Penasihat adalah Pembawa Amanah
Pemilih muslim dapat disebut sebagai penasihat dari pihak rakyat dalam melimpahkan wewenang kepada orang yang pantas menjadi anggota dewan, atau untuk memilih orang yang pantas memimpin negara. Penasihat adalah pembawa amanah. Maksudnya, ia wajib menunaikan amanah yang dimintakan nasihatnya oleh umat kepadanya, sehingga ia tidak boleh mengkhianati amanahnya. Karena Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berkhianat, maka ia bukan termasuk golongan kami.” Pemilu menipu umatnya manakala ia memandatkan (pemilih) seorang kerabat atau teman, padahal ia tahu bahwa kandidat lain lebih diridhai Allah dan Rasul-Nya. Ummu Salmah dan Abu Hurairah ra berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang dimintai nasihat itu adalah orang yang membawa amanah.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW sabda, “Barangsiapa yang diberi fatwa tanpa didasari pengetahuan, maka dosanya ditanggung orang yang memberinya fatwa.” Dalam riwayat lain beliau sabda, “Barangsiapa yang memberi saran kepada saudaranya padahal ia tahu bahwa yang benar itu bukan yang disarankannya, maka ia telah mengkhianati saudaranya.”
Orang yang Amanah
Seyogianya pemilih muslim mengetahui orang-orang yang amanah, agar ia bisa menyerahkan amanah kepada mereka. Dengan kata lain, para pemilih wajib mengetahui sifat-sifat kandidat yang pantas duduk di dewan kota atau dewan propinsi, atau parlemen, agar mereka memilih orang yang memenuhi kriteria sifat-sifat tersebut, sehingga dengan demokrasi ia telah menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.
Syarat-Syarat Pejabat Muslim
Syarat-syarat ini wajib ada dalam diri pemimpin negara, dan para pemilih muslim (anggota parlemen) harus memastikan keberadaan sifat-sifat ini pada kandidat yang mereka pilih, agar pilihan mereka itu sesuai dengan syari‘at Allah.
1. Islam. Para pemilih harus memerhatikan kebenaran akidah dan agamanya. Tidak semua orang yang lahir dari orangtua yang muslim itu serta merta muslim juga. Ada faktor-faktor yang membatalkan syahadat yang seharusnya dipelajari umat Islam, agar mereka bisa membedakan muslim dari non-muslim. Karena tidak semua orang yang mengaku Islam itu adalah muslim. Di zaman sekarang ini banyak orang-orang abisius terhadap jabatan itu menumpang arus kebangkitan Islam, padahal bisa jadi ia orang athesis yang menyimpang. Siapa saja yang mengkaji kitab-kitab akidah dapat melihat perbedaan besar antara muslim yang hakiki dengan muslim nama saja.
2. Laki-laki. Generasi salaf dan khalaf sepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara Islam, berdasarkan sabda Nabi SAW, “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepda seorang perempuan.” Juga berdasarkan firman Allah, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (an-Nisa’ [4]: 42) Meskipun ayat ini turun terkait khusus dengan kepemimpinan dalam keluarga, namun yang menjadi pegangan dari ayat ini adalah lafazhnya yang umum cakupannya, bukan sebab khusus. Apabila perempuan kurang kapabel daripada laki-laki dalam mengurus urusan keluarga, maka terlebih lagi perempuan kurang kapabel dalam menjalankan urusan negara. (Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, 182)
3. Adil. Sifat adil itu ada pada orang yang menjalankan berbagai kewajiban dan rukun Islam, menghindari dosa-dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil, benar tutur katanya, jelas amanahnya, jauh dari keraguan, tidak melakukan hal-hal negatif saat senang atau marah, tidak berbuat maksiat secara terang-terangan, dan tidak zhalim dalam memutuskan perkara. (Muqaddimah Ibni Khaldum, 212) Karena itu, tidak boleh memberikan wewenang kepada orang fasik karena ia menyepelekan agama. Sesungguhnya khalifah itu diperintahkan untuk mendidik orang-orang fasik. Lalu, bagaimana ia bisa mendidik, sedangkan ia sendiri termasuk orang fasik? Ibnu Khaldun mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hilangnya sifat adil akibat perbuatan fasik dengan mengerjakan larangan-larangan.”
4. Kapabilitas. Allah berfirman, “Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashshash [28]: 26) Kekuatan bagi kepala negara berarti keberanian, memiliki pendapat yang tepat, kepiawaian politik, memiliki kesadaran dan jauh dari lalai, serta memenuhi syarat-syarat kuat, di antaranya adalah sehat indera dan anggota badan.
5. Pengetahuan. Para ulama klasik mensyaratkan agar pemimpin itu juga seorang mujtahid. Di antara mereka adalah al-Mawardi, Syafi‘i, al-Farra’ al-Hambali, Ibnu Khaldun, al-Baghdadi dan selainnya. Para ulama madzhab generasi akhir mengatakan boleh imam bukan seorang mujtahid, tetapi ia harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk bermusyawarah dengan qadhi mengenai keputusannya, dengan gubernur mengenai manajemennya, mengetahui halal dan haram, serta memahami Kitab dan Sunnah.
Di antara bentuk pengetahuan pemimpin adalah ia tidak menuntut jabatan, karena Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, kami tidak melimpahkan kewenangan ini kepada seseorang yang memintanya atau tamak terhadapnya.” Barangsiapa diberi ilmu oleh Allah, maka ia tidak akan menuntut jabatan, karena ia tahu bahwa jabatan itu berujung pada penyesalan. Dan barangsiapa yang diberi ilmu oleh Allah, maka ia akan memilih akhirat daripada dunia. Dan di antara bentuk pengetahuan pemimpin adalah ia tidak menjagokan dan tidak mempromosikan dirinya, tetapi partai atau jama‘ahnya-lah yang menjagokanna dan memaksanya untuk menjadi kandidat.
6. Bernasab Quraisy. Sudut pandang ulama terhadap syarat ini telah berubah, dan mayoritas ulama tidak melihatnya sebagai syarat wajib. Dalil yang dipegang dalam masalah ini adalah hadits Nabi SAW, “Para imam itu berasal dari Quraisy.” Para sahabat menyepakati hal ini. Namun kelompok kedua menolak syarat ini dan berargumen dengan dalil-dalil sebagai berikut,
a. Sabda Rasulullah SAW, “Dengarlah dan taatilah, meskipun yang diangkat menjadi pejabat kalian adalah seorang budak dari Habsyah, seolah-olah kepalanya seperti kismis.” (Fathul Bari bi Syarh al-Bukhari, 16/239)
b. Al-Juwaini berkata, “Syarat berasal dari Quraisy itu bukan hanya untuk memuliakan keturunan kenabian saja, sebagaimana pendapat satu kelompok ulama, melainkan syarat yang sifatnya temporer.” Syarat tersebut berlaku pada masanya karena keutamaan yang ada pada Quraisy, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki dominasi dan dapat menghentikan konflik. Setelah itu suku Quraisy hilang sebagaimana suku yang lainnya, sementara kebutuhan umat Islam terhadap seorang imam tetap ada. Ahmad, Abu Ya’la, ath-Thabrani dan al-Bazzar meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Kabilah manusia yang paling cepat hilang adalah Quraisy.”
c. ‘Umar berkata, “Seandainya Salim maula Abu Hanifah masih hidup, maka aku akan mengangkatnya menjadi pejabat.” ‘Umar juga berkata, “Seandainya aku mati sedangkan Abu ‘Ubaidah masih hidup, maka aku pasti menjadikannya pengganti (khalifah). Kalau Allah bertanya kepadaku, “Mengapa kamu menjadikannya khalifah bagi umat Muhammad?”, maka aku akan menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya setiap Nabi itu memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaanku adalah Abu ‘Ubaidah bin Jarrah.’ Kemudian orang-orang menolak perkataan ‘Umar dan berkata, ‘Bagaimana dengan Ali yang keturunan Quraisy?’ Maksudnya adalah Bani Fahr. Kemudian ‘Umar berkata, ‘Seandainya aku mati sedangkan Abu ‘Ubaidah telah meninggal, maka aku akan mengangkat Mu’adz bin Jabal sebagai pengganti.” (al-Musnad, no. 108) Poin yang bisa diambil sebagai dalil dari ucapan ‘Umar ra adalah bahwa ia berpikir untuk mengangkat khalifah dari kalangan selain suku Quraisy, seperti Salim maula Abu Hanifah dan Mu’adz bin Jabal al-Anshar, padahal keduanya bukan orang Quraisy.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa suku Quraisy merupakan suku yang dominan di kalangan umat. Manakala ada satu kelompok yang dominan, maka kepemimpinan ada di tangan mereka. Artinya, suku Quraisy bagi Ibnu Khaldun merupakan simbol kabilah yang kuat pada zaman Rasulullah SAW. Dan ketika suku Quraisy lemah atau hilang sama sekali, lalu kekuatan muncul pada suku selain suku Quraisy, maka kekhalifahan harus berasal dari kabilah yang kuat tersebut. Karena pemerintahan bagi Ibnu Khaldun harus didasari dengan kesukuan, dan harus demokrasi. Maksudnya, harus ada satu kelompok yang fanatik terhadap khalifah dan berada di sekitarnya untuk melindunginya dan membantunya. Sebagian ulama kontemporer melihat bahwa partai merupakan perwujudan dari kelompok kesukuan pada hari ini, dan pada gilirannya pemimpin itu harus berasal dari partai yang paling kuat, agar partai ini dapat mendukung pemimpin negara dalam menjalankan program-programnya.
Al-Juwaini dalam kitab Ghayats al-Umam (229) mengatakan, “Apabila ada orang Quraisy yang tidak memiliki pengetahuan, dan pada saat yang sama ada orang alim yang bertakwa, maka orang alim tersebut diprioritaskan. Sementara orang yang tidak memiliki kapabitas itu tidak perlu didukung, dan kedudukannya tidak diperhitungkan sama sekali.” (bersambung)