Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.
Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.
***
Islam Versi Barat Imperalis
Kondisi yang sangat dipahami Imam Hasan Al-Banna sehingga Beliau merasa perlu untuk mengingatkan umat Islam agar selalu berhati-hati terhadap kondisi tersebut ialah invasi dan serangan Barat terhadap Islam dan upaya pendistorsian konsep Islam. Sementara di sisi lain, usaha Barat untuk mendiskreditkan Islam dengan memberikan embel-embel terhadap umat Islam sebagai kaum terjajah dan terhina. Artinya, memvisualisasikan Islam pada dunia Internasional sebagai agama yang identik dengan ibadah ritual semata dan tak terkait sama sekali dengan pemerintahan, kekuasaan, kekuatan militer, politik dan jihad. Sehingga dalam agamanya, umat Islam tidak dituntut melakukan perjuangan bela negara dan usaha memerdekakannya dari cengkeraman tangan-tangan perampas hak mereka.
Namun kondisi yang pantas disayangkan, pemahaman yang sangat getol dikampanyekan oleh Barat dan kaum imperealis ini, akhirnya benar-benar tersebar di kalangan umat Islam dan mereka hanya diam dan tak berbuat apa-apa, seolah mereka terkesan sepakat dengan pemahaman tersebut. Sehingga mereka mengambil sikap menjauh dari hukum dan politik, konsep jihad, persiapan angkatan militer dan perlawanan layaknya orang-orang bodoh dan takut yang berlepas diri dari kewajiban-kewajiban mereka dalam Islam.
Akhirnya, persoalan tersebut sampai ke titik puncak dan klimaksnya, yaitu ketika muncul kecenderungan sebagian orang yang menisbatkan dirinya sebagai ulama serta ke¬munculan para orientalis fanatis yang secara terang-terangan menyatakan perlawanan terhadap Islam. Dua kelompok ini mulai menggembar-gemborkan propaganda busuk ini.
Di antara mereka tercatat nama-nama sekaliber Ali Abd Ar-Raziq yang pernah menulis sebuah buku berjudul “Al-Islam wa Ushul Al-Hukm” setahun pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah yaitu setelah pendeklarasian paham sekularisme dan pemarginalan prinsip Islam dari realita kehidupan secara resmi di negara Turki oleh Mustafa Kemal Attaturk serta pernyataan perang terhadap semua yang berlabel Islam di Khilafah Utsmaniyyah.
Attaturk telah berkali-kali menegaskan paham sekularismenya serta mengingkari baik dengan tidak sengaja, karena kebodohan atau karena pura-pura tidak tahu, ia berasumsi bahwa tidak ada kaitan antara Islam dengan pemerintahan, sehingga negara Islam tidak perlu ada, bahkan Khilafah Utsmaniyyah hanya meninggalkan efek negatif terhadap umat Islam. Lantas karena kebodohannya ia mengungkapkan bahwa misi pengutusan Nabi Mu-hammad SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM hanyalah menyampaikan dakwah pada umat manusia. Sedangkan pembentukan eksistensi politik umat Islam bukan merupakan misi dakwah Rasulullah.
Attaturk membantah dan mengkritik bila terdapat satu dalil pun, baik dalam Al-Qur`an maupun Sunnah Rasulullah yang mengindikasikan kewajiban kepemimpinan dan pemerintahan Islam. Ia berkata: “Kajian-kajian ulama yang menyatakan berdirinya kepemimpinan Islam dan pengangkatan seorang Imam adalah se¬buah kewajiban Islam, padahal kita tidak me-nemukan satupun di antara mereka yang mengemukakan dalil yang menyatakan kewa¬jiban tersebut dari Al-Qur`an maupun Sunnah.
Alhasil, jika dalam Al-Qur`an benar-benar ada dalil yang menyatakan hal tersebut, maka para ulama tentu tidak ragu-ragu lagi dalam mewajibkannya atau bila ada dalil yang mendekati atau identik dengan pemahaman kewajiban imamah dalam Islam, tentu akan bermunculan para pengusung pemahaman tersebut. Dan faktanya jumlah mereka yang masuk dalam tipikal ini sangat banyak sekali yaitu kelompok yang menganggap dalil yang identik dengan pemahaman tersebut sebagai dalil pokoknya.”
Attaturk telah keliru dengan asumsinya di atas, karena dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM banyak sekali dalil yang memberikan sinyalemen pada kewajiban kepemimpinan Islam. Di antaranya adalah Firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 59:
(يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ) [النساء :59]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri (pemegang kekuasaaan) di antara kamu.
Dan firman Allah dalam Qur’an surah An-Nisa 83:
(وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي اْلأَمْرِ مِنْهُمْ) [النساء: 83]
Artinya: Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka.
Dan sudah dimaklumi bahwa yang dimaksud dari Ulil Amri pada dua ayat di atas adalah para pemimpin dan pemegang kekuasaan sementara pemegang kekuasaaan tertinggi adalah Imam.
Dan perlu diketahui bahwa asumsi Attaturk di atas, ternyata tidak murni keluar dari pemahamannya, tapi diadopsi dari buku karangan seorang orientalis bernama Thomas Arnold, sebagaimana ia katakan: “jika Anda ingin lebih detail memahami persoalan tersebut, silahkan Anda cari dalam buku Sir Thomas Arnold yang berjudul “Kitab Al-Khilafah” yaitu pada bab kedua dan bab ketiga dari buku tersebut, niscaya Anda akan menemukan jawaban yang memuaskan dalam buku itu. Imam Hasan Al-Banna hidup semasa dengan Attaturk, sehingga Beliau tahu persis tentang persoalan ini dan Beliau telah membantah pendapat tersebut tanpa menyebutkan orang yang mengeluar-kanya. Beliau menamakan konsep Barat yang dipopulerkan kaum orientalis ini dengan istilah Negeri Islam Koloni Barat yang Hina.
Imam Hasan Al-Banna berperan mengakrabkan pemahaman Islam kepada umat manusia sebagai agama aqidah, syariah dan way of life. Beliau membantah konsep-konsep bangsa-bangsa terjajah yang ditujukan pada negara-negara Islam, yaitu konsep-konsep yang mempropagandakan umat Islam untuk tunduk, patuh dan loyal terhadap musuh-musuh mereka yang telah merampas negeri pertiwi, mengotori kesucian tempat-tempat ibadah mereka, menggiring mereka ke tempat-tempat pembantaian di medan peperangan melawan musuh. Sedangkan mereka yang patuh dan loyal ter-sebut yang akan menjadi bahan bakarnya.
Setelah Imam Hasan Al-Banna, pemahaman Islam yang berkembang lebih identik dengan makna di atas, konseptor dari penebar paham tersebut adalah Amerika –setan besar-, istilah yang mereka gunakan adalah “Islam Amerika”. Para pimpinan dan pejabat Amerika yang tinggal di negara-negara Islam sering mengeluarkan pandangan bahwa: “Islam adalah agama yang tidak ada intervensi politik di dalamnya, karena haram hukumnya bagi Anda memasukkan politik dalam agama, tidak ada politik dalam agama, begitu pula kewajiban jihad bukan merupakan bagian dari perintah agama, tapi jihad adalah tindakan terorisme, kekerasan dan ekstrimisme. Karena orang yang membunuh Yahudi yang telah menjajah negerinya dan mengusirnya dari kampung halaman tercinta adalah teroris dan perbuatannya dinamakan tindakan terorisme yang tidak ada lan¬dasannya sama sekali dalam Islam?!”
“Islam versi Amerika” adalah sebuah terminologi Islam yang tak mengenal jihad, tak mengenal politik, Islam yang tidak memiliki pemerintahan dan negara berdaulat apalagi khilafah, Islam yang tak mengenal pemberian sanksi terhadap Amerika yang telah merampas kekayaan umat manusia serta tak mengenal istilah pengusiran terhadap para penebar kefa-sikan, kemaksiatan dan kezaliman terhadap umat manusia.
Berkat pemahaman fiqih politik Islam yang dimiliki, Imam Hasan Al-Banna berhasil membuat umat Islam menjadi umat yang sadar kan hak politik mereka, sehingga bermunculan banyak pergerakan jihad yang berjuang menegakkan misi bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, agama yang mengatur semua aspek kehidupan, sehingga umat Islam bertanggung jawab untuk mengarahkan dan memimpin semua aspek tersebut sesuai tuntutan Islam. Di samping itu, timbulnya kesadaran untuk mengusir semua kaum penjajah dan seluruh bentuk penjajahan dari bumi pertiwi serta kesadaran untuk memerangi pemahaman Islam Amerika dengan memberikan penyadaran dan pemberian wawasan politik kepada umat Islam.
Ikhwanul Muslimin dan Politik
Setelah mengemukakan hujjah yang menyatakan bahwa Islam pun berpolitik dengan misi membawa kebahagiaan bagi umat manusia, lalu Beliau menegaskan pernyataan tersebut dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM. Beliau menjelaskan bahwa dikotomi aga¬ma dan politik merupakan virus-virus yang bersumber dari Barat yang telah menular kepada para pemimpin dan pejabat pemerintahan di negeri-negeri Islam. Imam Hasan Al-Banna mengumAndangkan Ikhwanul Muslimin sebagai gerakan dakwah Islam yang menyerukan pada pemahaman Islam yang komperhensif yaitu Islam yang berlandaskan pada politik yang mengatur semua aspek kehidupan manusia.
Imam Hasan Al-Banna pernah berkata: “Wahai para pemegang kekuasaan, ketahuilah bahwa Allah telah mengetahui bahwa kader-kader Ikhwanul Muslimin adalah para politisi dan kader Ikhwan tidak akan pernah berasal dari non-muslim serta Ikhwanul Muslimin tidak memisahkan poitik dari agama”.
Siapa pun yang mengira bahwa Islam tidak menyentuh wilayah politik atau berprasangka bahwa politik bukan tema pembahasan dalam Islam, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya dan telah menganiaya ilmunya. Saya tidak mengatakan bahwa mereka telah menzhalimi Islam, karena Islam adalah syariat Allah yang tak akan pernah tersentuh oleh kebatilan, baik yang datang dari depan maupun dari belakang.
Betapa indahnya ungkapan Ghazali berikut: “ketahuilah bahwa Islam adalah pokok, sementara pemerintahan adalah penjaganya, sesuatu yang tidak punya pokok akan hancur dan sesuatu yang tak terjaga tentu akan hilang. Sebuah negara Islam tidak akan pernah berada dalam asas dakwah yang kokoh sehingga negara itu memiliki misi risalah Islam, bukan sekedar menyusun formasi administratif dan pemerintahan secara fisik yang tak memiliki ruh. Demikian pula halnya dakwah tak akan berjalan lancar kecuali dengan perlindungan, bantuan dan dukungan dari negara Islam”.
Imam Hasan Al-Banna telah menjelaskan strategi politik Ikhwanul Muslimin dengan sangat gamblang sekali dalam sebuah ceramah Beliau berjudul: “Ikhwanul Muslimin dan Politik” yang termasuk dalam risalah “Ila Ayyi Syai’i Nad’u An-Naasa”.
Dalam ceramah tersebut Beliau berkata: “Wahai umat Islam, kami memanggil kalian semua, Al-Qur`an yang berada di tangan kanan kami, Sunnah berada di kiri kami, tindakan para pendahulu kita (slafus shalih) yang shalih menjadi panutan kami, dari hati yang paling dalam kami mengajak umat Islam untuk kembali pada Islam, hukum Islam dan petunjuk-petunjuknya. Jika semua hal di atas diistilahkan dengan politik, maka itulah politik kami. Jika orang yang memperjuangkan hal-hal tersebut mereka juluki para politisi, maka kamilah yang paling pantas dijuluki para politisi tersebut.
Karakter politik Islam tidak lain adalah politik yang mempunyai misi perwujudan kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun akhirat, maka hendaklah Anda memiliki etika politik seperti itu, ajaklah rekan-rekan Anda serta berpegang teguhlah pada etika politik yang memprioritaskan kebanggaan terhadap akhirat .
Dalam kongres VI, Imam Hasan Al-Banna menyampaikan dalam orasinya: “Jika kita dikenal sebagai para politisi, itu artinya karena kita memiliki kepedulian dan perhatian terhadap kondisi umat Islam dan karena kita yakin bahwa pemerintahan merupakan salah satu elemen dari sekian banyak aturan-aturan Islam, bahwasanya kebebasan berpolitik dan rasa patriotisme merupakan salah satu penyangganya. Kita berjuang dengan segala kemampuan demi kebebasan politik dan reformasi para aparat pemerintahan.
Kita sadar bahwa pembahasan ini bukan barang baru, hal ini dipahami oleh semua orang yang mengkaji Islam dengan kacamata yang benar. Sementara keberadaan jamaah Ikhwanul Muslimin dan keberadaan kita adalah semata-mata merealisasikan misi-misi tersebut dan kita tidak akan menyimpang dari jalan dakwa ini meski sehelai rambut sekalipun. Dakwah yang dituntut Islam terhadap Muslim tidak terbatas hanya sebagai ungkapan nasehat dan wejangan semata, tapi Islam selalu memotivasi umatnya untuk berjuang dan berjihad.
Firrnan Allah QS. Al-‘An¬kabut 69:
(وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ) [العنكبوت: 69]
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.