Dalam pemikiran Hasan al-Banna rahimahullah jelas sekali bahwa kaum wanita muslimah memiliki peran yang sangat strategis. Peran tersebut memiliki pengaruh besar dalam pembentukan rijal [tokoh] dan ibu-ibu masa depan.
Merekalah yang menjadi pilar-pilar yang berfungsi menopang da’wah Islam, membentuk pribadi muslim, kemudian keluarga muslim, masyarakat muslim yang melahirkan sebuah sistem yang mempraktekkan syari’at Islam.
Ketika Hasan Al-Banna membuat fondasi awal daaru da’wah di Isma’iliyah, beliau membangun masjid dan dua buah sekolah. Pertama, sekolah khusus kaum pria yang dinamakan "Ma’had Hira Islami", dan kedua sekolah khusus wanita yang disebut "Madrasah Ummahatil Mu’minin".
Hasan al-Banna mencurahkan perhatian besar pada sekolah anak-anak wanita, sebab saat itu belum ada gagasan teori pengajaran bagi anak wanita. Beliau mencoba meletakkan manhaj Islam modern, yang menghimpun antara adab Islam yang mulia bagi anak wanita, kaum ibu dan para isteri, juga tuntutan zaman berupa ilmu secara teoritis dan praktis.
Pada saat da’wah telah mengakar di antara pemudi dan ibu-ibu muslimah di Cairo dan berbagai kota lainnya, Hasan al-Banna mengusulkan pembuatan kantor syu’bah untuk akhwat muslimat yang akan digunakan juga sebagai tempat belajar mereka, kantor untuk syu’bah Ikhwanul muslimin, sekaligus masjid-masjid yang akan mereka kelola.
Dalam hal ini, syu’bah akhwat dibiarkan mengurus sendiri aktivitas mereka, tanpa campur tangan Ikhwan. Kwantitas syu’bah akhwat berkembang pesat di Kairo dan berbagai kota, hingga mencapai kurang lebih seratus syu’bah.
Begitupun upaya keras Ustadz Hasan a1-Banna rahimahullah yang sebagian besar dalam mengarahkan para mahasiswa dan alumnus perguruan tinggi.
Dalam hai ini, al-Banna tak lupa memperhatikan kondisi para mahasiswi, alumnus puteri dan guru wanita. Beliau mempunyai jadwal pekanan pertemuan untuk memberi pengajaran kepada para akhwat yang selalu dipenuhi meskipun beliau dalam kondisi sakit.
Tujuan yang diinginkan Hasan al-Banna rahimahullah bergerak di lapangan ini adalah untuk mempersiapkan kader generasi dari para pemudi dan kaum wanita umumnya melalui pembekalan mereka dengan tarbiyah Islamiyah yang matang, di samping pengetahuan fiqih dan sejarah.
Ini dilakukan untuk memper siapkan terbentuknya keluarga Islam yang secara dominan dapat terbentuk lewat peran isteri shalihat, di samping peran suami.
Pihak istrilah yang menjadi penopang suami hingga para suami mampu menanggung beban da’wah Islam. Pihak istrilah yang berfungsi mendampingi peran da’wah suami. Dan pihak ibulah yang memelihara anak-anaknya untuk cinta pada kebaikan, serta membenci keburukan.
Tanpa peran ibu muslimah shalihah, dan isteri muslimah shalihah, mustahil bangunan ikhwan berdiri kokoh, betapapun kwalitas para rijalnya. Karena itu, Hasan al-Banna membangun da’wah di atas dua asas secara bersamaan. Di waktu kaum pemuda tumbuh menjadi dewasa, pada saat yang sama, tumbuh pula para pemudi menjadi kaum wanita dewasa, para akhwat dan para ibu.
Dua pilar yang seimbang.
Akan tetapi, disebabkan frekwensi berkumpul di hadapan para akhwat, tidak sama dengan frekwensi perkumpulan para Ikhwan, maka Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah menjadikan saat perkumpulannya di hadapan para akhwat lebih diarahkan dalam rangka tatsqif (perluasan wawasan keilmuan) dan tarbiyah, tidak dalam hal keorganisasian.
Meski demikian, Hasan al- Banna tidak melupakah peran para akhwat untuk ambil bagian dalam jabatan kepengurusan. Untuk hal ini, beliau sendiri melakukan kaderisasi dan pengawasan kepada para akhwat.
Uslub inilah salah satu uslub terpenting dalam menopang kesuksesan tanzhim wanita dalam tubuh Ikhwanul Muslimin. Da’wah Ikhwan lebih merupakan da’wah amaliyah, sehingga lebih mementingkan kerja atau praktek, dan tidak mengakui prestasi intelektual belaka.
Da’wah Ikhwan tidak membatasi kajian-kajian pengetahuan keislaman hanya sampai batas kajian semata. Da’wah Ikhwan adalah ladang praktek, di mana para anggotanya berpendapat bahwa merekalah orang yang paling pertama dituntut mempraktekkan apa yang mereka ketahui di ladang tersebut. Di dalam diri pertama kali, kemudian di rumah, ketika bekerja, di jalanan, dan di tempat-tempat pertemuan.
Para akhwat, setiap mereka memperoleh ilmu dari ajaran Islam, mereka langsung mendapati ladang prakteknya di rumah. Di sanalah mereka menerapkan ajaran-ajaran Islam tersebut atas diri, para suami, anak-anak dan keluarga.
Dari sinilah da’wah bertolak ke depan, tanpa hambatan yang berarti. Bila dua ekor kuda telah menarik sebuah pedati ke satu arah, niscaya ia akan berjalan mantap. Sebab analoginya, hambatan-hambatan perjalanan eksternal lebih mungkin diatasi daripada hambatan internal.
Hambatan internal dalam da’wah, ialah hambatan yang muncul dari dalam rumah, dari kalangan keluarga. Jika sebuah pedati ditarik oleh dua ekor kuda ke arah yang berbeda, mustahil anda akan sampai pada tujuan.
Jama’ah Ikhwan menolak sikap terhadap wanita yang berasal dari adat yang buruk, di mana kaum pria memenjarakan dan memingit kaum wanita di rumah, dan menggunakan mereka hanya untuk kepuasan dan urusan melahirkan anak.
Kaum wanita jadi tidak kenal dunianya kecuali dalam dua hal tersebut. Hal seperti itu terus berlangsung, sejak ia lahir ke dunia sampai ke liang kubur…!
Jama’ah memandang bahwa agama lslam sama sekali tak mengajarkan sikap itu. Yang wajib adalah agar kita berkasih sayang di atas agama Allah daripada memaksakan pendapat kolot dan rancu.
Jama’ah menekankan kepada masyarakat bahwa agama Islam tidak hanya diturunkan semata untuk kaum lelaki. Sehingga kaum wanita pun wajib terlibat dalam khidmat pada Islam, memberi saham sempuma dalam memperjuangkan kebaikan terhadap Islam dan generasinya.
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali Imran: 195)
Kemudian menyebutkan, meskipun pada prinsipnya kaum wanita mempunyai hak yang sama dengan kaum pria, bukan berarti Islam mengajak pada pemikiran feminisme yang menyamakan total antara pria dan wanita.
Akan tetapi, Islam memberikan hak kepada kedua jenis, sesuai dengan kondisi penciptaan, dan perbedaan persiapan. Bahwa yang dimaksud persamaan antara pria dan wanita adalah dalam hal agama, aqidah, pahala, balasan, hak-hak keluarga, mu’amalah harta dan menuntut ilmu.
Karena itu, Ikhwan menyediakan rubrik khusus wanita dalam majalah mereka dengan nama "al-Baitul Muslim". Inti pembahasan rubrik tersebut adalah masalah kewanitaan dalam Islam.
Islam telah memelihara, melindungi dan mengatur hak-hak wanita, setelah sebelumnya terkubur oleh gelombang feminisme yang dipropagandakan para pendukungnya, agar kaum wanita mengikuti tokoh-tokoh mereka di Eropa hingga mengembalikan wanita ke zaman jahiliyah.
(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)