Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme
Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
***
Allah berfirman, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imran [3]: 28)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (al-Ma’idah [5]: 51)
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (al-Ma’idah [5]: 55)
Ketika Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq menyebut hal-hal yang membatalkan iman dalam bukunya al-Hadd al-Fashil bainal-Kufr wal-Iman (Batas Pemisah Tegas antara Kufur dan Iman), ia meletakkan loyalitas kepada musuh-musuh Allah sebagai salah satu pembatal iman dengan bersandar pada ayat-ayat di atas. Syaikh Abdurrahman merinci pada Yahudi dan Nasrani karena di antara mereka ada yang memerangi Islam dan ada yang tidak memerangi Islam.
Maksudnya, loyalitas terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya itu dapat membatalkan iman. Sedangkan loyalitas terhadap orang-orang yang tidak memerangi Allah dan Rasul-Nya itu sesuai dengan firman Allah, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada emerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah [60]: 8)
Dosa yang paling besar adalah loyalitas seorang muslim terhadap orang kafir untuk melawan saudaranya sesama muslim. Maksudnya, ia mendukung orang kafir untuk melawan saudara-saudaranya sesama muslim. Inilah loyalitas terhadap orang-orang kafir yang mengeluarkan seseorang dari Islam.
Maka waspadalah, saudaraku sesama muslim, karena suara yang Anda berikan kepada seorang sekuler yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya itu bisa jadi adalah loyalitas terhadap orang yang Anda pilih itu, karena Anda menolongnya dan pertolongan itu termasuk bagian dari loyalitas. Bagaimana mungkin Anda menolong musuh-musuh Allah dan berdiri bersama mereka untuk melawan saudara-saudaramu sesama muslim? Padahal Anda tahu bahwa loyalitas terhadap orang-orang kafir yang memerangi Allah dan Rasul-Nya itu dapat membatalkan iman.
Kata wali dalam bahasa Arab dapat diartikan orang yang mencintai, teman, penolong, sekutu dan pengikut. Dari penjelasan al-Qur’an al-Karim, jelas bahwa kata wala’ berarti menolong. Allah berfirman, “Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli Kitab, ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.” (al-Hasyr [59]: 11)
Di antara bentuk loyaitas adalah cinta dan simpati. Allah berfirman, “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al-Mujadilah [58]: 22)
Allah juga berfirman, “Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka.” (al-Ahzab [33]: 48)
Bentuk lain dari loyalitas adalah berserupa dengan suatu kaum. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau sabda, “Barangsiapa yang berserupa dengan suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”
Semua penjelasan di atas menolak loyalitas seorang muslim terhadap orang-orang kafir dan munafik, karena loyalitas seorang muslim adalah kepada Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman. Lalu, bagaimana cara kita loyal terhadap orang-orang yang beriman?
1. Menolong orang-orang mukmin, tidak menelantarkan mereka.
2. Mengaitkan nasib kita dengan nasib mereka.
3. Tidak menaati orang-orang kafir menyangkut urusan orang-orang mukmin.
4. Memberikan rahasia orang-orang kafir dan munafik kepada orang-orang mukmin.
5. Mencintai dan menyayangi mereka dimanapun mereka berada.
6. Bergaul dengan mereka dan memperbanyak jumlah mereka.
7. Menaati pemimpin politik dan ulama mereka.
8. Berserupa dengan mereka, karena berserupa dengan mereka berarti meneladani Rasulullah (Sa‘id Hawwa, Jundullah, hlm. 181).
Muhammad Sa‘id al-Qahthani berkata, “Di antara tuntutan loyalitas dan disloyalitas ada hak muslim atas muslim lain. Apa hak tersebut?
1. Kasih sayang.
Ini diberikan orang mukmin hanya kepada sesama mukmin, sedangkan orang kafir, orang fasik dan pembuat bid’ah tidak memperoleh bagian dari kasih sayang mereka.
2. Menolong
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang mengabaikan seorang muslim di suatu tempat dimana keharamannya dilanggar dan kehormatannya direndahkan, melainkan Allah mengabaikannya di tempat dimana ia menginginkan pertolongan-Nya. Dan tidaklah seseorang menolong seorang muslim di suatu tempat dimana kehormatannya direndahkan dan keharamannya dilanggar, melainkan Allah pasti menolongnya di tempat dimana ia menginginkan pertolongan-Nya.”
Pertolongan tersebut diwujudkan dengan beberapa hal. Di antaranya adalah membela saudara sesama muslim dan mencegah kejahatan orang-orang yang zhalim darinya, memberdayakannya secara ekonomi, membela kehormatan dan nama baiknya, mencegah orang-orang yang hendak mencemarkan kehormatan umat Islam, mendoakan umat Islam agar memperoleh kemenangan, taufiq dan langkah yang tepat, mengikuti berita umat Islam di berbagai penjuru dunia, memerhatikan kondisi mereka dan mendukung mereka semampu tenaga. Semua semua dapat merealisasikan loyalitas seorang muslim terhadap saudara-saudaranya sesama muslim dan menjadikannya anggota dan faktor positif dalam tubuh Islam. (Muhammad Sa‘id al-Qahthani, hlm. 267) (bersambung)