Ahli Syura Abu Bakar
‘Irbadh bin Sariyah meriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda, “Kalian harus berpegang pada sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan bijak. Berpeganglah padanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jangan sekali-kali melakukan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru adalah agama adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.”
Atas dasar itu, kami akan memaparkan ahli syura-nya Syaikhain Abu Bakar dan ‘Umar ra, agar kita bisa mendefinisikan ahli syura dalam masyarakat Islam.
Ath-Thanthawi (59) berkata, “‘Umar tetap menjadi menterinya Abu Bakar sampai sakitnya parah dan merasakan tanda-tanda kematian. Maka, Abu Bakar takut membiarkan umat tanpa khalifah, sehingga terjadi peristiwa seperti pada hari Saqifah. Abu Bakar tidak ingin menunjuk satu orang, dan ia melakukan apa yang tidak dilakukan Rasulullah SAW. Ia mengumpulkan orang-orang. Rasa sakit dan kepedihannya tidak membuatnya lupa untuk memerhatikan urusan umat. Maka, Abu Bakar melepas baiatnya dari leher mereka, dan menugasi mereka untuk memilih selain dirinya untuk menjadi khalifah. Lalu mereka pun bermusyawarah dan membahas masalah tersebut, tetapi mereka tidak menemukan seseorang, sehingga mereka kembali kepada Abu Bakar dan mewakilkannya untuk memilih.
Abu Bakar berkata, “Tunggu sampai aku melihat menurut Allah, agama-Nya dan hamba-hamba-Nya.” Kemudian Abu Bakar mulai meminta saran dan memanggil orang-orang yang dipegang pendapatnya dan para tokoh sahabat satu demi satu. Pertama kali Abu Bakar memanggil Abdurrahman bin ‘Auf, lalu ia berkata kepadanya, “Beritahu aku tentang ‘Umar bin Khaththab.” Abdurrahman menjawab, “Kamu tidak bertanya kepadaku tentang suaru perkara melainkan kamu lebih mengetahuinya daripada aku.”
Lalu ‘Umar berkata, “Meskipun…” Abdurrahman berkata, “Demi Allah, dia lebih baik daripada pendapatmu tentangnya.” Kemudian Abu Bakar memanggil ‘Utsman dan berkata yang sama. ‘Utsman menjawab, “Yang kutahu, yang dirahasiakannya lebih baik daripada yang ditampakkannya, dan di antara kami tidak ada orang sepertinya.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Semoga Allah merahmatimu.” Kemudian ia bermusyawarah dengan Zaid dan Usaid bin Hudhair serta para sahabat lain dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Usaid berkata, “Demi Allah, aku tahu dia yang paling baik. Dia ridha karena ridha Allah dan marah karena marah Allah. Apa yang dirahasiakannya lebih baik daripada yang ditampakkannya. Tidak ada yang bisa memegang kewenangan ini yang lebih kuat daripada dia.”
Hal itu terdengar oleh sebagian sahabat (yang tidak dimintai pendapat oleh ‘Umar karena mereka bukan termasuk ahli syura). Mereka adalah orang yang tidak setuju dengan terpilihnya ‘Umar. Lalu mereka menemuinya, dan salah seorang dari mereka berkata, “Apa yang kaukatakan kepada Tuhanmu ketika Dia bertanya kepadamu mengapa kamu menjadikan ‘Umar sebagai khalifah kami, padahal kau tahu sifat kerasnya? Apabila ia memimpin, maka ia lebih keras dan kasar.” Abu Bakar berkata, “Bantu aku duduk.”
Ketika beliau duduk dan berkata, “Apakah karena Allah kalian takut kepadaku? Merugilah orang yang memperoleh kewenangan atas urusan kalian itu dengan cara yang zhalim. Aku katakan, ya Allah, sesungguhnya aku menjadikan yang terbaik di antara hamba-hamba-Mu untuk menjadi khalifah bagi hamba-hamba-Mu.” Kemudian ia berbaring dan memanggil ‘Utsman untuk membacakan keputusan dengan menyebut nama ‘Umar. Abu Bakar tidak menunjuk ‘Umar dalam kapasitasnya sebagai khalifah, tetapi karena umat Islam sebagai pemilik hak untuk memilih mewakilkannya untuk menunjuk orang yang dipandangnya layak.”
Perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian sahabat yang datang untuk menyatakan penolakan mereka terhadap pengangkatan ‘Umar itu tidak dimintai saran oleh Abu Bakar, dan Abu Bakar pun tidak mengikuti pendapat yang mereka kemukakan karena mereka bukan termasuk ahli syura. Juga karena hari-hari sesudahnya membuktikan kesalahan pendapat mereka, karena terbukti dari riwayat hidup ‘Umar bahwa beliau adalah orang yang paling pantas menjadi khalifah sesudah Abu Bakar ra.
Ahlu Syura ‘Umar
‘Umar mengikuti manhaj Islam dalam menjalankan pemerintahan, sehingga ia tidak memutuskan suatu perkara kecuali melalui musyawarah, untuk melaksanakan firman Allah, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran [3]: 159) Dan firman Allah, “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (asy-Syura [42]: 38) Ketika ‘Umar hendak berangkat ke Irak, beliau mengajak orang-orang untuk shalat jama‘ah. Lalu orang-orang berkumpul di sekitarnya dan beliau menyampaikan berita itu kepada mereka. Lalu orang-orang awam berkata, “Berangkatlah, kami akan menyertaimu.” Lalu ia menampun pendapat mereka, dan beliau tidak suka meninggalkan mereka.
Akhirnya beliau menyuruh mereka keluar dengan lemah-lembut. Kemudian beliau memanggil para penasihat, lalu berkumpul-lah para tokoh sahabat Nabi SAW dan tokoh-tokoh Arab. Lalu mereka berkata, “Sampaikan pendapat kalian kepadaku, sesungguhnya aku hendak pergi ke Irak, maka buatlah kesepakatan.” Lalu para pemuka sepakat untuk mengutus seseorang dari sahabat Rasulullah SAW, sementara ‘Umar sendiri tetap tinggal di Madinah. Kemudian ‘Umar mengajak shalat jama‘ah, lalu beliau berdiri di hadapan jama‘ah dan berkata, “…Umat Islam sesama mereka itu seperti satu jasad, sebagiannya tidak terpisah dari sebagian yang lain. Demikian pula, umat Islam harus seperti itu, dan urusan mereka ditetapkan dengan musyawarah di antara orang-orang yang pendapatnya kuat di antara mereka, lalu umat mengikuti siapa yang menjalankan wewenang ini. Wahai umat Islam, aku ini hanya seorang laki-laki di antara kalian, namun para penasihat di antara kalian mencegahku keluar Madinah. Maka, aku memutuskan untuk tinggal di rumah dan mengutus seseorang.” (Tarikh ath-Thabari, 4/83)
Ketika ‘Umar ra mengadakan perjalanan menuju Syam, beliau ditemui oleh para pemimpin pasukan di dekat Tabuk, yaitu Abu ‘Ubaidah dan sahabat-sahabatnya, bahwa penyakit sampar telah mewabah di Syam. Ibnu ‘Abbas berkata, “‘Umar berkata, ‘Panggilkan aku sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama.” Lalu mereka dipanggil, dan beliau mengajak mereka bermusyawarah dan mengabarkan bahwa wabah penyakit telah terjadi di negeri Syam, lalu mereka berpendapat pendapat. Sebagian dari mereka mengatakan, “Bersamamu ada sebagian orang dan para sahabat Rasulullah SAW, dan menurutku sebaiknya Anda tidak mendapati mereka dalam keadaan terserang wabah.” Sementara sebagian yang lain mengatakan, “Anda keluar Madinah untuk satu urusan, dan menurutku Anda tidak perlu mundur dari urusan tersebut.” Kemudian ‘Umar berkata, “Tinggalkan aku.”
Kemudian ‘Umar berkata, “Panggilkan aku sahabat-sahabat Anshar.” Kemudian beliau mengajak mereka bermusyawarah, dan mereka pun mengambil sikap yang sama dengan kaum Muhajirin dan berbeda pendapat seperti perbedaan pendapat kaum Muhajirin. Maka ‘Umar berkata, “Tinggalkan aku.” Kemudian ‘Umar berkata, “Panggilkan aku para tetua Quraisy yang ada di sini.” Kemudian mereka dipanggil, dan tidak ada satu pun yang berselisih pendapat. Mereka mengatakan, “Sebaiknya Anda membawa pulang pasukan, dan jangan mendatangi mereka dalam keadaan terserang wabah.” Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf ra datang dan berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Apabila kalian mendengar wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian mendatanginya. Dan apabila ia terjadi di suatu negeri sedangkan kalian ada di sana, maka janganlah kalian keluar untuk lari darinya.” Kemudian ‘Umar memuji Allah lalu pulang.”
Ketika ‘Umar ra mendengar bahwa penduduk Persia telah berhimpun untuk menuju Nahawan, maka ‘Umar mengajak orang-orang untuk shalat jama‘ah. Lalu orang-orang berkumpul, dan beliau mengajak mereka bermusyawarah. Lalu berdirilah ‘Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Aur ra di tengah para penasihat dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Lalu mereka berkata, “Menurut kami, Anda tidak perlu pergi sendiri menghadapi mereka. Utuslah Nu’man bin Muqrin.” (ath-Thabari, 4/237)
Sudah barang tentu ahli syura bukan hanya enam sahabat yang ditugasi ‘Umar ra untuk mencalonkan khalifah. Abdurrahman mengajak mereka bermusyawarah selama tiga hari, sebagaimana yang dikatakan al-Qurthubi (2/285). Selama tiga malam itu Abdurrahman berkeliling untuk menemui para sahabat Rasulullah SAW serta para panglima pasukan dan bangsawan yang kebetulan ada di Madinah, untuk diajak musyawarah. Ketika mereka telah shalat Subuh (hari ketiga), Abdurrahman mengumpulkan jama‘ah dan memanggil para sahabat senior Muhajirin dan Anshar, serta para panglima pasukan sehingga masjid penuh sesak dengan jama‘ah.Abdurrahman berkata, “Aku telah meneliti dan bermusyawarah.”
Adapun syura Islam memerhatikan metode sebelum kuantitas, dan memosisikan pemilu sebagai pemberian kesaksian. Masyarakat umum tidak bisa memberi kesaksian kepada kandidat presiden mengenai layak atau tidak layaknya ia memegang jabatan ini, karena mereka tidak mengetahui urusan ini.