Untuk menjelaskan masalah ini, saya akan merujuk pada beberapa kutipan dari kitab karya al-Buthy tentang masalah madzhab, termasuk perkataan para ulama mujtahidin dari para salaf rahimahumullah yang disebutkan di dalamnya, dan perkataan Imam Haan al-Banna rahimahullah.
Ungkapan al-Buthy:
1. Sesungguhnya orang yang bertaqlid pada salah satu madzhab, tidak mengharuskannya secara syari’at untuk mengikuti imamnya terus menerus. Juga tidak melarangnya untuk berpindah dari pendapat imam madzhabnya kepada pendapat selainnya.
Kaum muslimin telah sepakat bahwa seseorang bebas bertaqlid pada siapa saja dari para mujtahidin bila ia telah sampai pada haikkat madzhab pendapat mereka. Misalnya, ia diperbolehkan meniru setiap hari satu orang imam dari imam yang empat.
Bila pada suatu masa, ada orang yang melarang perpindahan seseorang dari satu madzhab ke madzhab yang lain, sikap itu merupakan ta’ashub atau fanatik buta yang secara ijma’ kaum muslimin telah menolaknya.
Setiap orang yang meneliti masalah ini mengetahui, bahwa tidak ada perselisihan dalam hal tersebut. Dan yang perlu ditegaskan bahwa penjelasan ini bukan seruan agar seseorang sama sekali tidak terikat dengan salah satu mazhab tertentu, dan bukan anjuran agar ia selalu berubah-ubah dalam mengikuti madzhab.
Tidak adanya kewajiban untuk iltizam (berpegang) pada suatu madzhab, tidak berarti larangan untuk beriltizam kepadanya.
2. Bila seseorang telah memahami suatu masalah dan mendalami dalil-dalilnya lewat al-Qur’an, sunnah dan prinsip-prinsip ijtihad, maka ia harus menerapkan hal tersebut dalam mengambil pendapat imam madzhabnya.
Dia tidak boleh bertaqlid kepadanya selama ia masih mungkin melakukan ijtihad di dalamnya sebatas kemampuan ilmiyah yang dimilikinya. Para ulama dan imam madzhab seluruhnya telah sepakat dalam hal ini.
Tentu saja konsekuensinya, ia tidak boleh menguatkan pendapat imamnya di atas hasil ijtihadnya sendiri, dalam masalah yang telah ia kaji dan dalami pemahaman dalil serta prinsip-prinsipnya.
Dalam masalah ini, juga tidak ada perselisihan. Dan ini tidak berarti menganjurkan seorang muqallid yang jahil terhadap dalil-dalil hukum untuk tidak bertaqlid kemudian bersandar langsung terhadap nash al- Qur’an dan sunnah.
3. Kapan seseorang wajib tidak bertaqlid kepada madzhab dan imamnya?
Ada dua kondisi di mana seseorang harus melepas diri dari mengikuti dan bertaqlid pada imamnya:
Pertama, bila seseorang telah mendalami satu masalah hingga dalam taraf penguasaan dan penelitian dari segenap dalil-dalilnya dan mengetahui metode pengambilan istimbath (kesimpulan) hukum dari dalil-dalil tersebut. Maka baginya harus mengikuti hasil ijtihadnya dalam masalah tersebut.
Ia tidak boleh mengekang kemampuan ilmiyahnya untuk terus berjalan di belakang imamnya. Bila kemampuan ilmiyahnya ini bisa diterapkan lebih banyak dari satu masalah, maka hukumnya sama, bahwa ia harus mendahulukan hasil ijtihadnya.
Kedua, bila seseorang mendapati sebuah hadits yang berlawanan dari pendapat imam madzhab yang ia ikuti. Kemudian ia telah meyakini keshahihan hadits dan kelayakannya menjadi dalil dalam hukum. Maka baginya harus mengikuti petunjuk hadits dan melepas keterikatannya dengan madzhab imamnya dalam hukum masalah tersebut.
Sebab sesungguhnya seluruh imam madzhab yang empat mewasiatkan pengikut dan murid mereka untuk pindah pada petunjuk hadits yang shahih bila ternyata berlainan dengan hasil ijtihad mereka. Maka, berpindah mengikuti hadits pada hakikatnya merupakan inti madzhab imam yang empat. ltulah prinsip mereka secara bersama yang senantiasa mereka anut.
Meskipun demikian, hal ini mutlak memerlukan beberapa syarat yang perlu diketahui dan dijaga. Tidak dipahami bahwa seluruh hadits yang diperoleh oleh seorang peneliti dan isinya berlawanan dengan hasil ijtihad imamnya, menjadi petunjuk asasi terhadap apa yang dipahami peneliti itu terhadap hadits.
Untuk meninggalkan pendapat seorang imam melalui pemahaman zahir terhadap makna hadits harus dilandasi sebab-sebab ijtihad yang banyak.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah memaparkan sepuluh buah syarat untuk hal tersebut, di samping beberapa sebab lainnya. Salah satunya disebutkan, bahwa seorang alim boleh jadi memiliki alasan meninggalkan penerapan suatu hadits yang kita belum tahu alasan tersebut. Sesungguhnya wawasan ilmu itu luas.
Bila kita telah mempelajari latar belakang seorang imam mujtahid meninggalkan makna zahir suatu hadits, dan kita telah memenuhi semua sebab dari sepuluh sebab yang disebutkan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, maka selanjutnya kita tidak boleh meninggalkan petunjuk hadits shahih dengan alasan bahwa mungkin saja seorang imam memiliki uzur dan alasan yang belum kita ketahui. Sebab hal itu berarti kita lebih mengikuti kesalahan ulama dari pada mengikuti dalil-dalil syar’i setelah kita mengetahui, memeriksa, dan memahami maksudnya.
Ungkapan Ustadz Hasan Al-Banna rahimahullah tentang Manhaj Aqidah dan Fiqh Akhkam, serta Sikap Praktis Beliau:
- Al-Qur ‘anul Karim dan sunnah yang suci merupakan rujukan setiap muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam. Seorang muslim memahami al-Qur’an sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tanpa berlebihan, tanpa penyimpangan, dan merujuk pada pemahaman sunnah yang suci pada tokoh hadits yang dipercaya.
- Semua orang dapat diambil perkataannya atau ditinggal, kecuali yang ma’shum (terlindung dari kesalahan) yakni Nabi saw. Semua perkataan para salaf ridhwanullahi’alaihim yang sesuai dengan Kitabullah dan sunnah kita terima, dan bila tidak sesuai, maka Kitabullah dan sunnah lebih utama untuk diikuti. Akan tetapi kami tidak akan melontarkan tuduhan atau menghina pribadi-pribadi atas masalah yang diperselisihkan. Kami serahkan mereka pada niat mereka. Yang jelas, mereka telah memberi apayang telah mereka lakukan.
- Setiap muslim yang belum mampu meneliti dalil-dalil hukum far’iyyah (cabang), hendaknya ia mengikuti salah seorang imam madzhab. Dan diharapkan bersamaan dengan mengikutinya, baik sekali bila ia berupaya sebatas kemampuannya untuk mengetahui dalil, dan menerima semua arahan disertai dengan dalilnya. Bila dalil itu benar menurutnya, baru ia membenarkan isi arahan tersebut. Dan hendaknya, ia terus berupaya menyempurnakan kekurangan wawasan ilmunya, bila ia adalah seorang yang memiliki kecenderungan pada ilmu, sampai ia mencapai derajat mampu meneliti dalil.
- Perselisihan fiqih dalam masalah far’iyat tidak menjadi sebab perpecahan dalam agama. Dan tidak menimbulkan permusuhan. Setiap mujtahid memperoleh balasannya. Tidak dilarang untuk melakukan penelitian ilmiah yang bersih dalam masalah-masalah khilafiyah dengan dinaungi kecintaan pada Allah swt dan ruh saling tolong menolong dalam upaya mencapai hakikat, tanpa mendorong sikap riya yang tercela dan ta’ashub.
Tanpa perlu diberi komentar, jelaslah metode yang baik dalam mengambil istimbat dari Kitabullah dan sunnah. Metode yang ditempuh harakah Ikhwan dalam hal ini, juga telah dijelaskan oleh Muhammad Fathy Utsman dalam kitabya "As-Salafiyah fi al-Mujtama’at al-Mu’ashirah, Manhajiyatu al-Ustadz Hasan al-Banna min Khilal Mudzakkiratihi" (Salafiyah di Era Masyarakat Modern, Manhaj Ustadz Hasan al-Banna dalam Memorandumnya).
(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)