Pemilu adalah Amanah

Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

***
Dr. Shalah ash-Shawi merupakan ulama pertama yang bukunya saya baca, yaitu tentang penerapan syari‘at di dunia Islam (hlm. 172). Ia mengatakan, “Telah menjadi ketetapan dalam fiqih syari‘at bahwa kewenangan publik itu termasuk amanah terbesar. Allah memerintahkan kita untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak.

Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (an-Nisa’ [4]: 58)

Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan ‘Utsman bin Abu Thalhah ketika Rasulullah SAW mengambil kunci Ka’bah pada hari Fathu Makkah, kemudian beliau mengembalikan kunci itu kepadanya. Padahal saat itu Ali bin Abu Thalih ra menemui beliau, dan kunci Ka’bah ada di tangan beliau, lalu Ali berkata, “Ya Rasulullah, berikanlah kepada kami tugas untuk menabiri Ka’bah dan memberi air minum kepada peziarah.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Mana ‘Utsman bin Abu Thalhah?” Lalu ia dipanggil, dan Rasulullah SAW bersabda kepadanya, “Ini kuncimu, ya ‘Utsman. Har ini adalah hari memenuhi janji dan berbuat baik.”

Meskipun ayat ini turun terkait kejadian tersebut, namun hukumnya bersifat umum dan mencakup setiap amanah dan semua orang. Ibnu Katsir berkata, “Baik ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, hukum ayat ini bersifat umum. Karena ituu Ibnu ‘Abbas dan Muhammad bin Hanafiyah berkata, “Ini untuk orang baik dan orang bejat. Maksudnya, perintah ini untuk setiap orang.” Ini adalah perintah kepada setiap penguasa untuk memberikan kewenangan kepada orang yang berhak menerimanya, tanpa melihat kekerabatan, kepentingan pribadi, suku, kelompok atau golongan. Demikian pula perintah kepada pemilih muslim—saat ia diberi hak untuk melimpahkan wewenang kepada para kandidat—agar ia memberikan suaranya kepada orang yang berhak atas kewenangan ini.

Di dalam kitab Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi (5/63) disebutkan, “Diwayatkan dari Zaid bin Aslam, dan dipilih al-Jiba’i dan selainnya, bahwa ayat ini ditujukan kepada para waliyyul amr, agar mengayomi rakyatnya dan mengarahkan mereka sesuai tuntutan agama dan syari‘at. Mereka juga memasukkan pemberian jabatan kepada yang berhak ke dalam kategori menyampaikan amanah. Dan menurut mereka, ayat berikut ini juga ditujukan kepada para waliyyul amr:

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab [33]: 72)

Imam al-Qurthubi mengatakan, “Amanah itu mencakup semua tugas agama menurut pendapat yang benar. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Maksudnya adalah kewajiban-kewajiban yang diamanahkan Allah pada para hamba.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Sesungguhnya kewenangan atas urusan umat itu termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama tidak bisa eksis tanpanya.” (as-Siyasah as-Syar‘iyyah, hlm. 184)

Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Dzar ra ketika ia meminta jabatan kepada beliau, “Sesungguhnya jabatan itu amanah, dan sesungguhnya jabatan itu mengakibatkan kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat, kecuali orang yang mengambilnya sesuai haknya dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya dalam jabatan tersebut.”

Al-Wazir Ibnu Hubairah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahaya jabatan, dan bahwa jabatan itu adalah amanah, sebesar-besar amanah. Hadits ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan jabatan itu mengakibatkan kehinaan dan penyesalan pada hari Kiamat, kecuali bagi orang yang mengambilnya sesuai haknya. Dan maksud dari sabda Nabi SAW, “Kecuali orang yang mengambilnya” adalah mengambilnya jabatan itu berikut kewajiban yang ada di dalamnya dengan tekad untuk menjalankannya. Dan maksud dari sabda beliau, “Dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya dalam jabatan tersebut” adalah sempurna dalam menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut.”

Pemilu berarti memberikan jabatan. Amanah ini diberikan kepada pemilih agar mereka memandatkan jabatan ini kepada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang kapabel. Maksudnya, mereka telah memikul amanah. Sebagaimana imam terbebani oleh syari‘at untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak dan memberi mandat dan menugaskan orang yang kuat dan tepercaya sebagaimana yang diinginkan syari‘at. Apabila imam tidak melakukan hal tersebut, maka ia telah mengkhianati amanah sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Begitu pula, sesungguhnya pemilih itu diberikan amanah ini, yaitu memandatkan orang yang diyakininya paling pantas menerima jabatan, dan pemilih harus menyampaikan amanah tersebut dan tidak menyia-nyiakannya.

Dr. ash-Shawi (hlm. 175) mengatakan, “Apabila telah menjadi ketetapan bahwa melimpahkan urusan rakyat itu termasuk amanah, maka di dalam ayat ini dan ayat lain Allah memerintahkan menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Nabi SAW menganggap tindakan menyia-nyiakan amanah dengan memberi jabatan kepada yang tidak berhak itu sebagai salah satu dari tanda-tanda Kiamat.

Nabi SAW juga menganggap pengkhiatan terhadap amanah sebagai salah satu karakter munafik. Bukhari, Muslim dan selainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga; apabila ia berbicara maka ia berdusta, apabila ia berjanji maka ia menyalahi, dan apabila ia mengadakan perjanjian maka ia mengkhianati.” Dan dalam riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i disebutkan lafazh serupa, tetapi yang ketiganya adalah, “Apabila ia dipercaya maka ia berkhianat.”

Sebagaimana Bukhari, Muslim dan selainnya meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Ada empat sifat yang barangsiapa keempat sifat tersebut ada pada dirinya, maka ia munafik murni. Dan barangsiapa yang salah dari keempat sifat tersebut ada pada dirinya, maka dalam dirinya ada karakter munafik sampai ia meninggalkan sifat tersebut; apabila ia dipercaya maka ia berkhianat, apabila ia berbicara maka berdusta, apabila ia berjanji maka ia mengingkari, dan apabila ia berseteru maka ia melampaui batas.”

Jelas bahwa barangsiapa memberi jabatan kepada seseorang dari sesuatu, padahal ada orang yang lebih diridhai Allah daripadanya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin. Sebagaimana diwayatkan Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang mengangkat seseorang sebagai pegawai dari suatu kelompok, sedangkan di dalam kelompok tersebut ada orang yang lebih diridhai Allah daripadanya, maka ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan mengkhianati orang-orang mukmin.” Pemilih adalah orang yang mengangkat seseorang dari satu kelompok untuk menjadi pejabat ketika ia memilihnya. Karena itu, hendkanya ia hati-hati agar tidak mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman.

Diriwayatkan dari Yazid bin Abu Sufyan, ia berkata, “Abu Bakar ash-Shiddiq berkata ketika mengutusku ke Syam, “Wahai Yazid, sesungguhnya kamu memilih kerabat yang barangkali kamu lebih memilih mereka untuk kaujadikan pejabat. Itulah yang paling kukhawatirkan padamu. Karena Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang diberi kewenangan atas urusan umat Islam lalu ia mengangkat seorang pejabat karena nepotisme, maka baginya laknat Allah. Allah tidak menerima pembayaran dan tebusan darinya, hingga Allah memasukkannya ke neraka Jahannam.”

Syaikhani meriwayatkan dari Ma’qil, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada seorang pun yang dijadikan Allah pemimpin atas suatu rakyat lalu ia meninggal dalam keadaan mengkhianati rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.”

Ibnu Taimiyyah berkata, “Ia tidak boleh mengangkat pejabat kecuali yang paling tepat di antara yang ada. Terkadang di antara kandidat yang ada, tidak ada yang benar-benar pantas mengisi suatu jabatan. Karena itu, hendaknya imam memilih orang yang paling mendekati untuk mengikuti setiap jabatan. Apabila ia melakukan hal tersebut sesudah ijtihad yang sempurna dan menjalankan kewenangan sesuai haknya, maka ia terbilang telah menunaikan amanah dan melakukan kewajiban di dalamnya.” (as-Siyasah asy-Syar‘iyyah, hlm. 25)

Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal tersebut sebagai berikut, “Seseorang itu karena cintanya kepada anaknya terkadang lebih mengutamakan anaknya untuk diberi jabatan, atau sesuatu yang bukan haknya, sehingga ia telah mengkhianati amanahnya. Atau ia condong kepada orang yang mendukungnya untuk diberinya suatu wewenang, sehingga dengan demokrasi ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan mengkhianati amanahnya.” (as-Siyasah asy-Syar‘iyyah, hlm. 21)