Oleh: DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris*
Mengubah Sistem Jahiliyah, bukan Menambalnya
Sikap terhadap sistem-sistem jahiliyah bukan menambalnya, karena hal tersebut dapat memperpanjang umurnya. Pada saat yang sama, tindakan tersebut hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Sebaliknya, sistem jahiliyah itu seyogianya diubah secara menyeluruh. Yaitu ketika timbangan sudah tidak normal, nilai-nilai berubah, tolok ukur sudah berganti, individu dan masyarakat diliputi dengan kebingunan, kecemasan dan keguncangan, tidak ada lagi solusi selain perubahan.
Dalam hal ini Ustadz Al-Banna rahimahullah berbagi pengalamannya dengan kita tentang Mesir, situasi yang dihadapinya dan solusi yang diinginkannya. Kita tahu bahwa kondisi umat Islam di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim tidak kalah jeleknya daripada kondisi umat Islam di Mesir. Beliau mengatakan,
“Masyarakat kami pada hari ini diliputi kebingunan. Jika kebingunan ini tetap ada, maka pasti akan berlanjut ke revolusi. Sebuah revolusi membabi buta yang tidak memiliki tujuan, kontrol, sistem dan batasan-batasan. Sebuah revolusi yang hanya diakhiri dengan kehancuran dan kerugian yang telak, khususnya di zaman seperti ini, ketika manusia terseret-seret oleh hawa nafsunya seperti anjing menyeret-nyeret mangsanya. Dan di sebuah negara seperti Mesir yang menjadi incaran dan sasaran ambisi, baik dari dalam atau dari luar. Pernyataan ini menjadi kesepakatan setiap pihak yang menaruh perhatian terhadap nasib bangsa ini. Anda dapat mendengarnya dari para pemimpin dan cendekiawan, seperti halnya Anda mendengarnya dari orang-orang awam di tempat-tempat duduk mereka, berbagai komunitas di tempat pertemuan mereka dan para pekerja di tempat kerja mereka.”
Menurut penulis, tidak diragukan bahwa mayoritas negara-negara Muslim menghadapi problem yang sama, bahkan lebih besar lagi. Lalu, apa solusinya?
Ustadz Al-Banna rahimahullah menjawab pertanyaan ini demikian,
“Upaya penyelamatan dalam situasi seperti ini bukan dengan reformasi manajemen dan birokrasi. Orang-orang yang bingung itu tidak akan tertolong dengan kajian-kajian yang lambat di komisi-komisi yang saling mengandalkan satu sama lain. Mereka yang kecewa dengan solusi parsial dan material ini justeru semakin kecewa, kendati pemerintahan berusaha untuk menyadarkan, atau mengharmonikan, atau memberi ancaman untuk membungkam mulut yang terbuka lebar, perut yang lapar dan tubuh yang telanjang. Pemerintah tidak akan bisa melakukannya. Buktinya jelas dan argumennya ada. Karena kebingunan, kegelisahan dan kegoncangan itu telah menyentuh jiwa, hati dan pikiran, sebelum menyentuh aspek lahir dan tatanan. Pada saat itu, jiwa tidak akan puas dan tentram kecuali terhadap risalah baru dan warna kehidupan yang baru. Pada saat itu hati akan sebuah simbol harapanya dan jalan untuk merealisasikan tuntutan-tuntutannya. Ketika jiwa telah mengimai risalah yang baru ini sebagai sebuah pemikiran dan sistem, maka jiwa akan menerimanya dengan tenang dan berusaha mengimplementasikannay secara praktis pada tatanan kehidupan. Semua sejarah kebangkitan dan reformasi yang menyeluruh memberi kita bukti tentang kebenaran pernyataan ini. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)
Ustadz Al-Banna rahimahullah telah menetapkan sikap kita terhadap rezim yang tidak memerintah dengan Islam ini. Di banyak tempat dalam risalahnya, Al-Banna menyatakan penolakan terhadapnya dan upaya untuk mengubahnya.
Dalam risalah Ilasy-Syabab, Al-Banna rahimahullah menyatakan,
“Untuk itu, kita tidak mengakui suatu rezim pemerintahan yang tidak bertumpu pada fondasi Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai sumber kebijakannya. Kita tidak mengakui partai-partai politik ini dan tidak pula bentuk-bentuk tiruan yang dipaksakan pada kita oleh orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam. Kami akan berusaha untuk menghidupkan sistem pemerintahan yang Islami dengan setiap aspeknya dan membentuk pemerintahan Islami di atas fondasi sistem tersebut.”
Dalam risalah Ila Ayyi Syai’in Nad’u An-Anas Al-Banna menyatakan,
“Mereka mereformasi undang-undang. Sesungguhnya setiap bangsa memiliki undang-undang yang menjadi acuan anak bangsa dalam menjalankan hukumnya. Dan undang-undang ini harus bersumber dari hukum-hukum syari’at Islam, diambil dari Al-Qur’an Al-Karim dan sejalan dengan jurisprudensi hukum Islam. Syari’at Islam dan aturan-aturan yang diletakkan para pengkaji syari’at Islam itu dapat menutupi celah, memenuhi kebutuhan, memuaskan dahaga dan memberi hasil terbaik dan buah yang paling berkah.”
“Seandainya hukum pidana Allah diterapkan, maka ia dapat menjerakan pelaku kejahatan meskipun ia telah terbiasa melakukan kejahatan, dan mencegah orang yang suka mengganggu orang lain meskipun karakter itu telah mengakar dalam jiwanya. Hal ini dapat merilekskan pemerintah dari letihnya uji coba yang gagal. Pengalaman membuktikan dan menguatkan hal tersebut. Prinsip-prinsip legislasi modern pun mendukung hal tersebut. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah [5]: 44)
Imam Al-Banna rahimahullah menjelaskan kepada kita hakikat hukum positif yang mengatur Mesir dan negara-negara Arab lain yang serupa, atau bahkan mengikutinya. Kemudian Al-Banna menetapkan sikap Islam terhadap hukum tersebut dan sikap yang jelas jama’ah terhadapnya. Ia mengatakan,
“Tidak bisa dipahami dan tidak logis sekiranya hukum yang berlaku bagi umat Islam itu bertentangan dengan ajaran-ajaran agamanya, hukum-hukum Al-Qur’annya dan Sunnah Nabinya; berbenturan sekeras-kerasnya dengan apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Allah telah mengingatkan Nabi-Nya tentang hal ini sebelumnya. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 49)
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah [5]: 50)
Ayat-ayat tersebut terletak sesudah ayat, “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al-Maidah [5]: 44)
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang lalim.” (QS Al-Maidah [5]: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 47)
“Bagaimana sikap seorang muslim yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya ketika ia mendengar ayat-ayat yang jelas ini, serta berbagai hadits dan hukum lainnya, kemudian ia melihat dirinya dengan suatu undang-undang yang berlawanan dengan hukum-hukum Islam?”
“Apabila Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan zina, melarang riba, mencegah khamer dan memerangi judi, lalu ada undang-undang yang melindungi pelaku zina—laki-laki dan perempuan, mewajibkan riba, membolehkan khamer dan mengatur perjudian, lalu bagaimana sikap seorang muslim terhadapnya? Apakah ia akan menaati Allah dan Rasul-Nya lalu durhaka kepada pemerintah dan undang-undang dan memang Allah itu lebih baik dan abadi, ataukah ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya lalu menaati pemerintah sehingga ia sengsara di dunia dan akhirat?”
“Al-Ikhwan Al-Muslimun tidak menyetujui undang-undang ini selama-selamanya dan tidak ridha terhadapnya dalam kondisi apapun. Mereka akan berusaha dengan segala cara untuk menggantinya dengan undang-undang Islami yang adil dan utama dalam setiap aspek undang-undangnya.”
Ustadz Al-Banna rahimahullah juga mendefinisikan tugas Al-Ikhwan Al-Muslimun terhadap gelombang dahsyat peradaban syahwat yang dihasilkan sistem jahiliyah ini. Ia mengatakan,
“Kita harus menghadapi gelombang dahsyat civilization of matter, peradaban hedonisme dan syahwat yang menyimbangkan umat Islam dan menjauhkannya dari bimbingan Nabi Saw. dan petunjuk Al-Qur’an, menghalangi cahaya petunjuknya bagi dunia dan menahan kemajuannya selama ratusan tahun. Kita akan melawan hingga ia tersingkir dari tanah air kita dan bangsa kita bebas dari bencanya. Tidak sampai di sini, kita akan mengejarnya di negerinya dan kita akan memeranginya di kampung halamanya, hingga seluruh dunia mengucapkan nama Nabi Saw., hingga seluruh dunia meyakini ajaran-ajaran Al-Qur’an dan naungan Islam yang teduh menaungi bumi. Pada saat itulah cita-cita seorang muslim telah terwujud, sehingga tidak ada lagi fitnah dan seluruh kepatuhan hanya kepada Allah. “Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS Ar-Rum [30]: 4, 5)
“Inilah tugas kita Al-Ikhwan Al-Muslimun secara garis besar.”
Sayyid Quthub menjelaskan kepada kita tentang sikap terhadap rezim jahiliyah. Ia mengatakan,
“Seperti yang kami katakan, Islam adalah deklarasi umum untuk membebaskan manusia dari penghambaan terhadap sesama hamba. Ia bertujuan untuk menghilangkan rezim dan pemerintahan yang berpijak pada prinsip hakimiyyah manusia terhadap manusia dan penghambaan manusia terhadap manusia.”
Sayyid Quthub juga mengatakan, “Dari sini, Islam harus bertolak di muka bumi untuk menghilangkan realitas yang bertentangan dengan pernyataan umum, (menghilangkannya) dengan retorika dan dengan harakah secara bersama-sama, serta mengarahkan pukulan-pukukan terhadap kekuatan politik yang menghambakan manusia kepada selain Allah—maksudnya mengatur mereka dengan selain syari’at dan kekuasaan Allah. Kekuatan politik yang menghalangi manusia untuk memperoleh penjelasan ini, memeluk akidah dengan bebas tanpa direcoki oleh kekuasaan. Setelah itu, agar Islam dapat mendirikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik, maka gerakan kebebasan itu diperkenankan melakukan aksi—setelah menyingkirkan kekuatan yang menghegemoni, baik politik murni, atau yang terkombinasi dengan rasialisme atau kasra dalam satu unsur.”
Selanjutnya Sayyid Quthub menjelaskan, “Berdirinya kerajaan Allah di muka bumi, upaya menyingkirkan kerajaan manusia, upaya menyabut kekuasaan dari tangan manusia yang merampasnya untuk dikembalikan kepada Allah semata, supremasi syari’at Ilahi semata dan pembekuan undang-undang manusia…semua itu tidak tercapai dengan menyampaikan informasi dan retorika semata. Karena pihak-pihak yang mencengkeram leher manusia dan merampas kekuasaan Allah di muka bumi itu tidak mau menyerahkan kekuasaan mereka dengan petuah dan retorika saja. Kalau tidak demikian, maka betapa mudah tugas para Rasul dalam meneguhkan agama Allah di muka bumi. Ini berlawanan dengan yang dikenal dalam sejarah para Rasul dan sejarah agama di sepanjang generasi.”
“Sesungguhnya deklarasi umum untuk memerdekakan manusia di muka bumi dari setiap kekuasaan selain kekuasaan Allah, dengan pernyataan uluhiyyah Allah semata dan rububiyyah-Nya terhadap alam semesta. Ini bukan pernyataan teoritis filosofis pasif, melainkan pernyataan yang bersifat harakah (dinamis), realistis dan aktif. Sebuah pernyataan yang maksudnya adalah realisasi praktis dalam bentuk kekuasaan yang mengatur manusia dengan syari’at Allah, mengeluarkan mereka dengan akal dari penghambaan kepada sesama manusia kepada penghambaan kepada Allah semata. Dari sini, Islam harus mengambil bentuk harakah, selain mengambil bentuk retorika. Hal itu agar Islam dapat menghadapi realitas manusia dengan setiap dimensinya dengan sarana-sarana yang sesuai untuk setiap dimensinya.”
“Realitas manusia kemarin, hari ini dan esok menjadikan agama ini—dalam kapasitasnya sebagai deklarasi umum untuk membebaskan manusia dari setiap kekuasaan selain kekuasaan Allah—berhadapan dengan rintangan-rintangan doktrin dan persepsi, serta rintangan-rintangan material realistis. Rintangan-rintangan politik, sosial, ekonomi, rasialisme dan kasta. Selain rintangan-rintangan akidah yang menyimpang dan persepsi-persepsi yang keliru. Semua itu bercampur aduk dan berinteraksi dengan amat sangat kompleks.”
*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.
DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.
Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.