Oleh: DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris*
Definisi Pemerintahan yang Islami
Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah, muryid ‘am pertama Al-Ikhwan Al-Muslimun, menggambarkan pemerintah yang Islam demikian, “Pemerintah disebut Islami manakala anggota-anggotanya beragama Islam, menjalankan kewajiban-kewajiban Islam, tidak melakukan maksiat secara terang-terangan, serta mengimplementasikan hukum-hukum Islam dan ajaran-ajarannya…”
“Di antara sifat-sifat pemerintah yang Islami adalah ada rasa tanggungjawab, sayang kepada rakyat, adil di antara manusia, tidak korupsi dan menggunakaan fasilitas negara dalam batas yang wajar.”
“Di antara kewajiban pemerintahan yang Islami adalah menjaga keamanan, menegakkan hukum, menyediakan sarana pendidikan, menyiapkan kekuatan, menjaga kesehatan, menjaga fasilitas publik, mengembangkan kekayaan, menjaga aset negara, menguatkan moral, menyebarkan dakwah. Dan di antara hak pemerintahan yang Islami manakala telah menjalankan kewajiban adalah loyalitas, taat dan pembelaan dengan jiwa dan harta benda.”
“Apabila pemerintahan tersebut tidak maksimal, maka di antara haknya adalah nasihat dan arahan, kemudian diturunkan dan dijauhkan dari kekuasaan. Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam maksiat kepada Khaliq.”
Definisi tentang pemerintahan yang Islami, hak dan kewajibannya ini merupakan definisi yang komprehensif. Apakah di dunia Arab, sebagai contoh, terdapat pemerintah yang Islami dari segi individu-individunya, sifat-sifatnya dan kewajiban-kewajibanya dalam melaksanakan hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam di berbagai bidang kehidupan, baik perundang-undangan, politik, ekonomi, moral dan selainnya?
Dengan melihat saja tatanan pemerintahan yang ada, seseorang dapat menarik kesimpulan bahwa pemerintah-pemerintahan yang ada bukan merupakan pemerintah yang Islami.
Ustadz Asy-Syahid Abdul Qadir ‘Audah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa tidak memutuskan perkara sesuai hukum yang diturunkan Allah, atau bermahkamah kepada selain syari’at Allah, maka dia kafir, tidak ada dalam hatinya sebiji iman pun, meskipun ia menyebut dirinya sebagai muslim, bernisbat kepada kedua orang tua yang muslim dan mengklaim dirinya beragama Islam. Itulah hukum Allah dan barangsiapa yang tidak memutuskan perkara sesuai hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
“Inilah hukum Islam yang dahulu hingga sekarang dibekukan pemerintah di negara-negara Islam. Jika demikian, maka setiap orang yang berakal sehat pasti dapat memahami dengan mudah sejauh mana keterkaitan pemerintah dengan Islam. Ia juga dapat berkata tanpa segan-segan bahwa pemerintah mengajak dan membawa umat Islam kepada kekafiran.”
Ustadz Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah dalam tafsirnya yang berjudul Tafsir Al-Manar mengatakan, “Sungguh sangat sulit bagi akal untuk mempersepsi seorang mukmin yang tunduk kepada agama Allah dan meyakini bahwa Kitab-Nya yang mewajibkan suatu hukum baginya, namun ia mengubahnya dengan suka rela, menggantinya dengan hukum lain dengan keinginannya sendiri lantaran sikap berpaling darinya dan lebih mengutamakan hukum lain. Meski demikian, ia mengaku sebagai orang mukmin dan muslim.”
“Tampaknya, dalam kondisi seperti ini, di bawah pemerintahan seperti ini, umat Islam wajib komit untuk menumbangkan aturan yang dibuat pemerintah yang bertentangan dengan hukum Allah; tidak cukup dengan membiarkan pemerintah tanpa membantu dan mengawasinya. Kalau mereka tidak mampu, maka negara tersebut tampaknya tidak bisa dianggap sebagai negara Islam.”
Islam Utuh, Tak Terbagi-Bagi
Islam tidak bisa diambil secara terbagi-bagi dan terpisah-pisah, melainkan harus diterapkan secara keseluruhan. Karena penerapan Islam secara terbagi-bagi dan terpisah-pisah itu justeru mencoreng wajah agama Allah yang diturunkan untuk membahagiakan manusia. Ahkan, manusia tidak merasakan kebahagiaan yang hakiki kecuali jika Islam mendominasi seluruh aspek kehidupan.
Mengenai hal ini Ustadz Al-Banna rahimahullah mengatakan, “Demikianlah Al-Ikhwan bersentuhan dengan Kitab Allah, mengambil pemahaman dan petunjuk darinya, lalu mereka meyakini bahwa Islam adalah makna yang universal dan komprehensif. Ia harus mendominasi setiap urusan kehidupan dan mewarnai keseluruhannya. Seluruh kehidupan harus dijalankan sesuai hukumnya. Kehidupan harus sejalan dengan kaidah dan ajarannya, selama umat ini ingin menjadi umat muslim dengan keislaman yang benar. Tetapi jika umat ini berislam dari segi ibadahnya saja, lalu meniru umat non-muslim dalam urusan kehidupan yang lain, maka umat ini disebut umat yang kurang Islam, mirip dengan yang difirmankan Allah, “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al-Baqarah [2]: 85)
Pemerintahan Sekuler tidak Berkompeten Penerapan Islam
Pemerintah yang tidak memahami syari’at Islam, tidak berinteraksi dengan-Nya, tidak merespon perintah-perintahnya itu tidak memiliki kompetensi untuk menerapkan Islam. Bagaimana seseorang memberi sesuatu, sedangkan ia tidak memilikinya?
Ustadz Al-Banna rahimahullah mengatakan, “Sungguh mengherankan jika komunisme mendapatkan negara yang mengajarkannya dan memperjuangkannya. Tetapi tidak ada pemerintahan Islami yang menjalankan kewajiban dakwah kepada Islam, padahal Islam memiliki segudang kebaikan dan mampu memberi bangsa-bangsa lain sebuah tatanan dunia yang mengandung solusi yang tepat, jelas dan menentangkan bagi setiap problematika umat Islam. Tetapi, darimana kita memperoleh pemerintahan seperti ini, sedangkan mereka semua terdidik oleh orang asing, membela pemikiran mereka, mengikuti langkah mereka dan berlomba untuk mencari simpati mereka.
Barangkali tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa konsep kebebasan dalam bertindak dan mengelola harta benda itu tidak terpikir dalam otak mereka, alih-alih menjadi acuan perbuatan mereka. Suatu kaum yang diri, keluarga serta urusan pribadi dan umum telah nihil dari ajaran-ajaran Islam itu benar-benar tidak mampu menularkan Islam kepada orang lain dan mengajak orang kepadanya. Bagaimana mau memberi sesuatu, sedangkan ia tidak memilikinya? Ini bukan tugas mereka, wahai Ikhwan! Berbagai pengalaman telah membuktikan ketidak-mampuan mereka secara mutlak untuk menjalankan tugas tersebut. Ini adalah tugas generasi baru!”
Pengalaman negara Sudan dan negara lain tidak jauh dari kita, ketika An-Numairi menyatakan Sudan sebagai negara Islam dan ia akan menerapkan Islam dan menjalankan hukum pidana Islam. Beberapa saat sebelumnya, ia menolak penerapan Islam dan menghalalkan darah orang yang berusaha menerapkan Islam. Bahkan ia telah membunuh puluhan ribu da‘i karena mereka menuntut penerapan syari’at Islam. Beberapa tahun sebelumnya, kejadian serupa berlangsung di Jazirah Abau dan selainnya.
Ketika Dr. At-Turabi terlibat dalam pemerintahan Sudan bersama sejumlah Ikhwan, mereka mendapati bahwa jalan tersebut bukan jalan terbaik, sesudah mereka menghabiskan usia dan tenaga dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya mereka menentang demokrasi dan meninggalkan pemerintahan. Mereka pun mengadopsi penyelesaian militeristik, dengan mendukung Umar Al-Basyir, padahal dia seorang militan. Ia berkuasa dengan cara yang tidak demokratis menurut istilah orang-orang termakan pemikiran Barat.
Dahulu orang-orang mukmin pernah menawari Rasulullah Saw. kekuasaan dan kekayaan, namun beliau menolaknya. Karena ini bukan cara yang bersih untuk menerapkan syari’at. satu-satunya cara adalah dengan mengoreksi persepsi akidah masyarakat dan menyebarkan akidah di tengah masyarakat. Apabila mereka merespon iman, maka mereka akan merespon perintah-perintah Allah, sehingga mereka pun menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah. Pada akhirnya, akhlak Islami dan nilai-nilai keimanan mewarnai kehidupan mereka.
Imam Hasan Al-Banna memiliki pandangan yang sangat tajam saat ia mengatakan,
“Setelah itu kami menginginkan adanya pemerintahan muslim yang menuntut bangsa ini ke masjid dan mengarahkan manusia kepada hidayah Islam. Sebagaimana para sahabat Rasulullah Saw. seperti Abu Bakar dan Umar dahulu mengarahkan umat ke masjid. Karena itu, kami tidak mengakui suatu sistem pemerintah dan tidak pula formalitas yang besifat taklid, yang dipaksakan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam pada kita untuk mengikutinya. Kami akan berusaha menghidupkan sistem pemerintahan yang Islami dalam setiap aspeknya dan membentuk pemerintah yang Islami di atas fondasi sistem tersebut.”
*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.
DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.
Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.