Oleh: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris *
Pandangan Harakah Islamiyyah terhadap Cobaan
Jharis menganggap ujian dan musibah di jalan dakwah sebagai sebuah sunnatullah yang tidak pernah meleset. Ini adalah sunnah yang berlaku umum, tidak ada pengecualian bagi seorang mukallaf. Sesungguhnya kehidupan dunia adalah tempat ujian, sedangkan akhirat adalah tempat balasan. Ujian bia berupa kesenangan dan kesusahan, dan ia dihadapi dengan syukur dan sabar.
Harakah Islamiyyah memandang ujian dan musibah di jalan dakwah dengan pandangan Islami; ujian merupakan sunnatullah yang tidak pernah berhenti dan meleset. Para da‘i dituntut untuk menyampaikan dakwah kepada manusia, membangun kembali kehidupan yang Islami, dan mendirikan daulah Islamiyyah. Sudah barang tentu hal ini membuat para eksekutif dan penguasa bekerja keras untuk melanggengkan kekuasaan mereka dan menumpahkan kemarahan mereka pada para da‘i dalam bentuk penganiayaan. Yang dituntut dari pada da‘i adalah sabar menghadapi hal itu, tidak mundur dari menunaikan tugas, betapapun situasi dan kondisinya sedemikian keras. Mereka harus tetap menjalankan kewajiban mereka hingga mencapai tujuan, atau Allah mengaruniai mereka kesyahidan.
Ujian dan musibah di jalan dakwah dianggap sebagai bekal bagi para da‘i, cahaya yang menyinari jalan bagi mereka dan kelompok lain, dan stimulus bagi orang-orang yang tertimpa ujian untuk teguh di atas kebenaran, mengikuti petunjuknya sampai Allah memutuskan perkara. Kepada Allah jua segala urusan dikembalikan.
Ujian dapat melahirkan satu generasi yang jujur kepada Tuhannya, jujur terhadap dirinya sendiri, jujur terhadap manusia, ikhlas dan bersih, pemberani dan tidak pernah surut langkah, teguh dan tidak pernah goyah dari tujuan-tujuannya, serta generasi yang religius dan memiliki hubungan yang kuat dengan Allah dan Kitab-Nya.
Hegemoni kelompok yang zhalim dan para tiran dalam satu fase itu bukan berarti bahwa Allah bersama mereka dan menolong mereka. Karena Allah tidak pernah menolong musuh-musuh-Nya untuk mengalahkan para wali-Nya. Itu hanya ujian bagi orang-orang mukmin agar yang jelek dipilah dari yang baik, yang kafir disingkirkan dari yang mukmin, dan yang bohong dikeluarkan dari yang jujur.
Musibah paling berbahaya yang menimpa dakwah di fase ujian adalah adanya orang-orang yang terburu-buru, sembrono dan tidak disiplin. Karena terkadang mereka menyeret jama’ah kepada konflik yang mengakibatkan hilang dan hancurnya jama’ah. Sungguh keliru persangkaan orang yang mengatakan bahwa konflik berdarah pada waktu tersebut itu memberi manfaat bagi jama’ah. Jama’ah harus tegas terhadap orang-orang seperti mereka, tidak membalas dengan lebih keras, dan tetap menjaga perasaan yang telah berkobar.
Sesungguhnya Islam memberi rasa aman dan tentram bagi hati orang yang tertimpa musibah, serta menghilangkan kegoncangan dan kecemasan dari jiwanya. Karena Islam mengajari dan mendidiknya bahwa orang yang menerima ujian itu berarti beriman. Allah telah memberi kesaksian akan keimanannya, mencintainya, memuliakannya, dan memberinya derajat yang tinggi. Orang-orang yang beriman seharusnya merasa senang dengan ujian, karena mereka merasakan cinta Allah kepada mereka, dan pensucian Allah terhadap iman mereka. Karena apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengujinya. Dan Allah menguji seseorang itu sesuai kadar agamanya. Apabila agamanya kuat, maka ujiannya ditambah.
Orang yang mendapat ujian itu memetik manfaat dari ujian yang dihadapinya, dan memberi manfaat kepada orang lain. Baginya, ujian itu menjadi pengalaman yang dapat dipetik manfaatnya untuk amal Islami yang terorganisir. Pada sat yang sama, pengalamannya itu dapat dimanfaatkan oleh orang yang lebih rendah tingkatannya di bidang ini. Dan seyogianya pengalaman-pengalaman dihimpun, dikaji, dinilai dan dianalisa, lalu disimpulkan berbagai pelajaran, nasihat, hikmah dan hukumnya, agar dapat dimanfaatkan oleh generasi penerus dalam amal Islami.
Sabar terhadap penganiayaan dan fitnah, betapapun lamanya, pasti akan berakhir pada kemenangan. Kemenangan pasti akan berada di pihak orang-orang mukmin dengan ijin Allah, tetapi setelah melakukan jihad yang melelahkan dan melewati banyak bencana. Inilah watak perjalanan para Rasul dan pengikut-pengikut mereka. Di dalam Al-Qur’an Allah telah menceritakan kisah Nuh AS, apa yang ditemuinya di jalan dakwah, kesabarannya terhadap penganiayaan, dan ditutup dengan kemenangan bagi Nuh dan kehancuran bagi musuhnya. Kemudian, di akhir kisah tersebut dalam surat Hud Allah berfirman kepada Rasulullah Saw.,
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Hud [11]: 49)
Ujian adalah jalan untuk masuk surga, karena Allah Tabaraka wa Ta’ala membalas orang yang diuji-Nya lalu bersabar itu dengan surga. Allah berfirman,
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS Ali ‘Imran [3]: 142)
Ibnu Jarir Ath-Thabari menafsirkan ayat ini demikian, “Apakah kalian mengira akan masuk surga dan memperoleh kemuliaan sebagai balasan dari-Ku, sedangkan Aku belum menguji kalian dengan kesusahan dan hal-hal yang tidak mengenakkan, sampai Aku mengetahui kebenaran pengakuan kalian, yaitu beriman kepadaku, dan kesabaran terhadap apa yang menimpa kalian di jalan-Ku.”
Ujian adalah sarana untuk menyiapkan dan membina seorang mukmin agar ia menjadi prajurit di jalan Allah. Ia tidak keluar barisan, melainkan sangat disiplin dan dapat menahan amarah. Karakter yang demikian itu dapat diperoleh di ranah ujian.
Ujian dapat mengungkapkan kualitas dan karakter seseorang. Ada sifat-sifat sabar, keberanian, zuhur, tawadhu’, keteguhan dan kemuliaan. Dan ada pula sifat-sifat bakhil, pengecut, mudah goyah dan sombong. Ujian dengan beragam bentuk dan banyak cabangnya itu dapat menampilkan sifat-sifat seseorang dalam harakah Islamiyyah, seperti berani, sabar, kearifan, kecerdikan, dan kelembutan. Ini merupakan sesuatu yang sangat baik bagi jama’ah, agar seseorang yang tepat dapat ditempatkan di tempat yang tepat.
Ujian juga dapat menjaring musuh dalam selimut di antara barisan orang-orang mukmin. Karena terkadang orang-orang yang berkedok Islam itu masuk ke tengah barisan di saat santai, padahal sebenarnya mereka itu adalah orang-orang munafik yang menyimpan dendam terhadap Islam dan umatnya. Jadi, ujian merupakan sarana untuk membersihkan barisan orang-orang mukmin dari orang-orang seperti mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin).” (QS Ali ‘Imran [3]: 189)
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini demikian, “Maksudnya, Allah pasti mengadakan suatu ujian untuk menampakkan kekasih-Nya dan membongkar kedok musuh-Nya. Dengan ujian itu orang mukmin yang sabar dapat dibedakan dari orang munafik pendosa. Yang dimaksud dengan ayat ini adalah perang Badar. Dengan perang ini Allah menguji orang-orang mukmin sehingga tampak keimanan, kesabaran, ketegaran, keteguhan dan ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya Saw. Dan dengan perang ini pula Allah membongkar kedok orang-orang munafik sehingga tampak ketidak-taatan dan keengganan mereka untuk berjihad, serta pengkhiatan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya Saw.”
Di antara buah ujian adalah dipertuhnya jalinan cinta di antara individu-individu jama’ah muslim, dan dikuatkannya barisan muslim. Karena ujian dapat merajut hati orang-orang yang mengalaminya dan mempertebal tali cinta dan kasih sayang. Karena suasana ujian itu diliputi dengan rasa saling mengasihi dan menyayangi manakala melihat orang-orang tercinta menerima penyiksaan dan kekerasan. Demikianlah, perasaan ini lahir pada setiap orang yang tertimpa musibah terhadap saudara-saudaranya.
Apabila telah tercipta rasa cinta yang mendalam di antara individu-individu organisasi, dan organisasi telah dibersihkan dari elemen-elemen buruknya dan musuh-musuh dalam selimutnya, maka hal tersebut akan menghasilkan sebuah organisasi yang kuat dan kokoh, serta sulit ditembus, dihancurkan dan dipengaruhi.
Karena hikmah-hikmah inilah ujian bagi umat Islam menjadi anugerah dari Allah. Sebuah anugerah yang memberi mereka kebaikan, kemaslahatan, kemenangan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. (tamat)
*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.
DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.
Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.