Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme
Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut
***
Pemilu dalam Demokrasi
Demokrasi adalah sistem dimana suatu bangsa menentukan pemerintahnya dengan jalan pemilu. (al-Anshari, 385). Sistem ini berkembang sebelum masehi di Athena, dimana penduduknya yang merdeka berjumlah tiga ribu jiwa. Mereka itulah yang berhak memberi suara. Sedangkan pada budak, petani dan pekerja tidak berhak memberi suara. Ketiga ribu orang itu berkumpul di satu lapangan umum, saling berdiskusi, kemudian melakukan voting untuk mengambil suatu keputusan manakala harus melakukannya.
Di Eropa modern, demokrasi dikembangkan menjadi penggunaan pemilu sebagai ganti dari kehadiran dan diskusi personal, sesudah cara tersebut tidak mungkin dilakukan karena jumlah penduduknya yang bertambah banyak dan sesudah mayoritas penduduknya tidak bisa terlibat dalam pengambilan keputusan. Karena itu, rancangan keputusan disampaikan kepada publik agar publik menyatakan setuju atau menolak. Atau beberapa rancangan disampaikan, lalu publik memberikan suara terhadapnya. Rancangan yang memperoleh mayoritas suara itulah yang lolos.
Kemudian cara tersebut dikembangkan menjadi memilih para wakil rakyat yang mereka sebut dewan perwakilan rakyat atau parlemen. Rakyat memilih anggota parlemen untuk mengambil keputusan, menggantikan rakyat. Karena setiap rakyat tidak mungkin terlibat selama seminggu penuh dalam proses voting.
Polling dan Pemilu
Pemilu (pemilihan umum) dilihat dari namanya berarti seorang warga memilih seorang kandidat di antara beberapa kandidat yang akan di dewan perwakilan rakyat, misalnya, atau memilih seorang kepala pemerintah di antara beberapa calon yang dikandidatkan untuk menempati jabatan tersebut. Demikian pula, pemilih memilih satu atau lebih sesuai dengan program-program pemilu. Ini adalah tugas sosial.
Hal itu berdampak pada pembatasannya pada satu kelompok tertentu dengan syarat-syarat tetentu. Pemilu bersifat paksaan dan wajib bagi warga (al-Anshari, 387). Konsekuensi pemilu adalah ditetapkannya kebijakan-kebijakan penting di suatu negeri. Yang terpenting adalah para pemilih memiliki wawasan yang cukup sehingga bisa menilai para kandidat dan program-programnya, mengenai peran penting yang mereka lakukan dalam memilik kandidat. Tidak adanya kesadaran pemilih itu terlihat pada hal-hal sebagai berikut,
1. Meningkatnya rasio orang-orang yang tidak terdaftar pada daftar pemilih.
2. Banyaknya orang-orang terdaftar yang tidak ikut memilih.
3. Opini pemilih dapat dipalsukan dengan mudah. (ad-Dardiri, 115)
Referendum atau jajak pendapat itu diminta dari warta untuk menyampaikan pendapatnya, apakah setuju atau tidak untuk memilih kepala pemerintahan tertentu (biasanya dua kali atau lebih), atau untuk menyetujui program tertentu. Karena itu, ia mencontreng kartu yang berisi dua lingkaran. Yang pertama di sebelah kanan di bawah kata “setuju”, dan yang lain di sebelah kiri di bawah kata “tidak setuju”.
Biasanya masing-masing lingkaran diberi warna yang berbeda, dan dijelaskan kepada para pemilih bahwa warna ini berarti setuju, dan warna yang lain berarti tidak setuju. Pemilih diminta meletakkan tanda pada salah satu lingkatan (setuju atau tidak setuju). Referendum berarti meminta pendapat atau opini tentang suatu masalah. Sebuah topik umum disampaikan kepada masyarakat untuk diambil pendapatnya, apakah setuju atau menolak.
Masyarakat Arab kontemporer meluaskan penggunaannya sehingga mencakup pengajuan seorang kandidat kepada rakyat, apakah mereka setuju ia diangkat atau dipertahankan untuk menjadi pemimpin. (al-Halwu, 10) Tidak pernah terjadi dalam sejarah—sebatas pengetahuan kami—dimana rakyat di suatu negara tidak menyetujui kandidat tunggal yang diajukan kepada mereka. (al-Halwu, 80) Kata yang paling tepat dalam bahasa Arab untuk menerjemahkan kata pebiscite dalam bahasa Prancis adalah istir’as yang berarti mencari pemimpin. Masyarakat bangsa Arab saat ini mengikuti sistem istir’as, dan itu merupakan sistem yang berlawanan dengan demokrasi. (al-Halwu, 90)
Kebebasan Berekspresi dalam Pemilu
Agar pemilih dapat memberikan suaranya dengan kebebasan yang sempurna, maka diadakanlah bilik suara dimana pemilih menentukan pilihannya setelah diberi kartu suara oleh panitia pemilu. Ia boleh menulis apa saja di kartu itu, atau membiarkannya kosong, tanpa seorang pun yang melihatnya. Kemudian ia menutup kartu suara dan keluar dari bilih suara untuk langsung memasukkan sendiri ke kotak suara, sehingga kartu suaranya itu terselip di antara kartu-kartu suara yang lain. Tidak seorang pun yang mengetahui apa yang ditulis pemilih tersebut.
Cara apapun selain cara tersebut, seperti cara-cara yang sering terjadi di dunia Arab adalah tidak sah dan tidak merealisasikan kebebasan memilih. Seperti ketika kartu suara diberikan kepada pemilih secara terang-terangan di hadapan panitia, sementara panitia tersebut dikawan oleh aparat keamanan. Lalu pemilih diminta memberikan suaranya, sehingga ia takut atau malu, lalu memberikan suaranya sesuai keinginan orang-orang yang mengawasinya. Atau kartu suara sekian banyak warga pemilih dikumpulkan kepada seorang calo untuk diserahkannya kepada orang yang dipilihnya untuk mewakili mereka, dan calo tersebut memberikan suara sesuai keinginan orang yang membayarnya. Atau sebagian pemilih menjual suaranya dengan uang yang tidak seberapa (dua atau tiga dolar) karena ia tidak memahami arti pemilu. Kasus seperti ini banyak terjadi di dunia Arab karena banyak sebab, dan sebab yang paling peting adalah ketidak-tahuan warga mengenai pemilu, urgensinya dan hukumnya menurut syari‘at.
Memperluas Basis Pemilih
Di antara prinsip-prinsip demokrasi adalah memperluas basis pemilih dan memperbanyak jumlah mereka. Sehingga seluruh elemen bangsa, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda, dapat berpartisipasi dalam memilih kepala negara dan wakil rakyat, baik mereka itu layak untuk memilih atau tidak.
Perluasan dalam pemungutan suara itu berarti memperdalam demorkasi, dan demokrasi berorientasi untuk menurunkan standar usia para pemilih. (ad-Dardiri, 437) Suara remaja laki-laki dan perempuan atau seseorang yang menyimpang secara sektual dan terbelakang secara mental itu sama dengan saura seorang anggota dewan, menteri atau kepala negara itu sendiri.
Persamaan kuantitas tanpa pandang bulu ini merupakan cacat terbesar dari demokrasi (dimana suara dihitung, bukan ditimbang). Kekeliruan ini menjadikan kampanye sebagai sesuatu yang penting untuk menghimpun individu-individu yang tidak memiliki kapasitas yang nantinya akan terlibat dalam pemilu. Arsite yang piawai berkampanye akan memperoleh mayoritas suara. Sarana-sarana informasi menjadi alat utama dalam kampanye, padahal sarana-sarana informasi itu dikuasai Yahudi. Dengan demokrasi, Yahudi akan menguasai pemilu ini atas nama demokrasi. Qadari Qal’aji dalam bukunya Amrika wa Ghathrasah al-Quwwah (51-59) dalam bab Intihar ad-Dimuqrathiyyah mengatakan, “Eskalasi penetrasi perusahaan-perusahaan besar itu dimulai. Ia mengosongkan demokrasi dari isinya.
Penetrasi ini semakin meningkat secara kontinu. Nilai-nilai merosot, dan undang-undang ditafsirkan untuk kepentingkan pemilik pengaruh yang terkuat…Sejak zionis mencengkeram masyarakat Amerika dan menguasai instansi-instansi politik dan informasinya, dan suara Yahudi memiliki bobot yang sedemikian besar dalam pemilihan presiden, maka presiden Amerika menjadi sekedar boneka di tangan Yahudi. Bahkan Weizmen mengatakan bahwa zionis-lah pemilih ororitas yang sebenarnya di negara Amerika Serikat, dan pemimpin zionis adalah pemimpin Amerika yang sejati…
Pemilu ini menjadi bahaya bagi demokrasi itu sendiri, karena satu kelompok kecil yang jumlahnya tidak lebih dari 3 persen dari seluruh jumlah penduduk itu telah menggerakkan pemilu dan mengarahkannya untuk tujuan-tujuan yang bukan Amerika, dan untuk kepentingan suatu negara selain negara Amerika. Juga karena kelompok kecil yang memahami tujuannya, presisi dalam bekerja dan unggul secara organisasi ini (maksudnya adalah lobi Zionis) ini memaksakan keinginannya pada mayoritas yang tidak menyadari tujuan tersebut, atau lemah secara pemikiran untuk memahami dan mencernanya, serta melihat bahaya yang mengancam.
Para pemimpin negara, hakim, wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin yang lain itu tidak dipilih karena kapabalitas dan pengalaman mereka, bukan karena prinsip-prinsip mereka yang baik dan keunggulan mereka secara intelektual dan moral. Tetapi mereka dipilih karena mereka lebih sejalan dengan program Zionis dan lebih bekerja untuk mewujudkan tujuan-tujuan Israel. Demikianlah, bukannya menghentikan langkah tiga persen penduduk itu dan menjebloskan mereka ke penjara karena loyalitas mereka bukan untuk tanah air mereka, tetapi mereka justeru menguasai sumber daya negeri itu dan menggunakannya untuk melayani kelompok yang berkuasa di Israel, hingga nyaris mengetahui siapa yang menguasai Amerika, apakah sinagog ataukah Gedung Putih?
Dr. Taufiq asy-Syawi dalam bukunya Fiqh asy-Syura wal-Istisyarah (12) mengatakan, “Bahkan sesungguhnya demokrasi itu sebenarnya telah berkembang di tangan para filosof dan pengamatnya, dan telah sampai—seperti yang kita lihat pada demokrasi kebangsaan—pada legitimasi pemerintah yang otoriter secara ekspansif atas nama mayoritas, dan kediktatoran partai yang mereka beri kekuasaan absolut tanpa batas untuk digunakan para pemimpin dan elit partai, tanpa mengakui aturan yang mengatur kekuasaan tersebut.
Perkembangan dalam demokrasi kebangsaan ini berbanding dengan perkembangan pada demokrasi barat yang menjadikan liberalisme sebagai pintu yang luas bagi setiap faktor dekadensi, kezhaliman sosial, kerusakan dan keruntuhan moral. Bahkan membuka bagi penguasa kita pintu untuk berbuat diktator secara ekspansif dan absolut atas nama otoritas negara, dengan menggunakan kekuasaan mengeluarkan hukum positif dimana tidak seorang pun mengetahui apa yang akan dipaksakan di kemudian hari dan orientasi-orientasi apa yang diperbolehkannya menuju kehancuran dan keruntuhan.
Socrates berpandangan bahwa demokrasi dan pemilu terkadang menghasilkan individu-individu yang tidak memiliki pengetahuan praktis dan pengalaman teknis yang diperlukan untuk tugas-tugas pemerintahan. Sebagaimana Plato melihat bahwa di ranah politik itu dap orang yang bodoh dan lemah. Dan yang terakhir, Aristoteles juga tidak mendukung demokrasi, dan melihat bahwa masyarakat terdiri dari tiga lapisan; miskin, menengah dan kaya. Lapisan menengah adalah lapisan terbaik untuk menjalankan pemerintahan, karena tidak disibukkan oleh kekayaan. Sebagaimana tugas pemerintahkan itu tidak tepat jika diserahkan kepada mayoritas yang miskin.
Pemilu dalam Sistem Syura
Syura adalah sistem pemerintahan yang Islami. Selanjutnya cukup disebut sistem syura karena dipahami sebagai sistem pemerintah dalam Islam. Sistem syura merupakan sistem rabbani yang diredaksikan dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Sistem ini telah dipraktikkan Khulafa’ Rasyidun. Tetapi, cara sistem syura itu diterapkan itu diserahkan kepada ijtihad yang sesuai dengan waktu dan tempat. Tidak ada salahnya jika syura mengambil sistem pemilu karena sesuai dengan ruh Islam.
Syura memiliki kesamaan dengan demokrasi karena keduanya anti individulisme dan kediktatoran. Sebagaimana dalam kedua sistem tersebut terdapat wakil rakyat. Tetapi keduanya berbeda dari segi pemilihan para wakil tersebut dan selainnya, sebagaimana akan dijelaskan annti.
Agar pemilu sah dari segi syari‘at, maka harus diperhatikan bahwa pemilu bermuatan amanah dan kesaksian, loyalitas dan disloyalitas, sebagaimana akan kami jelaskan pada pasal-pasal berikut nanti. Juga harus terpenuhi syarat-syarat berikut pada pemilih agar ia memberikan suaranya secara sah dan sesuai dengan ruh Islam dan prinsip-pinsipnya. Di antara syarat-syarat tersebut adalah:
1. Mengetahui tugas yang akan diemban kandidat yang dipilihnya. Seseorang yang memilih anggota legislatif harus mengetahui tugas anggota legislatif; apa yang akan dikerjaknanya dan sejauh mana urgensi pekerjaannya? Selanjutnya, ia harus tahu sifat-sifat yang harus ada pada diri anggota legislatif, seperti ilmu pengetahuan, kebudayaan, keadilan, pandangan, kearifan, dan perhatiannya terhadap masalah-masalah umat, agar ia bisa menjalankan tugasnya dengan benar.
2. Mengetahui kandidat dengan pengetahuan yang cukup untuk menilai mereka dan mengunggulkan seorang kandidat di atas kandidat lain, sesuai dengan tugas yang bakal diembannya. Bisa jadi seorang kandidat adalah seorang yang zuhud, tetapi ia kurang mahir dalam berpolitik dan kurang memerhatikan persoalan-persoalan umat. Bisa jadi ia pantas untuk menjadi hakim, tetapi ia tidak sesuai untuk menjadi anggota legislatif. Pada pasal sebelumnya kita tahu bahwa pemilu itu bermuatan tugas memberi kesaksian. Agar kesaksian tersebut benar, maka pemilih harus mengetahui para kandidat dengan pengetahuan yang cukup untuk memberi kesaksian kepada mereka bahwa mereka itu pantas atau tidak pantas menerima tugas ini. Ketika kesaksian itu tidak benar, itu adalah kesaksian palsu, dimana kesaksian palus merupakan dosa terbesar dan menyamai syirik kepada Allah sebagaimana akan kita ketahui.
Adapun yang terjadi dalam demokrasi seperti mengundang remaja (usia delapan belas tahun) untuk memilih kepala negara, hal tersebut bertentangan dengan doktrin pemilih dan hukum pemilu dalam Islam. Ketika kita tahu bahwa pemilu itu bermuatan pemberian kesaksian, maka kesaksian apa yang diberikan remaja usia delapan belas tahun? Ketika Clinton mengalahkan George Bush (ayah), apakah ia mengetahui keduanya, atau mengetahui sifat masing-masing, kemudian membandingkannya dan menyimpulkan bahwa Clinton lebih baik dan lebih kapabel daripada Bush untuk menjadi presiden? Ataukah karena mayoritas pemilih dari kalangan remaja dan orang-orang yang menyimpang itu melihat Clinton di layar televisi lebih tampan daripada Bush, Clinton muda dan Bush tua, sehingga karena itu mereka memilih Clinton? (bersambung)