Oleh: DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris*
AL-QUR’AN MENGAJARKAN PERUBAHAN
Allah ‘Azza wa Jalla berbicara kepada kita tentang perubahan dalam dua surat, yaitu surat Al-Anfal dan Ar-Ra’d. Di dalam surat Al-Anfal Allah berfirman:
“Demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 53)
Dan di dalam surat Ar-Ra’d Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)
Kaidah-Kaidah Perubahan:
Kedua ayat mulia tersebut mengandung beberapa kaidah penting dalam mengadakan perubahan, yaitu:
Kaidah pertama:
Perubahan merupakan hukum general yang meliputi semua jenis dan ras manusia, baik mukmin atau kafir. Hal itu ditunjukkan dengan kata قَوْمٌ yang berbentuk nakirah (indefinitif). Kata ini termasuk kata mutlak dan ia tetap bermakna mutlak selama Syari’ tidak membatasinya dengan suatu sifat seperti iman dan selainnya.
Karena itu, maknanya tetap mencakup setiap kelompok, organisasi, masyarakat, atau negara, tanpa memandang agamanya. Ia juga mencakup setiap ruang danw aktu. Hal itu karena lafazh tersebut mencakup setiap masyarakat di masa lalu, masa kini dan masa depan, sebagaimana ia mencakup setiap negara di dunia.
Jadi, Allah telah menetapkan berbagai sunnah dalam kehidupan dan meletakkan faktor penyebab dan undang-undang di alam semesta dan kehidupan insani. Sunnah, faktor penyebab dan undang-undang ini menimbulkan akibat-akibatnya dan mendatangkan buahnya berdasarkan pengaruh dari Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Allah telah menganjurkan umat manusia ini untuk mencari faktor penyebab, undang-undang dan hukum, supaya mereka dapat mengikuti petunjuknya dan berbuat menurutnya, agar mereka memperoleh buahnya. Allah menundukkan faktor penyebab, undang-undang dan hukum itu untuk kebahagiaan manusia dan untuk melayaninya di dunia.
Bekerja adalah sarana untuk mencari rezki. Tidak ada yang bisa dilakukan manusia selain serius dan bersungguh-sungguh dalam mencari rezkinya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan potensinya. Baik rezki itu bersifat materi atau immateri, atau kedua-duanya.
Petani membajak tanah dan menabur benih, kemudian ia menunggu rezki dari Rabb. Seandainya ada seseorang berdiam diri di rumahnya tanpa mengerahkan tenaga sedikit pun untuk bercocok tanam, lalu ia mengira bahwa rezkinya akan datang dari pertanian, padahal ia tidak membajak, tidak menabur benih dan tidak memupuk tanah, maak dia akan kecewa dan tertinggal dari bahtera kehidupan insani. Bahkan ia dianggap berdosa karena menolak melakukan sebab, sunnah dan undang-undang.
Demikian pula para da‘i yang mencita-citakan perubahan itu harus mengerahkan segenap tenaga dan mencurahkan segenap potensi, ide, harta benda, jiwa dan hal-hal yang berharga untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka canangkan.
Kaidah kedua:
Perubahan yang berdampak dan dituntut dalam konsep Islam adalah perubahan kolektif yang mencakup mayoritas lingkungan sosial. Adapun perubahan individual bukan yang dimaksud di sini. Karena terkadang satu individu dapat mengubah dirinya dengan memperbaiki hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hubungannya dengan orang lain.
Tetapi, perubahan ini tidak menghasilkan perubahan umum. Dan terkadang beberapa individu di tengah masyarakat berhasil mengubah diri mereka dengan memperbaiki diri dan memperat hubungan mereka dengan Allah, Rabb mereka, tetapi perubahan ini tidak cukup untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh, fundamental dan mencakup semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, moral, hukum dan lain-lain.
Kaidah ini tersimpulkan dari kata قَوْمٌ pada ayat di atas. Karena kata ini berarti sekumpulan manusia, baik laki-laki atau perempuan.
Kaidah ketiga:
Perubahan itu ada kalanya positif dan ada kalanya negatif. Karena perubahan itu berarti beralih dari satu kondisi ke kondisi lain dan berpindah dari seti tempat ke tempat lain. Dengan demikian, ada kalannya perubahan diri itu bersifat positif, yaitu perubahan dari jelek menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik, sehingga hasilnya pun positif.
Dan ada kalanya perubahan itu bersifat negatif, dimana manusia mengubah diri dari lebih baik menjadi baik, sehingga hasilnya adalah baik dan terkadang manusia mengubah diri dari baik menjadi jelek, sehingga kondisi mereka menjadi jelek.
Kami menyimpulkan kaidah ini dari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)
Jadi, seperti yang kita tahu, perubahan adalah peralihan dari satu kondisi ke kondisi lain, dari satu tatanan ke tatanan lain, dari sati sifat ke sifat lain, baik positif atau negatif.
Bukti-Bukti Empirik
Kaidah-kaidah ini memiliki bukti-bukti empirik yang dari kehidupan berbagai bangsa dan masyarakat di sepanjang zaman, dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda, baik di masa lalu atau masa kini, baik yang mukmin atau yang kafir.
Bukti empirik pertama mengenai ayat yang berbicara tentang perubahan dalam surat Al-Anfal adalah yang terkait dengan suatu kaum yang kafir, yaitu kaumnya Fir’aun dan generasi sebelum mereka.
Ketika mereka mengubah kondisi mereka menjadi tidak menyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah pada mereka dan membalasnya dengan sikap keras kepala, maka Allah menghukum mereka dengan menghentikan turunnya nikmat pada mereka dan menghancurkan apa yang dibuat oleh Fir’an dan kaumnya.
Tetapi, penulis akan mengambil dua bukti empirik yang terjadi setelah kenabian Muhammad Saw.
Bukti empirik pertama:
Bukti empirik ini kembali kepada empat belas abad silam, ketika bangsa Arab terdiri dari kabilah-kabilah yang bersengketa. Satu kabilah menyerang kabilah lain, menawan kaum perempuan dan keluarga, serta membunuh kaum laki-laki atau menawannya.
Bangsa Arab waktu itu berada dalam kondisi terbelakang dan jatuh dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Apabila jika mereka dibandingkan dengan negara Persia dan Romawi di semua bidang. Dalam bidang politik, ada sebagian bangsa Arab tunduk kepada Persia dan sebagian yang lain tunduk kepada Romawi.
Dalam bidang sosial, tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup telah mewarnai mayoritas kabilah. Penyakit sosial seperti perzinahan dan pernikahan istibdha’ (hanya untuk seksual) telah mewabah.
Perempuan dianggap sebagai benda yang bisa diperebutkan kerabat laki-lakinya, meskipun mereka adalah anaknya. Siapa yang lebih dahulu menaruh mantelnya di atas tubuh perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka perempuan itu menjadi miliknya.
Ia bebas menikahinya meskipun ia adalah mantan istri bapaknya, atau menikahkannya dengan laki-laki lain dan mengambil maharnya.
Di bidang ekonomi, riba telah menjadi praktik umum. Padahal riba itu dapat mengakibatkan kekayaan terpusat pada segelintir orang, sedangkan mayoritasnya dalam keadaan miskin. Mereka menjadi korban ketamakan rentener dan perilakunya yang tak manusiawi. Karena debitur dapat menarik harta benda kreditur jika tidak sanggup melunasi hutangnya.
Apabila kabilah-kabilah Arab atau sebagiannya mengalami kelaparan, maka mereka keluar untuk merampok Persia dan Romawi. Dan di bidang akhlak dan ibadah, di zaman itu Allah memandang seluruh penduduk bumi dengan pandangan murka, kecuali sebagian kecil dari Ahli Kitab.
Dalam bidang peradaban, baik pemikiran atau materi, bangsa Arab tidak memiliki pemikiran cemerlang yang dapat mereka persembahkan kepada umat manusia, sebuah inovasi atau penemuan ilmiah.
Mereka adalah bangsa yang illateral. Sedemikian jauh peradaban mereka tertinggal hingga satu individu tidak dapat membedakan antara masjid dan kamar mandi. Saat itu banyak orang yang berdiri tanpa malu dan sungkan untuk kencing di dalam masjid.
Keterbelakangan dan kemunduran ini dapat Anda temukan buktinya dari kesaksian orang-orang yang pernah mengalami masa jahiliyah seperti Ja’far bin Abu Thalib ketika berbicara kepada raja Najasyi. Ia berkata, “Raja, dahulu kami adalah kaum jahiliyah yang menyembah berhala, makan bangkai, melakukan perbuatan mesum, memutus silaturahim dan berbuat jahat kepada tetangga.”
Juga seperti kesaksian ‘Aisyah RA ketika menggambarkan pernikahan di masa jahiliyah, bahwa ia memiliki empat macam; tiga di antaranya merupakan bentuk-bentuk zina. Pertama, nikah istibdha’, yaitu ketika seorang suami melihat kebangsawanan pada diri orang lain, lalu suami tersebut mengirimkan istrinya agar disetubuhi orang itu.
Jika istrinya melahirkan seorang anak, maka nasabnya dikaitkan dengan suami. Seperti seseorang yang mengirimkan kuda betinanya kepada kuda jantan tetangganya agar keturunannya menjadi unggul. Kedua, nikah rahthun, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki layaknya seperti suami.
Jika perempuan itu melahirkan seorang anak, maka ia memanggil semua laki-laki yang menggaulinya. Semuanya harus datang. Lalu perempuan itu menasabkan anaknya kepada salah seorang laki-laki tersebut.
Ketiga, nikah rayat, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki layaknya seperti suami. Jika perempuan itu melahirkan anak, maka ia memanggil semua laki-laki itu dan memanggil seorang juru sidik nasab, lalu anak itu dinasabkan kepada salah seorang di antara mereka menurut kemiripan antara anak dengan laki-laki tersebut.
Rasulullah Saw. diutus saat bangsa Arab dalam kondisi terbelakang, jatuh dan bejat seperti ini. Lalu Rasulullah Saw. berbicara kepada mereka tentang agama ini, mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan tunduk kepada-Nya dengan mengesakan-Nya, patuh dan taat kepada-Nya dan meninggalkan syirik. Lalu mereka beriman kepada Rasulullah Saw., mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya dan berjuang bersamanya. Karena itu, Allah pun mengubah keadaan mereka dan mengentaskan mereka dari kubangan syahwat dan tempat sampah menuju puncak kejayaan yang tinggi. Allah memindah mereka dengan peralihan yang jauh dan cepat. Mereka pun menjadi pemimpin umat manusia yang membawa pelita hidayah. Semua orang mencari simpati mereka dan berambisi untuk mendapatkan kedudukan di hadapan mereka.
Dahulu mereka mati, lalu Allah menghidupkan mereka di segala bidang kemanusiaan. Allah berfirman,
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (QS Al-An’am [6]: 122)
Mereka telah menyinari hati dengan iman, memakmurkan jiwa dengan tauhid, membahagiakan banyak orang dengan agama ini selama berabad-abad. Hal itu berlangsung hingga permulaan abad 20 Masehi, atau pertengahan abad 14 Hijriah. Ketika mereka telah mengubah dan mengganti, meninggalkan Kitab Rabb mereka, membuangnya ke belakang punggung, ketika moral jahiliyah telah mewabah di tengah mereka, ketika mereka menerapkan hukum yang tidak diridhai Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang shalih. Lalu, apa yang terjadi sesudah itu? Kondisi mereka memberi Anda jawaban yang sebenarnya, seperti yang Anda lihat dan dengar.
Keterbelakangan dan kemunduran itulah jawabannya. Mereka kembali berada di ekor kafilah. Mereka mengharapkan kemuliaan dari musuh-musuh mereka. Satu kelompok loyal ke Timur dan kelompok lain loyal ke Barat.
Sungguh, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah kepada diri mereka sendiri.
Umat Islam pernah mengubah diri dari jelek menjadi baik di masa lalu, lalu Allah mengubah kondisi mereka menjadi baik. Sesudah itu, mereka mengubah diri dari yang terbaik menjadi yang terjelek, lalu Allah pun mengubah kondisi mereka menjadi jelek. Perubahan pada dua kondisi itu telah terjadi di masa lalu dan masa sekarang, positif dan negatifnya, sehingga buahnya pun dipetik.
Bukti empirik kedua dari masa kini:
Sejarah menuturkan kepada kita bahwa Amerika dahulu adalah salah satu wilayah jajahan Inggris. Emperium Inggris saat itu tidak sudah mencapai puncak kejayaannya. Tetapi ketika bangsa Amerika bertekad untuk merdeka dan mengubah mental terjajah dan inferior dalam diri mereka, maka Allah pun mengubah keadaan mereka. Akhirnya mereka memperoleh kemerdekaan. Bangsa Amerika terus menaiki tangga perubahan sampai menjadi salah satu negara terbesar di dunia, jika memang bukan yang terbesar. Setelah itu Inggris menjadi pengikut Amerika. Banyak negara dunia yang mencari simpati Amerika dan berusaha memperoleh kedudukan yang baik di mata Amerika, terlebih negara tempat kita tinggal ini.
Penulis berharap pembaca tidak keliru memahami bahwa penulis sedang memuji Amerika dan mencela Inggris. Karena masing-masing adalah negara kafir yang memusuhi Islam. Kami tidak menaruh rasa cinta atau hormat kepada keduanya. Sebaliknya, kami membencinya sebagaimana kami membenci setiap negara kafir. Kami memiliki perhitungan sendiri dengan mereka pada saat kami telah mengubah apa yang ada dalam diri kami.
Yang penulis maksud hanyalah mengajukan bukti empiris mengenai kaidah-kaidah perubahan. Karena orang kafir pund apat mengubah keadaannya menjadi lebih baik sehingga keadaan pun menjadi baik dan mengubahnya menjadi lebih jelek sehingga keadaannya menjadi jelek. Ini merupakan hukum umum yang mencakup semua manusia.(bersambung)
*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.
DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.
Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.