Assalamualaikum wr. wb.
Ustadz Ahmad yang dirahmati Allah, 9 tahun yang lalu saya pernah bernadzar dalam hati, “Jika saya lulus dari test dan diterima di Perguruan Tinggi Negeri, maka saya akan memotong kambing.” Alhamdulillah akhirnya saya lulus dan diterima di PTN tersebut, tapi saya masih masih belum menunaikan nadzar tersebut.
Yang saya tanyakan adalah:
1. Apakah nadzar saya itu termasuk nadzar yang dibenarkan oleh syariat?
2. Apakah saya harus melaksanakan nadzar tersebut? Jika iya, sebaiknya saya serahkan/bagi ke mana kambing tersebut?
Jazakumullah khairon katsiron,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Selama isi materi yang dinadzarkan itu bersifat ibadah atau amal-amal yang mendatangkan kebaikan dan manfaat nyata serta tidak bertentangan dengan larangan-larangan agama, tentu saja nadzar itu sah dan wajib dilaksanakan. Sebagaimana sabda beliau SAW
من نذر أن يطيع الله فليطعه، ومن نذر أن يعصي الله فلا يعصه
Siapa yang nadzar untuk mentaati Allah, maka taatilah (laksanakanlah). Dan siapa yang nadzar untuk maksiat kepada Allah maka dilarang.
Misalnya ketika anda bernadzar untuk menyembelih seeokor kambing, tentunya niat anda agar daging kambing itu bisa bermanfaat buat orang lain untuk dimakan. Hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena menjadi sedekah anda buat mereka.
Namun kalau dalam hati anda niatnya untuk dijadikan persembahan kepada jin, roh, dukun atau ritual dari alam ghaib lainnya, tentu saja hukumnya haram. Selain syirik, praktek seperti itu melahirkan dosa besar, sehingga kalau nadzarnya seperti itu, hukumnya tidak boleh dilaksanakan.
Kalau anda bertanya tentang ke mana memberikan daging kambing itu, jawabnya tergantung yang terbetik di benak anda saat bernadzar. Kalau yang terbetik adalah memberi kepada fakir miskin, maka carilah fakir miskin. Boleh secara langsung anda mencari sendiri dengan menyusuri pemukiman kumuh pinggir kali misalnya, atau anda serahkan kepada lembaga yang secara khusus bisa dipercaya untuk menyampaikannya.
Tapi kalau nadzar anda hanya bersifat umum, tanpa ada kepastian untuk siapa, sebagian dari daging itu boleh anda hadiahkan kepada orang lain yang tidak termasuk ke dalam kategori fakir miskin. Namun alangkah baiknya bila pemberian itu tetap memprioritaskan orang-orang yang kelaparan dan sangat membutuhkan.
Hukum Melakukan Nadzar
Hukum nadzar sendiri merupakan perselisihan para ulama. Sebagian membolehkannya dan sebagian lainnya melarangnya. Dasarnya adalah karena nadzar itu menunjukkan bahwa seseorang itu pelit kepada Alah. Mau melakukan kebajikan hanya kalau Allah meluluskan hajatnya. Seolah-olah niatnya tidak ikhlas karena Allah, tapi karena ingin diluluskan hajatnya. Sehingga, menurut para ulama yang mendukung pendapat ini, sebaiknya seseorang tidak bernadzar.
Rasulullah SAW telah melarang untuk bernadzar dan bersabda:
Nadzar itu tidak menolak sesuatu. Sebenarnya apa yang dikeluarkan dengan nadzar itu adalah dari orang bakhil.
Lalu tindakan apa yang seharusnya dikerjakan bila memang kondisi kita sangat membutuhkan adanya campur tangan Allah secara langsung. Seperti dalam menghadapi penyakit kronis atau hal-hal gawat lainnya?
Para ulama menganjurkan bila seseorang sedang dalam keadaan genting, sebaiknya dia berdoa langsung kepada Allah untuk meminta dilepaskan dari beban dan diluluskan semua hajatnya. Yaitu dengan bertawassul lewat amal baik yang bernilai ibadah. Baik amal itu pernah dilakukan atau akan dilakukan.
Ada cerita menarik dalam salah satu hadits nabi di mana diceritakan ada tiga orang kakak beradik bepergian dan masuk ke dalam gua. Tiba-tiba tanah bergerak dan pintu gua tertutup timbunan. Tiga tenanga manusia tidak mungkin bisa membuka pintu tersebut. Lalu ketiganya hanya berharap kepada pertolongan Allah dan mulailah mereka berdoa. Masing berdoa dan bertawassul dengan menyebutkan amal kebajikan yang pernah dilakukannya. Dan akhirnya atas kehendak Allah, mereka bisa keluar dari pintu gua tersebut.
Atau bisa juga pada saat gawat dan genting, seseorang mengeluarkan sejumlah harta dan diberikan kepada fakir miskin atau anak yatim. Hal itu memang dianjurkan terutama ketika seseorang sedang mengalami musibah sakit. Atau mewakafkan sejumlah tanah untuk madrasah dan sebagainya.
Tawassul seperti ini jelas memiliki dasar yang kuat karena Allah SWT memang memerintahkannya dalam Al-Quran. Juga tidak seperti nadzar yang seolah-olah tawar menawar kepada Allah. Bila Allah beri maka saya beri tapi bila tidak diberi maka saya tidak akan memberi. Dari segi etika saja, jelas ini bukan etika yang baik dari seorang hamba kepada Rabb-Nya.
Sedangkan tawassul dengan amal-amal kebajikan berbeda dengan nadzar. Karena pada dasrnya kita berdoa dan menguatkan doa kita dengan wasilah tersebut. Bila Allah luluskan, alhamdulillah dan bila tidak atau belum, maka kita tetap berhusnuzzon kepada Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab, Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Ahmad Sarwat, Lc.