Kami mendapati Ikhwan meletakkan perhatian demikian besar dalam membangun aqidah pada diri anggotanya. Hingga manusia bebas dari penghambaan selain Allah. Sehingga jiwa para lelaki, wanita, dan anak-anak mereka, setiap waktu siang dan malam selalu menyerukan tidak ada ketundukan mutlak kecuali kepada Allah, tidak ada taat kepada makhluk dalam berma’shiat kepada al-Khaliq, tidak ada takut kecuali kepada Allah swt., dan tidak ada keutamaan kecuali dari sisi Allah swt.
“Katakanlah, “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu..” (QS. Al-An’am: 164)
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan padamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan padamul maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-An’am: 17)
“Katakanlah, “Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan…’ (QS. al-An’am: 14)
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya. Dan mereka mempertakuti kamu dengan (sembahan-sembahan) selain Allah…?" (QS. az-Zumar: 36)
Permusuhan antara thagut dan aqidah Islamiyah merupakan sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Karenanya, penguasa diktatorlah yang paling sensitif merasakan bahaya aqidah ini, disebabkan kediktatorannya. Ibrahim ‘alaihissalam dipanggil oleh Namrud dengan kesombongan kekuasaannya. Kemudian terjadi dialog antara Ibrahim dan raja sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berakta, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari Barat.’ Lalu heran dan terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (QS. al-Baqarah: 258)
Raja dikalahkan ketika Ibrahim memasukkan aqidah Islam dalam dialog. Ia kehilangan akal dan tak tersisa dalam benaknya kecuali rasa khawatir dan takut. Akhirnya, ia perintahkan untuk membakar pejuang aqidah ini, dengan harapan agar aqidahnya turut terbakar bersama Ibrahim ‘alaihissalam, dan seterusnya ia dapat merasa tenang tanpa ada hambatan yang menghalangi kediktatorannya.
"Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah tidak mampu memberikan rizki kepadamu, maka mintalah rizki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan." (QS. al-Ankabut: l7)
"Maka tidak ada jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan, "Bunuhlah atau bakarlah dia," lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman." (QS. al- Angkabut: 24-25)
Demikianlah sisi perhatian Ikhwan terhadap aqidah secara umum. Adapun dalam masalah manhaj, Ikhwan tidak keluar dari apa yang dilakukan salafushalih radhiallahu’anhum:
Yang Terkait dengan Masalah Bid’ah
Dalam prinsip ke sebelas, Syaikh Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan: "Semua bid’ah dalam agama Allah yang tidak mempunyai landasan, tapi hanya dianggap baik oleh manusia dengan hawa nafsu mereka, baik dalam hal menambah atau mengurangi ajaran Islam, adalah sesat yang wajib diperangi dan dilenyapkan dengan cara yang paling baik serta tidak justeru menimbulkan keburukan yang lebih besar dari sebelumnya."
Perang terhadap bid’ah telah dijelaskan landasan umumnya oleh Sa’id Hawwa rahimahullah: "Bid’ah yang telah disepakati para fuqaha atas keharamannnya adalah sesatu yang harus diperangi dan dilenyapkan. Akan tetapi, kita mempunyai landasan umum syari’at yang harus dipelihara, yaitu: Upaya merubah suatu kemungkaran bila mengakibatkan munculnya kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang pertama, maka harus mencari cara lain untuk merubahnya atau bahkan diam."
"Karena itu, Ibnu Taimiyyah rahimahullah tidak mengizinkan murid-muridnya melarang pasukan Tatar meminum minuman keras. Sebab bila mereka mabuk, dan tertidur, berarti kejahatan mereka akan lebih sedikit terhadap kaum muslimin. Tapi bila mereka sadar, dan tidak mempunyai kesibukan, mereka akan merampas harta benda kaum muslimin atau membunuh mereka.
Manhaj Ikhwan Terhadap Asma dan Sifat
Ustadz Hasan al-Banna menegaskan manhaj tersebut: Pertama, bahwa asma Allah dan sifat-sifat-Nya adalah tauqifiyah (di luar arena ijtihad). Beliau mengatakan:
"Ketahuilah bahwa mayoritas kaum muslimin sepakat bahwa tidak dibenarkan menyebutkan nama dan sifat atas Allah swt. yang tidak disebutkan secara syara’. Meskipun nama tersebut dianggap mengandung kesempurnaan.
"Tidak dibenarkan seseorang mengatakan ‘Insinyur Alam yang mahaagung’, atau "Direktur Utama seluruh makhluq" dan sebagainya. Asma dan sifat Allah harus berdasarkan istilah yang disebutkan oleh-Nya. Akan tetapi bila perkataan disebutkan untuk tujuan menjelaskan sifat Allah dan mendekatkan pemahaman, itu dibolehkan. Meskipun yang lebih utama adalah tidak melakukannya, disebabkan penghormatan kepada Allah swt. "
Kedua, Tentang kelompok-kelompok dalam masalah asma dan sifat-sifat Allah, Syaikh al-Banna menyebutkan: “Dalam hal ini, manusia terbagi dalam empat kelompok:
Kelompok pertama.
Kelompok yang memahaminya secara tekstual apa adanya, dan menisbatkan wajah Allah pada penggambaran wajah sebagaimana ciptaan-Nya, tangan sebagaimana tangan mereka, tertawa sebagaimana tertawanya mereka, dan seterusnya, hingga menganggap Tuhan sebagai seorang tua, dan ada pula yang menggambarkannya sebagai pemuda. Mereka, kelompok mujassimah (paham menjasadkan) dan musyabbihah (penyerupaan), sama sekali keluar dari aqidah Islam. Perkataan mereka sedikitpun tidak mengandung kebenaran.
Kesesatan mereka cukup dijelaskan oleh firman Allah swt. : "Tidak ada yang menyerupainya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. asy-Syuraa: 11)
“Katakanlah: “Allah itu Esa. Allah tempat meminta. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak sesuatupun yang menyerupai- Nya.” (QS. al-Ikhlash: 1-3)
Kelompok Kedua.
Kelompok yang meniadakan arti lafadz-lafadz tersebut, dengan maksud menafikan petunjuknya secara mutlak dari Allah swt. Bagi mereka, Allah swt. tidak berkata-kata, tidak mendengar, tidak melihat dan sebagainya. Karena hal itu tak mungkin terjadi kecuali dilakukan oleh anggota tubuh Allah. Dan Allah swt. pasti tidak memiliki anggota tubuh. Karena alasan tersebut, mereka mengingkari sifat -sifat Allah swt., dan menampakkan kesucian-Nya.
Mereka adalah kelompok mu’atthilah (paham meniadakan), sebagian ulama tarikh menyebut mereka sebagai Kelompok Jahmiyah. Saya tidak mengira seseorang menerima logika perkataan yang simpang siur ini.
Kedua kelompok di atas adalah sesat, tidak ada gunanya untuk diperhatikan. Di hadapan kita tinggal tersisa dua pendapat yang menjadi perhatian para ulama aqidah sekaligus keduanya merupakan pendapat para salaf (ulama terdahulu) dan khalaf (belakangan)."
Singkatnya, setelah menyebutkan dua pendapat tersebut, al-Banna mengatakan: "Kami yakin, bahwa pendapat salaf terhadap asma dan sifat Allah swt., baik sukut (tanpa komentar), ataupun tafwidh (menyerahkan hakikat artinya kepada Allah), adalah lebih benar dan lebih utama diikuti, untuk mencegah unsur-unsur ta’wil dan ta’thil. Bila Anda termasuk orang yang dikaruniai ketenangan iman, dan sejuknya keyakinan. Janganlah anda rela mengambil altematif lain selain hal ini."
Sebagai tambahan apa yang kami kemukakan tentang perkataan Imam Hasan al-Banna rahimahullah kami sebutkan pula teks perkataan Ustadz Umar Tilmisani rahimahullah dalam masalah ini.
Beliau mengatakan: "Ikhwanul Muslimin mengakui, Allah swt. menjadikan jin dan manusia supaya mengabdi kepada-Nya. Ibadah inilah yang menghantarkan mereka mengenal keagungan, ketinggian dan kekuasaan Allah swt. Dan berakhir pada ujung perjalanan dengan taubat dan kembali memohon ampunan kepada-Nya.
"Dan Aku tidak jadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”’ (QS. adz-Dzariyat: 56)
“Karena sesungguhnya Dia-lah Yang Awal dan Akhir, Dzahir dan Bathin, segalanya berjalan atas kehendak-Nya. Semua perkara dikembalikan kepada-Nya. Kami lebih mencintai-Nya dari harta-anak-anak dan diri kami sendiri, dengan hati ikhlas dan ridha. Kami senantiasa berada dalam wilayah-Nya supaya senantiasa inngat. Pikiran dan hati tenang dan tentram. Jiwa kami berbahagia, bergembira, dan ridha kepada-Nya."
“Katakanlah, "Hanya dengan berdzikir kepada Allah sajalah hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28)
Dengan berdzikir kepada-Nya, Ikhwanul Muslimin mengenali Allah. Mereka juga senantiasa bertaubat dalam setiap kesempatan. Dikatakan kepada Ibnu Abbas ra.: "Dengan apa anda mengenal Rabb-mu?"
Beliau menjawab: "Barangsiapa mencari agamanya dengan "qiyas" sepanjang masanya, ia akan selalu berada dalam kesamaran, dijalan yang bengkok dan akhimya keluar dari manhaj yang lurus. Aku mengenal Dia tentang diri-Nya menurut apa yang Dia sifatkan tentang diri-Nya."
Demikianlah apa yang diyakini oleh Ikhwanul Muslimin, sebanding lurus dengan keyakinan para salaf."
“Salafiyahnya Ikhwanul Muslimin nampak jelas dalam ma’rifat mereka terhadap kebenaran. Mereka membicarakan, mempertahankan, membela dan berkorban untuk kebenaran. Kaidah perdebatan dilakukan menurut pendekatan para salafushalih adalah dengan hikmah.
Cara demikian lebih baik karena lebih mendekatkan kepada fikiran manusia dan menarik jiwa mereka untuk menghampiri kebenaran. Selain itu, hal tersebut akan mendorong mereka taat setia kepada Allah swt. Demikianlah cara dan gaya salafushalih mengenal Allah."
"Tinggi rendahnya martabat seorang muslim diukur berdasarkan taqwa. Ukuran harapanya kepada Allah swt. menurut tinggi rendahnya ma’rifat kepada Allah Yang Maha Agung. Sejauh mana iman dan keyakinan kepada Allah, maka sejauh itulah kesungguhan mereka dalam melaksanakan taat beribadah."
‘Maha Agung nama Rabb-mu yang mempunyai keagungan dan kemuliaan." (QS. ar-Rahman: 78)
"Manusia yang paling mengenal Allah swt. itulah yang paling cinta dan paling takut kepada Allah. "
Rasulullah saw. bersabda: "Ketaqwaanku telah ditimbang dibanding dengan ummat, Lalu timbanganku lebih berat, kemudian ditimbanglah Abu Bakar, timbangannya lebih berat, kemudian ditimbanglan Umar dan timbangannyapun lebih berat. Setelah itu timbangan diangkat."
Rasulullah s.a.w bersabda, "Demi Allah sesungguhnya akulah yang lebih takut kepada Allah daripada, kalian dan akulah yang paling taqwa kepada-Nya dari kalian."
Sebagai salafiyun, Ikhwanul Muslimin beriman dengan asma’ul husna sebagaimana adanya. Beriman dengan sifat-sifat tersebut dalam al-Qur’an tanpa ta’wil. Mereka tidak menyamakan Allah swt. dengan sesuatu sebagaimana golongan mujassimin yang berpendapat bahwa Allah swt. mempunyai tangan dan mata seperti tangan dan mata kita. Maha suci Allah dari yang demikian.
"Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia dan Dia-Iah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. asy-Syu’ara: 11)
"Kami berpendapat, Dia bertahta di atas Arsy sebagaimana yang dikatakan Imam Malik: "Bertahta Itu ma’qui (dipahami), dan caranya majhul (tidak diketahui), beriman kepadanya adalah wajib dan mempersoalkannya adalah bid’ah.
Kami salafiyyun dalam hal kerohanian dan tingkah laku kami. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar yang maknanya:
"Akulah Allah. Tidak ada ilah selain Aku. Raja segala raja. Hati dan ubun para raja ada di tangan-Ku. Maka barang siapa yang taat kepada-Ku, Aku jadikan segenap hati para raja tumbuh rasa rahmat terhadap dirinya. Adapun yang berma’shiat kepada-Ku, akan Kujadikan siksa terhadap dirinya. Maka janganlah kalian susahkan diri dengan sebab raja-raja itu. Tetapi taubat dan taatlah kepada-Ku, supaya Aku jadikan mereka belas kasihan terhadap kalian."
Kalaulah organisasi yang telah ditindas dan dizalimi Jamal Abbdul Nashir ini membalas, tentu akan menghabiskan waktu dan sibuk untuk mengutuk pemimpin Mesir yang zalim. Namun, Ikhwanul Muslimin tidak memperdulikan itu semua dan menutupinya. Mereka menghadap Allah, memohon ampun, bertasih dan bertahmid. Semua itu dipahami sebagai ujian. Karena mereka berpegang teguh terhadap agama Allah.
“Dan mereka menyiksa orang-orang mu’min itu melainkan karena meraka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha T erpuji.” (QS. al-Buruj: 8)
Ikhwan menyerahkan orang zalim itu kepada Allah swt. Karena Dia saja yang berkuasa membela agama-Nya. Dia pasti membinasakan yang zalim dan durjana itu. Demikianlah yang dilakukan oleh salafushalih terhadap orang-orang ying menganggu dan menyiksa mereka.
Seorang hamba Allah mengadu kepada salafusalih: “Sesungguhnya si fulan memakimu.” Lalu salafushalih itu hanya menjawab: “Aku harus marah kepada yang mengajarimu (syaitan). Pergilah dari sini. Semoga Allah mengampuni kita bersama."
Kami salafiyyun, karena kami taat kepada Nabi Muhammad saw. Kami tidak sama dengan orang yang mengatakan, "Kami hanya taat kepada Nabi Muhammad saw. dalam ibadah. Masalah mu’amalat dan hukum terserah situasi, perubahan masa dan tempat yang mempengaruhinya."
Kami taat kepada Muhammad saw. dalam segenap urusan. Baik urusan dunia maupun agama kami. Allah swt. memerintahkan kami taat kepada Rasul saw. dengan taat mutlak tanpa syarat. Selagi perintah dalam al-Qur’an datang sebagai perintah mutlak maka tidak boleh diikat.
Demikianlah para pakar ilmu ‘ushul. Pandangan merekalah yang lebih utama didengar. Bukan golongan berpendidikan yang mengutamakan akal semata. Taraf mereka lebih rendah dianding taraf ulama ushul yang pakar itu. Ilmu kepahaman, kecerdikan, kekuatan hujjah, ketaqwaan dan keikhlasannya jauh ketinggalan dari ulama-ulama ushul yang pakar.
Sesungguhnya Allah memerintahkan kita taat kepada Rasulullah saw. dalam berpuluh-puluh ayat al-Qur’anul Karim."
"Barangsiapa yang menta’ati Rasul sesungguhnya ia mentaati Allah." (QS. an-Nisa: 80)
“Apa yang dibawa Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7)
"Sesungguhnya ada pada diri Ras ulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (QS. al-Ahzab: 21)
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya." (QS. an-Nisa: 59)
Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nyal maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya” (QS. at-Taubah: 24)
Dan masih banyak ayat-ayat yang lain. Dari ayat-ayat di atas jelas akan hak Rasulullah saw. untuk dita’ati, karena Allah swt. berfirman,
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (QS. an-Najm: 3-4)
Bukankah yang demikian itu sikap salafiyyun? Sesungguhnya Ikhwanul Muslimin, sebagaimana salafiyyun, mereka bermu’amalah, berdagang, berhati-hati, memelihara diri dari bahaya, dan menempuh sebab-sebab sebagai bukti keta’atan kepada perintah Allah swt. Sama sekali bukan karena mereka percaya bahwa sebab-sebab itu yang akan melindungi mereka. Tapi mereka menjadikan sebab-sebab itu sebagai sarana memenuhi hajat mereka.
Seorang salafushalih berkata: "Sesungguhnya cenderung meyakini sebab-sebab adalah syirik dalam tauhid. Sedangkan mengingkari sebab-sebab sebagai sesuatu yang harus dilakukan adalah bukti kekurangan akal. Dan menolak sama sekali sebab-sebab berarti menghujat syari’at.
Tawakkal seorang hamba, do’anya, permintaannya, dan harapannya wajib diarahkan kepada Allah swt semata. Allah membagi untuknya berbagai sebab, di samping do’a kepada-Nya, dan yang lainnya apa yang Dia kehendaki.
Atas dasar inilah Ikhwanul Muslimin berjalan.
Pemahaman fiqh, perdebatan, dan permasalahan ibadah dalam dunia Islam dikuasai oleh tiga aliran. Dan di bawah masing-masing aliran tersebut terdapat berbagai kelompok lagi.
Pertama: Pendukung ilmu kalam. Pemahaman mereka berkisar tentang ada dan tidak ada, perkara yakin dan tidak. Dari pembahasan itu, mereka ingin mencapai tashdiq (yakin) dan ilmu.
Kedua: Ahli tasawwuf. Mereka adalah ahli isyarat, kasyaf, istighrok dan fana. Bahasan mereka berkisar pada cinta, rindu, iradah, dan kehendak. Mereka hidup di alam kepatuhan kepada Allah dan berjalan menurut iradah, sebagaimana yang mereka sangkakan.
Ketiga: Ahli Iman. Mereka termasuk golongan pertengahan di antara dua golongan tersebut. Mereka merangkum antara realitas keyakinannya dengan disertai amal praktis. Menghimpun antara cinta dan kerinduan yang terasa kesannya dalam realitas sikap dengan ruh kecintaan kepada Allah dan rasul- Nya.
"Bila mereka mengakui kebenaran setiap apa yang datang dari Allah dan rasul-Nya, maka pengakuan mereka berdiri di atas kebenaran ilmu yang mereka miliki, lengkap dengan dalil naqli dan aqli. Hasilnya, mereka beramal bertolak dari ilmu. Bukan dari keraguan dan prasangka. Bila mereka mencintai, mereka mencintai lantaran perasaan yang benar dan keterangan nyata, bukan mengikuti hawa nafsu dan penyimpangan.
Pendapat golongan ketiga di atas adalah pendapat salafushalih, dan golongan orang yang mengikuti langkah mereka hingga masa sekarang. Kenyataannya Ikhwanul Muslimin berada di golongan ini.
Salafushalih ini dengan para pengikutnya, menepis kejernihan agama dari kekeruhan hawa dan kekeliruan pemikiran manusia. Mereka seluruhnya yakin bahwa Allah mengaruniakan akal kepada manusia, tidak lain untuk menghisab hamba-hamba-Nya, sesuai dengan kadar akal mereka.
Mereka menggunakan akal dalam memilih mana yang berguna dan mana yang berbahaya.
Dengan itu, semakin jelaslah jalan da’wah mereka ini. Pada waktu yang sama mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya secara total. Mereka mengutamakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala apa yang mereka cintai. Walau bagaimana kuatnya godaan hawa nafsu.
Mereka tidak memposisikan perintah-perintah Allah di bawah belenggu akal mereka, dalam hal menerima atau menolaknya. Akan tetapi setiap ungkapan dan tindak tanduk mereka tunduk kepada kalam Allah dan sabda Rasulullah.
Bila ada orang yang menganggap selain itu, silahkan saja. Kelak pemilik suatu pendapat, seluruhnya akan menanggung akibat pendapatnya di hadapan Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Adil. Adapun Ikhwanul Muslimin, mereka tetap salafiyyun.
Manusia setuju ataupun tidak setuju. Mereka tidak menjadikan hal tersebut dalam timbangan mereka. Yang penting bagi mereka adalah ridha Allah kepada mereka dan mereka memperoleh petunjuk ke jalan yang lurus.
Sekiranya setiap kumpulan manusia menghindar dari perdebatan dengan orang lain, dan berusaha terus menerus mencari ridha Allah semata, niscaya hapuslah bencana yang menimpa dunia ini disebabkan setiap orang mempertahankan pendapatnya. Baik yang benar maupun yang salah.
"Jikalau Rabb-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia itu ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu." (QS. Hud: 118-119)
(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)