Ikhwan dan Jihad
Ikhwan memandang bahwa jihad adalah kemestian dalam da ‘wah. Ikhwan meletakkan poin jihad pada rukun keempat dari arkan bai’at.
Berkata Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah: Jihad merupakan kewajiban yang terus berlaku hingga hari kiamat. lnilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw.: "Barang siapa yang meninggal dia belum berjihad, serta belum berniat untuk berjihad, maka ia mati secara j ahiliyah.”
Jihad paling rendah adalah pengingkaran hati, dan yang paling tinggi berperang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah jihad dengan lisan, pena, tangan, dan ucapan yang hak di hadapan penguasa durjana.
Da’wah tidak dapat hidup kecuali dengan jihad fi sabilillah dan harga mahal yang harus dipersembahkan untuk mendukungnya. Niscaya pahala besar akan diberikan kepada para aktivis da’wah.
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang se’benar- benarnya…” (QS. al-Hajj:78)
Sebab itu, syi’ar yang selalu dikumandangkan adalah “al-jihadu sabiluna jihad adalah jalan kami."
Prinsip jihad Ikhwan tidak hanya dalam bentuk ceramah, syi’ar, dan makalah yang membicarakannya, tapi teraktualisasi secara riil ketika di Palestina terbuka peluang untuk berperang.
Peperangan tersebut mencatat berbagai strategi dan pengalaman perang yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, yang telah tertulis dalam berjilid-jilid buku. Hendaknya jilid-jilid buku yang mencatat peristiwa ini dibaca oleh setiap muslim, untuk memberi pengaruh terhadap ruh dan kekuatan terhadap mereka. Agar mereka dapat meresapi makna izzah dan rasa bangga terhadap intima (penisbatan) mereka kepada ummat Islam.
Tapi sayangnya, buku-buku itu tidak terlalu mendapat perhatian dari ummat Islam. Berlainan sekali dengan sikap musuh-musuh kita yang justru mengkaji dan mempelajari seluruh isi buku-buku tersebut secara detail.
Cukuplah disini kita mengingat bagaimana spontanitas dan sambutan besar para Ikhwan dari seluruh penjuru dunia, saat Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah membuka kesempatan bagi mereka untuk bergabung dengan pasukan sukarelawan jihad di Palestina.
Salah satu syarat yang beliau tetapkan bagi calon mujahidin adalah ridha kedua orang tua mereka untuk turut dalam jihad.
Ikhwan dan Politik
Masalah ini telah memunculkan reaksi banyak pihak. Di antara mereka ada yang curiga, memunculkan gelar negatif, dan melontarkan tuduhan.
Terkait dengan masalah ini, ustadz Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan:
"Wahai ummat Islam, sesungguhnya kami menyeru kalian, dengan al-Qur’an dan sunnah di tangan kami, amal para salafushalih menjadi qudwah kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, kepada ajaran-ajaran Islam, hukum-hukum Islam, hidayah Islam. Bila kalian menganggap hal ini sebagai sikap yang berbau politik, maka itulah politik kami.
"Bila orang-orang yang menyeru kalian pada prinsip-prinsip ini disebut kaum politikus, berarti al-hamdulillah mungkin kamilah orang-orang yang banyak berkecimpung dalam politik. Sebutlah apa saja tentang sikap ini, sebutan-sebutan itu tidak berpengaruh negatif bagi kami hingga jelas apa makna sebutan itu dan tersingkap tujuannya."
"Wahai ummat Islam, berbagai sebutan dan nama tersebut hendaknya tidak menghalangi kalian dari hakikat, tujuan dan mutiara. Sesungguhnya yang dikehendaki Islam dalam politiknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami yang tidak ada gantinya. Karena itu, berpolitiklah, dan bawa ghirah kalian di atasnya. Kemuliaan ukhrawi menanti kalian."
"Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) al-Qur’an setelah beberapa waktu lagi." (QS. Shaad: 88)
Tentang Politik Kepartaian
Ustadz al-Banna rahimahullah mengatakan: "Adapun yang menyebut kami sebagai partai politik, maka kami tidak mendukung satu partai dan menyaingi selainnya. Kami tidak akan berubah haluan menjadi seperti itu dan tidak seorangpun yang dapat merubah atau merancukan prinsip kami dalam hal tersebut.
Yang dimaksud bahwa kami politikus, adalah kami menumpahkan perhatian terhadap kondisi ummat kami. Kami meyakini bahwa kekuatan secara legislatif merupakan bagian dari ajaran Islam yang sesuai dengan hukum-hukumnya.
Kebebasan politik adalah salah satu rukun dan kewajiban dalam Islam. Kami berusaha keras untuk dapat mewujudkan kebebasan dan meluruskan perangkat legislatif. Kami yakin ini bukan hal baru, tapi telah dikenal oleh setiap muslim yang mempelajari agama Islam secara benar.
Kami tidak memiliki persepsi tentang da’wah dan eksistensi kami kecuali demi mewujudkan sasaran itu. Dan kami tidak akan keluar sedikitpun dari da’wah kepada Islam. Islam tidak mencukupkan seorang muslim sebatas memberi nasihat dan petunjuk, tapi hingga dalam tahap perjuangan dan jihad.
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)
Islam adalah agama persatuan dalam segala hal. Islam adalah agama kelapangan hati, kebersihan jiwa, persaudaraan hakiki, ta’awun yang bersih antara manusia seluruhnya, terlebih dengan sesama ummat dan bangsa yang satu. Islam tidak menghendaki dan membenci sistem kepartaian.
Al-Qur’an mengatakan: "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah bercerai berai." (QS. Ali Imran: 103)
Rasulullah saw. bersabda: "Maukah kalian aku tunjukkan dengan amal yang lebih utama daripada shalat dan puasa?”
Mereka mengatakan: “Tentu saja ya Rasulullah.” Rasul bersabda: “Memperbaikl hubungan dengan sesama, sebab sesungguhnya kerusakan hubungan dalam hal ini adalah pencukur. Aku tidak mengatakan mencukur rambut, tapi mencukur agama.”
Di sini tentu patut disebutkan perbedaan antara sistem kepartaian -yang selalu mengangkat syi’ar perbedaan, pembagian kelompok dalam hal pendapat, dan orientasi- dengan kebebasan pendapat yang dibolehkan dan diperintahkan dalam Islam. Juga sikap menyaring permasalahan, pembahasan berbagai perkara dan perbedaan terhadap apa yang disodorkan guna menegakkan al-haq.
Sehingga bila al-haq telah jelas, ia akan menurunkan hikmah kepada seluruh masyarakat. Sama saja apakah dalam perwujudannya mengikut kepada mayoritas atau kesepakatan umum.
Dalam berbicara soal politik, patut pula ditegaskan bahwa kekuasaan bukan menjadi sasaran Ikhwan. Tujuan mereka adalah untuk mewujudkan sistem Islami. Kapanpun sistem ini wujud, dan siapapun orang yang mewujudkannya, Ikhwan siap menjadi prajurit dan pendukungnya.
Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan: "Ikhwan tak bermaksud merebut kekuasaan, bila di antara ummat terdapat orang yang siap memikul beban dan melakukan amanah ini, serta menerapkan sistem yang Islami dan Qur’ani. Maka Ikhwan siap menjadi prajurit, pendukung dan penolongnya."
(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)