi mereka bahwa pemilu adalah amanah dan Allah telah memerintahkan mereka untuk menunaikan amanah kepada yang berhak, bahwa pemilu itu untuk memberi kesaksian yang harus dilakukan dengan caranya yang syar‘i sebagaimana yang diajarkan Islam kepada kita, dan bahwa pemilu adalah untuk menunjukkan loyalitas yang harus diberikan sesuai aturannya dalam syari‘at.
Para ulama dan dai harus tahu bahwa sosialisasi fiqih pemilu itu termasuk kewajiban paling prioritas yang harus diperhatikan dalam pertarungan ini, dan bahwa mengajarkan fiqih pemilu pada hari ini adalah termasuk kebutuhan zaman. Hal itu agar kita dapat menggugah iman yang terpendam dalam hati umat, mengarahkannya untuk membela kebenaran dan menguatkan syari‘at Allah di tengah realitas ini. Umat harus memahami bahwa perginya mereka ke tempat-tempat pemungutan suara itu sama seperti perginya mereka ke tempat-tempat ibadah, dan bahwa pengunggulan mereka terhadap seorang kandidat di atas kandidat lain itu termasuk perbuatan syari‘at yang terkait dengan tiga masalah dalam fiqih Islam, yaitu amanah, kesaksian serta loyalitas dan disloyalitas. Apabila semua itu tidak dijalankan sesuai ketentuan yang diridhai Allah, maka dapat menjadi penyebab murka Allah! (ash-Shawi, hlm. 180)
Wahai Pemilih Muslim
Sesungguhnya urgensi tugas Anda itu lebih besar daripada yang dibebankan pada pundak wakil rakyat, karena padamu dibebankan amanah dimana gunung-gunung saja enggan untuk membawanya, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab [33]: 72)
Allah telah memerintahkan kita untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak. Pada wakil itu tidak menjadi wakil dan tidak masuk ke gedung parlemen seandainya bukan karena suara-suara Anda dan teman-teman Anda para pemilih. Maka, Anda secara tidak langsung terlibat dalam setiap perbaikan yang mereka lakukan, dan Anda pun memperoleh pahala seperti pahala mereka. Sebaliknya, setiap kekafiran yang mereka kerjakan itu dosanya juga sampai kepada kalian, karena kalian terlibat di dalamnya, dan kalian-lah yang mengantar mereka ke dewan.
Maka, apa yang kalian lakukan besok ketika Allah bertanya kepada kalian, “Kalian mengabaikan syari‘at-Ku melalui wakil-wakil kalian. Komunisme, sosialiasime dan sekulerisme datang melalui mereka, dan kalian melihat saja, tidak memprotes mereka. Kalian tidak menolong hamba-hamba-Ku yang sudah-payah berjihad di jalan-Ku untuk mencari ridha-Ku, melainkan kalian loyal terhadap para penipu itu, memberikan pertolongan kepada mereka, memutuskan hubungan wali-wali Allah dan mengabaikan mereka. Apakah kalian tidak berpikir?”
Apa yang kalian katakan ketika Allah bertanya kepada kalian, “Tidakkah Aku telah perintahkan kalian untuk tidak menjadikan orang-orang yang berbuat batil itu sebagai kawan untuk melawan orang-orang mukmin? Tidakkah Aku telah perintahkan kalian untuk tidak mencintai orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka adalah bapak, anak, saudara atau kabilah kalian?
"Tidakkah Aku telah perintahkan kalian tidak tidak menjadikan musuh-Ku dan musuk kalian sebagai kawan, dimana kauberikan cintamu kepada mereka sedangkan mereka ingkar terhadap kebenaran yang datang kepadamu? Tidakkah Aku telah perintahkan kalian untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, mencegah kezhaliman dan menegakkan kebenaran? Tidakkah Aku perintahkan kepada kalian untuk tidak mengeluarkan dakwaan-dakwaan jahiliyah, dan bahwa barangsiapa yang melakukannya di antara kalian maka ia termasuk penghuni neraka Jahannam meskipun ia puasa, shalat dan mengaku sebagai muslim?
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus. Sesungguhnya setan itu telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan?” (Yasin [36]: 62)