Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme
Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
***
Loyalitas dan Disloyalitas adalah Bagian Fundamental dari Syahadat
Mahmas al-Jal’ud dalam kitabnya al-Muwalah wal-Mu’adah fisy-Syari‘ah al-Islamiyyah (hlm. 131) mengatakan, “Di antara ulama ada yang memasukkan loyalitas dan disloyalitas ke dalam makna La Ilaha Illallah. Berikut ini adalah argumen-argumen mereka:
1. Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” (az-Zukhruf [43]: 26-27)
Maksudnya, loyalitas kepada Allah dengan mengabdi kepadanya dan disloyalitas kepada setiap sesembahan selain Allah itulah makna La Ilaha Illallah. Karena itu, barangsiapa yang membolehkan syirik, atau loyal terhadap orang-orang musyrik dan membela mereka, atau memusuhi orang-orang yang bertauhid dan memutuskan hubungan dengan mereka, maka ia telah menggugurkan kehormatan La Ilaha Illallah, tidak mengagungkannya dan tidak menjalankan haknya meskipun ia mengaku sebagai muslim.
Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Sesungguhnya Allah mengungkapkan melalui lisan Ibrahim AS makna La Ilaha (tiada tuhan) dalam ucapannya, “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah,” dan mengungkapkan makna Illallah (kecuali Allah) dalam ucapannya, “Tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku.” Jadi, untuk mewujudkan makna syahadat, seseorang tidak cukup menyembah Tuhannya, melainkan ia harus menjauhi ibadah kepada selain Allah. Barangsiapa yang loyal terhadap orang-orang kafir, atau menjadikan mereka pemimpin, maka ia telah kufur karena ia belum merealisasikan makna La Ilaha Illallah.”
Al-Jal’ud (hlm. 137) menambahkan, “Atas dasar itu, barangsiapa yang loyal kepada orang-orang kafir dan tidak memusuhi mereka, maka ia belum menyembah Allah dengan sebenar-benarnya ibadah kepadanya, dan menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam hal ibadah. Apabila seorang muslim menaati orang-orang kafir, menampakkan cinta dan persetujuan terhadap mereka, membantu mereka untuk berbuat kufur dengan uang, senjata, orang atau pendapat, memutus hubungan dengan umat Islam, atau menjadikan hubungannya dengan orang-orang kafir lebih tinggi daripada hubungannya dengan umat Islam, maka ia telah keluar dari makna La Ilaha Illallah dan murtad dari Islam, dan hukumnya kafir.”
Silakan baca juga kitab al-Iman karya Muhammad Nu’aim Yasin.
“Mengucapkan syahadat harus ditindak-lanjuti dengan mengamalkan konsekuensinya, agar ia bertauhid secara hakiki. Di antara konsekuensi syahadat tauhid adalah loyalitas dan disloyalitas karena Allah. Barangsiapa yang memberikan loyalitas, cinta dan pertolongannya kepada orang-orang kafir dimanapun mereka, maka hal tersebut membatalkan syahadat tauhid, meskipun ia terus mengucapkannya ratusan kali.
Mayoritas ulama mengatakan, “Iman adalah ucapan dan amal. Sungguh aneh ucapan sebagian ulama kontemporer bahwa tidak ada yang mengeluarkan dari agama selain kufur secara akidah. Syaikh Hasan dan Syaikh Abdullah (putra Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) mengomentari orang yang mengatakan, “Aku tidak mengusik orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah meskipun ia berbuat syirik dan kufur serta memusuhi agama Allah.” Keduanya menjawab bahwa orang ini dan orang lain yang sepertinya bukan muslim. (Lihat kitab Majmu‘ah at-Tauhid)
Ibnu Taimiyyah berkata, “Yang dimaksud dengan mengucapkan La Ilaha Illallah itu bukan mengucapkan dengan lisan tanpa memahami maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya. Karena orang-orang munafik juga mengucapkannya, sedangkan mereka berada di tingkatan paling rendah dalam neraka, di bawah orang-orang kafir, meskipun mereka shalat dan puasa. Tetapi, maksud dari mengucapkan La Ilaha Illallah adalah disertai pengetahuan hati tentang maknanya, cinta terhadapnya dan orang-orang yang mengikutinya, serta membenci orang yang menyalahinya dan memusuhinya.”
Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Dalam sehari semalam, seorang muslim mengucapkan lebih dari tujuh belas kali, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau berita nikmat pada mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (al-Fatihah [1]: 6-7)
Tetapi meskipun demikian, ada kalanya ia termasuk orang-orang yang dimurkai atau orang-orang yang sesat, sesuai kondisi dan perbuatannya. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Manusia terbagi menjadi tiga golongan; golongan yang dimurkai, yaitu orang yang memiliki ilmu tetapi tidak disertai perbuatan; golongan orang-orang yang sesat, yaitu orang yang ahli ibadah tapi tidak disertai ilmu. Meskipun ayat-ayat tersebut berbicara tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani, namun ia mencakup setiap orang yang memiliki sifat demikian. Adapun orang yang diberi nikmat itu adalah orang yang menyatukan ilmu dan perbuatan.” (Majmu’ah at-Tauhid)
Umat sepakat mengkafirkan Bani ‘Ubaidillah al-Mahdi al-Qaddah, meskipun mereka bersyahadat, shalat dan membangun banyak masjid di Kairo. Allah melekatkan kafa kufur pada orang yang meninggalkan haji dalam firman Allah, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran [3]: 97)
Abu Bakar memerangi para pembangkang zakat padahal mereka mengakui empat rukun Islam yang lain. Dari penjelasn di atas, jelas bahwa apabila seseorang mengeluarkan perkataan, melakukan perbuatan, atau tertanam dalam hatinya suatu keyakinan yang bertentangan dengan rukun-rukun Islam dan pokok-pokoknya, maka ucapan syahadat tidak berguna baginya.
Kemudian al-Jal’ud menyebutkan sebagian kelompok manusia yang melanggar prinsip loyalitas, yaitu:
- Orang yang mengesakan Allah tetapi ia tidak menentang syirik, serta tidak memusuhi dan membenci orang-orang yang berbuat syirik.
- Orang yang memusuhi orang-orang musyrik tetapi tidak mengkafirkan mereka.
- Orang yang mengetahui tauhid dan mencintainya, tetapi membenci orang-orang yang bertauhid, membenci jama‘ah umat Islam, dan mencintai orang yang membela kekafiran seperti orang-orang yang mendukung partai-partai kafir.
- Tahu bahwa tauhid itu benar, tetapi ia tidak mau bergabung dengan jama‘ah umat Islam dan tetap bersama orang-orang yang musyrik, dengan dalih ia mencintai orang yang musyrik, tanah air dan kepentingannya. Ia memerangi orang-orang yang bertauhid bersama orang-orang kafir sebangsanya.
Dari sini kami menyimbulkan bahwa tidak sah keislaman seseorang kecuali dengan loyalitas kepada para pemeluk Islam dan memusuhi orang-orang kafir. Seandainya seorang muslim loyal kepada umat Islam namun tidak memusuhi orang-orang kafir, maka keislamannya tidak sah. Dan seandainya ia memusuhi orang-orang kafir tetapi tidak loyal kepada umat Islam, maka keislamannya juga tidak sah. (bersambung)