Pemilu Antara Syura Dan Demokrasi (2)

Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

***

Tingkatan-Tingkatan Pemilu

Agar syarat-syarat pemilih terpenuhi sebagaimana yang diajarkan dalam Islam, dimana pemilu itu bermuatan amanah dan kesaksian, dan pemilu yang diikuti umat Islam tidak seperti yang ada dalam demokrasi yang memperluas basis pemilihan tanpa memerhatikan sejauh mana kredibilitas pemberian suara oleh pemilih, maka pemilu itu harus memiliki tingkatan-tingkatan, atau pemilu dilakukan beberapa fase sebagaimana akan kita lihat. Karena itu, kami membagi para pemilih menjadi beberapa lapisan, dimana masing-masing lapisan berpartisipasi dalam sebagian pemilu. Yaitu bagian dimana pemilu bisa memberikan suaranya dengan amanah dan ikhlas karena Allah. Pada saat itulah pemilih bisa menjalani pemilu sebagai kesaksian, amanah serta loyalitas dan disloyalitas. Lapisan-lapisan ini meliputi seluruh basis pemilih agar mencakup mayoritas warga laki-laki dan perempuan. Kemudian dipersempit pada tingkat kedua, dan jauh dipersempit pada tingkat ketiga dan keempat, sebagaimana berikut:

Seluruh warga memilih: Pemilih muslim memilih para kandidat dari kalangan muslim, dan non-muslim memilih kandidat dari non-muslim. Jadi, warga non-muslim memilih di daerahnya sendiri kandidat yang juga non-muslim, laki-laki, telah berusia dua puluh dua tahun dan berijazah SMA, sebagaimana perempuan memilih perempuan yang telah mencapai usia tiga puluh tahun dan berijazah SMA.

Fiqih Realitas:

Apa yang saya isyaratkan sebelumnya adalah apa yang kita temukan dalam prinsip-prinsip fiqih politik Islam yang saat ini tidak diberlakukan di negara-negara Muslim, yaitu wanita tidak bergaul dengan laki-laki dan ruang aktivitasnya adalah rumah. Karena itu, ia tidak seperti laki-laki dalam hal mengetahui siapa yang paling pantas dipilih.

Sedangkan fiqih realitas dalam harakah Islamiyah memaksa kita untuk membolehkan kaum perempuan untuk memilih, sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu buatan orang lain yang kita berlakukan. Maka, pada hari ini ketika kita berpartisipasi dalam pemilu, maka undang-undang pemilu dibuat oleh negara. Di antara undang-undang tersebut adalah perempuan memilih sama seperti laki-laki, tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Undang-undang ini dibuat oleh orang lain. Dan apa yang diajarkan fiqih realitas adalah kita berinteraksi dengan undang-undang tersebut ketika kita ingin terlibat dalam pemilu, dan mendorong perempuan untuk masuk bilik suara seperti yang diperkenankan oleh undang-undang. Umumnya, yang berhak memberi suara adalah yang telah berusia delapan belas tahun. Kalau kita tidak melakukan hal tersebut, maka kita akan rugi, karena para pesaing kita akan dipilih oleh perempuan-perempuan mereka, dan kita pun rugi apabila tidak mendorong perempuan-perempuan kita untuk memilih.

Hal ini terjadi ketika seandainya di suatu negara terdapat harakah Islamiyah dan undang-undang pemilu di negara tersebut menetapkan seperempat anggota dewan adalah perempuan, misalnya, dan harakah Islamiyah bermaksud terlibat dalam pemilu tersebut. Jadi, ia berada di antara dua hal. Pertama, tidak memperkenakan perempuan-perempuan harakah Islamiyah untuk dicalonkan sebagai anggota dewan. Dengan demikian, harakah Islamiyah kehilangan seperempat kursi di dewan. Kedua, harakah Islamiyah mencalonkan perempuan yang berwawasan dan usianya telah matang (50 tahun misalnya) untuk mengisi kursi yang telah dialokasikan negara pembuat undang-undang untuk perempuan.

Pada alternatif pertama, harakah Islamiyah akan menjadi minoritas di parlemen karena ia telah melewatkan serempat kursi dewan yang dikhususkan bagi perempuan. Sedangkan pada alternatif kedua, bisa jadi harakah Islamiyah mayoritas dan membentuk pemerintahan, dan barangkali mayoritas tersebut dapat mengamandemen undang-undang.

Wanita dan Pemilu

Maksud saya menyebutkan syarat-syarat partisipasi perempuan dalam pemilu adalah ketika harakah Islamiyah menang dan membentuk pemerintahan, maka ia bisa membuat undang-undang pemilu sehingga bisa meletakkan syarat-syarat tersebut, agar pemilu memiliki muatan kesaksian. Dan ketika harakah Islamiyah telah mampu membut undang-undang, maka menurut saya perempuan tidak perlu terlibat dalam parlemen, sebagaimana sebelumnya saya berpendapat untuk membatasi partisipasi perempuan dalam pemilu.

1. Dr. Mushthafa as-Siba’i dalam bukunya al-Mar’ah bainal-Fiqh wal-Qanun mengatakan, “Saya nyatakan secara tegas bahwa kesibukan perempuan dalam ranah politik itu disikapi Islam secara tidak respek, jika bukan mengharamkannya. Bukan karena tidak memiliki kapasitas dan kemampuan, tetapi karena bahaya sosial yang timbul darinya dan karena jelas bertentangan dengan adab Islam.” (hlm. 161) Di banyak negara, militer termasuk para jenderal tidak diperkenankan terlibat dalam pemilu, sama seperti hakim. Apakah hal ini mengurangi nilai dan kedudukan mereka di tengah masyarakat? Begitu pula, undang-undang positif melarang pegawai negeri untuk berbisnis. Apakah hal ini mengurangi nilainya? Tidak terlibatnya perempuan dalam dewan perwakilan itu tidak mengurangi nilai perempuan, karena perempuan itu terlalu mulia untuk duduk di dewan perwakilan. Tugas perempuan adalah menciptakan generasi-generasi unggul yang menjadi pilar berdirinya masyarakat.

2. Di antara ulama yang berpandangan demokrasi adalah Syaikh Abdul Karim Zaidan dalam bukunya al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah wal-Bait al-Muslim (4/333). Ia berpendapat, “Perempuan tidak boleh menjadi anggota dewan karena sebab-sebab sebagai berikut:

a. Apabila tujuannya mencari rezki, maka perempuan itu ditanggung biaya hidupnya oleh walinya.

b. Aktivitas perempuan di dewan itu hukumnya fardhu kifayah, sedangkan aktivitas perempuan dalam rumah itu hukumnya fardhu ‘ain. Fardhu ‘ain itu lebih didahulukan daripada fardhu kifayah.

c. Menurut prinsip Islam, mencegah terjadinya kerusakan itu lebih didahulukan daripada upaya mencari manfaat. Larangan perempuan aktif di parlemen tiu agar perempuan tidak keluar rumah dan tidak berbaur dengan laki-laki, dan barangkali terjadi khalwat dengan mereka. Ada kemungkinan perempuan terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan dewan, tetapi bukan sebagai anggota dewan. Seperti memberikan saran kepada pemimpin negara dan anggota dewan dengan paper dan sarana-sarana komunikasi modern yang banyak jenisnya.

Dalil-dalil tentang kebolehan hal ini adalah apa yang dilakukan Ummu Salamah Ra dalam perjanjian Hudaibiyyah. Juga seperti yang dilakukan Khaulah binti Tsa’labah ketika ia meminta ‘Umar berhenti dan menasihatnya secara panjang lebar, lalu ‘Umar berkata, “Seandainya ia perempuan ini menahanku dari pagi hingga sore, maka aku tidak akan bergeming kecuali untuk shalat fardhu. Tahukah kalian siapa perempuan tua itu? Dia adalah Khaulah yang perkataannya didengar Allah dari atas tujuh langit.” Sebagaimana ijtihad dan fatwa itu tidak dilarang bagi perempuan, dan sarana-sarana informasi pada hari ini banyak ragamnya dan mudah.

Laki-laki (usia dua puluh dua tahun dan berijazah SMA) dan perempuan (usia tiga puluh tahun dan berijazah SMA) yang memiliki hak memilih. Mereka memilih anggota dewan tingkat kabupaten dan kota, karena mereka sudah bisa memberi kesaksian dengan benar apabila mereka memiliki kesadaran akan pengawasan Allah saat menjatuhkan suara.

Ada beberapa rekan yang bertanya, kenapa perempuan berusia tiga puluh dan laki-laki berusia dua puluh dua? Jawaban saya terhadap pertanyaan tersebut adalah,

– Perempuan diciptakan untuk mendidik dan mengasuh di rumah. “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” (al-Ahzab [33]: 33) Ini adalah tugas yang paling mulia dan paling penting di tengah masyarakat. Tidak berbaurnya perempuan dengan laki-laki membuatnya tidak mengenal banyak orang, tidak seperti laki-laki, agar bisa memberi kesaksian yang benar terhadap mereka.

– Pemilu itu bermuatan kesaksian, dan kesaksian dua perempuan itu senilai dengan kesaksian satu laki-laki. Di dalam bab Kesaksian Perempuan Bukhari mengutip ayat yang berbunyi, “Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan.” (al-Baqarah [2]: 282)

Diwayatkan dari Abu Said al-Khudri ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidakkah kesaksian perempuan itu separo kesaksian laki-laki?” Mereka (kaum perempuan) menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Itulah maksud dari tidak sempurnanya akal perempuan.” Mayoritas ulama mengatakan bahwa kesaksian perempuan dalam perkara hadd dan qishash tidak boleh, dan yang dibolehkan adalah dalam masalah harta benda. Mayoritas ulama melarang kesaksian perempuan dalam pernikahan, cerai, nasab dan perwalian. Mereka menyepakati bolehnya kesaksian perempuan dalam hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh laki-laki, seperti terkait masalah haidh dan persalinan.

Menurut perempuan, harus ada empat perempuan. Tetapi menurut Malik cukup dengan dua perempuan, dan menurut ulama madzhab Hanafi cukup dengan satu perempuan.” Dan dalam bab Penilaian positif Perempuan terhadap Perempuan Lain, setelah mengutip hadits tentang kebohongan Ibnu Hajar mengatakan, “Maksudnya di sini adalah pertanyaan Nabi SAW terhadap Barirah mengenai kondisi ‘Aisyah, dan jawabannya bahwa ‘Aisyah tidak bersalah. Juga sikap Nabi SAW yang berpegang pada perkataan Barirah, hingga beliau berkhutbah dan meminta Abdullah bin Ubai untuk meminta maaf. Demikian pula pertanyaan Nabi SAW kepada Zainab binti Jahsy mengenai hal ihwal ‘Aisyah, dan jawaban Zainab bahwa ‘Aisyah tidak bersalah..Semua itu menjelaskan maksud judul bab kebolehan penilaian positif perempuan terhadap perempuan lain.”

Ibnu Baththal berkata, “Dari hadits ini Abu Hanifah mengambil argumen tentang kebolehan memberikan penilaian positif terhadap perempuan lain. Pendapat ini dipegang oleh Yusuf, dan Muhammad menyetujui pendapat mayoritas. Ath-Thahawi berkata, “Penilaian positif termasuk kategori berita, bukan kesaksian, sehingga tidak ada penghalang untuk diterima.” Dan judul bab tersebut juga mengandung isyarat tentang pendapat ketiga, bahwa yang diterima adalah penilaian positif perempuan terhadap perempuan, bukan terhadap laki-laki, karena terhadap perempuan bergaul dengan perempuan lain dan mengenal mereka. Namun ulama yang melarangnya berargumen dengan tidak-sempurnanya akal perempuan untuk mengetahui sisi-sisi penilain positif, apalagi terhadap laki-laki. Mayoritas ulama membolehkan menerima kesaksian perempuan asalkan dilakukan bersama dengan laki-laki dalam kasus yang perempuan boleh memberi kesaksian. (Fathul Bari, kitab Kesaksian) Pendapat tersebut dirangkum Syaikh Wahbah az-Zuhaili (6/388). Ia mengatakan, “Menurut ulama madzhab Hanafi, kesaksian perempuan bersama laki-laki diterima dalam perkara harta benda dan perdata (pernikahan, cerai dan turunan-turunannya).

Menurut mayoritas ulama, kesaksian perempuan bersama laki-laki tidak diterima kecuali dalam perkara harta benda beserta turunan-turunannya dan akad-akadnya. Dan menurut empat madzhab kesaksian perempuan bersama laki-laki tidak diterima dalam perkara hudud, pidana dan qishash. Karena dalam perkara ini harus ada kesaksian dua laki-laki yang adil karena kritisnya perkara ini dan keharusan untuk memastikannya. Hal itu untuk mempersempit jalan penetapannya dan sebagai upaya untuk menghindarinya. Juga karena kesaksian perempuan untuk menggantikan laki-laki itu lebih bersifat alternatif, sehingga kesaksian perempuan tidak diterima dalam kasus yang dihindari sanksinya seandainya kesaksian yang diberikan bersifat samar.

– Menurutku, ada baiknya saya menyampaikan ikhtisar kitab Hukmu Tauliyah al-Mar’ah al-Walayah al-‘Ammah Na’ibatan wa Nakhibatan (Hukum Memberikan Jabatan Publik kepada Perempuan, Sebagai Wakil dan Pemilih) karya Abdurrahman Abdul Khaliq:

a. Rasulullah SAW tidak pernah melimpahkan jabatan publik apapun kepada seorang perempuan. Seandainya jabatan publik adalah hak perempuan, atau wajib bagi perempuan, maka Rasulullah SAW pasti tidak melupakan hak atau kewajiban ini. Demikian pula dengan Khulafa Rasyidun, tidak seorang pun dari mereka yang melimpahkan jabatan publik kepada perempuan, seperti gubernur, atau hakim, atau duta. Tidak seorang perempuan pun yang masuk dalam struktur pemeritnahan atau syura pada masa khalifah. Apakah para khalifah itu merampas hak atau kewajiban perempuan ini? Demikian pula, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas dan Bani ‘Utsman tidak pernah memberikan jabatan publik kepada seorang perempuan.

b. Di dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak terdapat dalil yang menetapkan hak atau kewajiban bagi perempuan dalam jabatan publik.

c. Ayat-ayat al-Qur’an melarang perempuan untuk memegang kewenangan publik dan privat:

– Di dalam rumah laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Kata ar-rijal menggunakan atribut al yang berfungsi untuk mencakup semua laki-laki. Begitu pula dengan kata an-nisa’. Maksudnya, manakala ada laki-laki dan perempuan, maka kepemimpinan dipegang oleh laki-laki.

– Kesaksian perempuan adalah separo dari kesaksian laki-laki, dan pemilu itu bermuatan kesaksian. Karena itu, perempuan tidak boleh terlibat dalam pemilu karena sebab ini dan sebab-sebab yang lain.

– Nabi Sulaiman AS menyingkirkan singgasana Bilqis setelah ia masuk Islam, dan tidak mengakui kekuasaannya.

– Berdiam di rumah dan tidak bergaul itu menghalangi perempuan untuk mengenal orang lain yang bukan muhrimnya agar bisa ikut pemilu, sedangkan pemilu itu bermuatan kesaksian.

– Rasulullah SAW tidak pernah memberi jabatan publik kepada seorang perempuan pun. Beliau bersabda, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.” Kata qaum (kaum) adalah lafazh umum, demikian pula dengan kata imra’ah.

d. Ijma’ umat, tidak ada yang keluar dari ijma’ tersebut kecuali yang membolehkan penugasan perempuan untuk mengadili perkara-perkara yang di dalamnya kesaksian perempuan diperbolehkan, bukan peradilan umum.

Sebagian ulama kontemporer membolehkan perempuan menjabat anggota dewan legislatif. Mereka membatasi hadits Rasulullah SAW, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan” pada kepala negara (khalifah) saja. Menurutku, saat ini kami menemukan bahwa dewan legislatif itu memiliki kewenangan yang lebih besar daripada yang dimiliki khalifah (kepala negara), dengan bukti bahwa dewan legislatif memiliki kewenangan umum yang lebih besar daripada kewenangan kepala negara. Karena itu, menurut saya perempuan tidak boleh menjadi anggota dewan legislati sesuai dengan hadits, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”

Ustadz Dandal Jabr mengatakan, “Apabila syari‘at Islam tidak memberikan perempuan yang telah baligh dan berakal perwakilan atas dirinya dalam perkara nikah, maka terlebih lagi perempuan tidak diberikan kewenangan atas masyarakat menyangkut darah, harta benda dan kehormatan mereka. Islam menganggap pernikahan perempuan tanpa ijin walinya itu tidak sah. Rasulullah SAW bersabda, “Pernikahan tidak sah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” Rasulullah SAW juga bersabda, “Perempuan mana yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya tidak sah, nikahnya tidak sah, nikahnya tidak siyasah.”

Dandal Jabr juga menulis buku yang berjudul al-Mar’ah wal-Walayah al-‘Ammah fisy-Siyasah asy-Syar‘iyyah (Perempuan dan Jabatan Publik dalam Politik Islam) yang edisi pertamanya diterbitkan Daru ‘Ammar, Amman, pada tahun 1999 M. Dalam bukunya ini ia memaparkan pendapat kalangan yang mendukung pelimpahan jabatan publik kepada perempuan, dan juga pendapat kalangan yang menentang. Saya mencatat bahwa pemikiran kalangan yang mendukung itu telah terpengaruhi paham skuler. Sementara kalangan yang menolak bersandar pada nash-nash Kitab dan Sunnah.

Dandal Jabr membuat kesimpulan wanita boleh memegang jabatan publik, bahkan sebagai anggota dewan legislatif, kecuali jabatan presiden (imamah kubra, atau yang sama kedudukannya dari segi otoritas, seperti perdana menteri atau pemerintahan yang memiliki otoritas yang luas. Kepala negara dalam sistem ini lebih menyerupai honorary president yang memiliki kedudukan spiritual namun kecil otoritasnya dalam membuat peraturan pemerintah. Jabatan ini dapat disamakan dengan apa yang disebut para pakar politik Islam dengan istilah wazarah at-tafwidh (kementrian otorita), dimana orang yang menjabatnya harus memiliki sarat-syarat seorang khalifah, kalau tidak seluruhnya maka sebagian besarnya.” (hlm. 258)

Untuk kepentingan pembaca, saya memutuskan untuk menukil secara ringkas argumen terpenting kalangan yang menolak perempuan memegang jabatan publik, sebagaimana yang dikemukakan Dandal Jabr, yaitu:

1. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Allah berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).” (an-Nisa’ [4]: 34) Secara logika dan watak, tidak benar bahwa laki-laki memimpin istrinya di rumah, kemudian istri tersebut diberikan kewenangan atas suaminya secara lebih umum dan luas. Asy-Syaukani mengatakan, “Mereka memperoleh keistimewaan (kepemimpinan) ini karena Allah melebihkan laki-laki di atas perempuan, dengan keberadaan para khalifah, sultan, penguasa dan prajurit di kalangan kaum laki-laki.” al-qurthubi berakta, “Di antara kaum laki-laki itu terdapat para penguasa, pejabat dan orang yang berperang, sementara hal itu tidak terdapat di kalangan perempuan.” Ibnu Katsir berkata, “Karena itu, kenabian itu hanya untuk laki-laki. Begitu juga dengan pemimpin tertinggi, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.” (HR Bukhari)

Selanjutnya Dandal mengutip dari al-Maududi rahimahullah, “Laki-laki memiliki kelebihan satu tingkat dibanding perempuan, yaitu kepemimpinan. Kepemimpinan tersebut tidak terbatas pada kehidupan keluarga karena kepemimpinan negara lebih krusial daripada kepemimpinan di rumah. Juga karena nash al-Qur’an tidak membatasi kepemimpinan ini dengan kepemimpinan di rumah.” (24)

2. Berdiam di rumah, tidak menampakkan aurat dan tidak berbaur dengan laki-laki. Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab [33]: 33) Ibnu Taimiyyah berkata, “Perempuan wajib dilindungi dan dijaga dengan hal-hal yang tidak perlu dilakukan untuk laki-laki. Karena itu, perintah berhijab dan larangan menampakkan aurat itu khusus bagi perempuan.

Perempuan wajib menutupi tubuhnya dengan pakaian dan berdiam di rumah, sesuatu yang tidak wajib bagi laki-laki. Karena tampaknya perempuan dapat menimbulkan fitnah, dan laki-laki adalah pemimpin mereka.” al-Qurthubi berkata, “Makna ayat ini adalah perintah berdiam di rumah. Meskipun pembicaraan ini tertuju kepada istri-istri Nabi SAW, tetapi maknanya mencakup perempuan lain. Yang demikian itu seandainya tidak ada dalil yang mengkhusukannya. Tapi, bagaimana mungkin ada sedangkan syari’at sarat dengan perintah kepada wanita untuk berdiam dirumah dan menahan diri untuk tidak keluar kecuali daurat.” Al-Alusi dalam kitab Ruh al-Ma’ani berkata, “Menurut semua qira’ah, maksud ayat ini adalah perintah kepada perempuan untuk berdiam di rumah, dan perintah ini ditujukan kepada semua perempuan.”

3. Pendapat serupa dikemukakan al-Juwaini, al-Qalqasyandi, al-Jashshash serta para imam dan ulama lainnya.

4. Dalam hal ini ssaya teringat dengan apa yang dikatakan Ibnu Faqih Maliki di Aljazair. Ustadz tersebut berceramah tentang perempuan. Di tengah-tengah diskusi, salah seorang penganut paham marxis memprotes perintah berdiam di rumah. Katanya, perintah ini khusus untuk istri-istri Nabi SAW. Lalu penceramah tersebut menjawab, “Kita kembali kepada ayat, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.” Allah merunutkan perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat dengan perintah berdiam di rumah.

Oleh karena perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat itu untuk semua perempuan, maka begitu pula perintah berdiam di rumah juga untuk semua perempuan, karena partikel sambung wa (dan) itu menunjukkan kesamaan. Perintah berdiam di rumah dari segi hukum adalah sama dengan perintah mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Semua itu ditujukan kepada setiap muslimah, bukan hanya kepada istri-istri Nabi SAW saja.