Assalamu’alaikum,
Yang dirahmati Allah, Ust. Ahmad Sarwat, Lc. Saya seorang mahasiswa dan pada kesempatan kali ini saya bermukim di luar negeri untuk menyelesaikan studi saya. Kebetulan saya berada di satu negeri yang muslim minoritas, sehingga permasalahan makan halal menjadi kendala saya.
Pertanyaan saya:
1. Apakah saya termasuk mengkonsumsi makanan yang tidak halal jika saya makan di tempat yang tidak jelas kehalalanya walaupun menu yang saya pilih tidak mengandung subsatansi haram (babi, alkohol dll.), sementara saya tidak mengetahui proses memasaknya apakah ada bahan tambahan yang sekiranya masuk kategori haram?
2. Pada satu kesempatan saya mengkonsumsi satu makan, dan ternyata belakangan baru saya tahu jika dalam makakan tersebut terkandung bahan yang dalam kategori haram, dalam hal ini apakah saya telah berdosa?
3. Bagaimakah sikap saya seharusnya agar bisa selamat dari hal makanan haram ini? Mohon masukannya.
Demikian ustadz permasalahan saya, mohon saya diberikan pencerahan atas kebimbangan saya ini. Jazakumullah khoiron katsiroo atas segala jawabannya.
Assalamu ‘alakum warahmatullahi wabarakatuh,
Adalah merupakan sebuah keutamaan bagi seorang muslim untuk selalu bersifat wara’, yaitu berhati-hati dalam menjaga diri agar jangan tercebur ke dalam hal-hal yang diharamkan Allah SWT.
Jangan sampai kita terlalu memudahkan masalah dan menganggap sepele, padahal masalah itu di sisi Allah SWT boleh jadi sangat besar. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيمٌ
… Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. An-Nur: 15)
Sifat wara’ ini merupakan sifat yang utama bagi seorang muslim dan merupakan jalan menuju menjadi orang yang berderajat muttaqin. Sebagaimana sabda nabi SAW:
– وعن عَطِيَّةَ بن عُروة السَّعْدِيِّ الصحابيِّ ، قَالَ: قَالَ رسولُ الله لاَ يَبْلُغُ الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ، حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأسٌ رواه الترمذي ، وقال حديث حسن
Dari ‘Athiyyah bin ‘Urwah As-Sa’diy berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seorang hamba tidak akan sampai sebagai bagian dari orang bertaqwa hingga dia meninggalkan hal-hal yang tidak haram, karena takut sesuatu yang tidak haram itu menjadi haram. (HR. Tirmizy dan beliau mengatakan hasan)
Demi mengamalkan kedua dalil di atas, maka bila ada seorang hamba yang sangat berhati-hati dalam masalah memakan makanan tertentu, lalu dia memilih untuk memasak dan mengolah sendiri semua makanan yang dikonsumsinya, jangan diejek dulu. Sebab sesuai dengan ijtihadnya, dia ingin bersikap hati-hati sesuai dengan suara hatinya.
Namun sampai di mana rasa kehati-hatian ini masih dianggap wajar? Apakah semua muslim yang tinggal di negeri minoritas Islam, harus memasak dan mengolah sendiri semua makanannya, dan meninggalkan semua jenis makanan yan tersedia? Dan benarkah rasa hati-hati ini boleh digeneralisir hingga merubah status hukumnya? Mari kita bahas masalah ini.
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Yang halal itu jelas, yang haram juga jelas, sedangkan di tengah-tengahnya ada hal-hal yang mutasyabihat, yaitu hal-hal yang hukumnya belum jelas. Orang kebanyakan tidak mengetahui hukumnya… (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini tegas sekali menyatakan bahwa ada hal-hal yang hukumnya tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang. Namun hadits ini juga menyiratkan pengertian bahwa tetap ada kalangan orang yang mengerti hukumnya dengan pasti.
Tapi siapakah yang mengetahuinya? Yang mengetahuinya adalah kalangan ahli syariah yang melakukan berbagai penyelidikan, upaya tak kenal lelah, serta proses penyelidikan kepada berbagai macam dalil yang ada. Mereka inilah yang mengetahui hukum di balik hal-hal yang syubhat di mata awam.
Mereka inilah yang menetapkan suatu makanan itu haram atau halal hukumnya. Tentu dengan menggunakan standar pengambilan keputusan hukum yang valid. Termasuk dalam melakukan penyelidikan dalam masalah makanan.
Namun karena jumlah makanan itu sangat banyak, dan tidak mungkin semuanya harus dijatuhkan hukumnya sebagai haram, hanya berdasaran asumsi dan dugaan, maka idealnya penyelidikan dimulai dari memeriksa makanan-makanan yang dianggap sangat berpotensi mengandung unsur yang haram. Hasilnya adalah sebuah kepastian hukum atas haramnya makanan tersebut.
Kalau sudah divonis haram, maka makanan itu haram untuk dikonsumsi. Sedangkan kalau belum dilakukan penyelidikan, hukumnya tidak bisa langsung dijatuhkan haram. Sebab tidak semua makanan yang dimakan oleh non muslim itu pasti semuanya haram. Dan kita pun akan jatuh kepada dosa manakala kita sampai menjatuhkan vonis haram kepada makanan-makanan yang pada dasarnya tidak haram.
Namun tidak salah bila seseorang dengan niat menjaga diri, tidak memakannya. Selama dia tidak memvonis bahwa makanan itu hukumnya langsung haram.
Menjaga diri dari kemungkinan jatuh kepada yang haram sangat berbeda dengan memvonis suatu makanan hukumnya haram.
Islam Agama yang Mudah
Kita tahu bahwa Islam adalah agama yang mudah, ringan dan tidak merupakan beban buat umatnya. Termasuk dalam masalah makanan. Dalam syariah Islam, kita diperintahkan untuk melakukan segala sesuatu berdasarkan dalil yang kuat, bukan dengan asumsi dan perasaaan.
Ketika kita shalat dan yang kita lihat secara pisik bahwa pakaian kita bersih, tempat shalatnya juga bersih, maka kita harus meyakini bahwa keduanya suci dan bersih. Kita diharamkan bersikap was-was yang berlebihan, seperti was-was kalau-kalau ada setitik najis pada pakaian kita atau tempat shalat yang tidak kita sadari. Sehingga kemudian malah menyusahkan kita sendiri.
Sikap berlebihan seperti ini justru dilarang dalam Islam. Sikap wara’ (berhati-hati) tidak bisa disamakan dengan sikap was-was dan ragu-ragu. Maka untuk membedakannya, ada kaidah yang berbunyi:
Nahnu nahkumu biz-zhowahir, wallahu yatawallas-sarair. Kita memutuskan hukum berdasarkan bentuk zahirnya, sedangkan masalah yang tersembunyi menjadi urusan Allah.
Keterkaitannya dengan hukum makanan di negeri minorita muslim, maka kita patut berhati-hati, tetapi juga tidak boleh was-was berlebihan. Sehingga malah menyusahkan diri sendiri. Kalau kita selalu curiga kepada orang lain, maka hidup ini akan semakin sempit, dan agama ini juga akan semakin menyulitkan.
Wallahu a’lam bishshwab, wassalamu ‘alakum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.