Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz, saya mau menanyakan tentang beberapa hal:
1.bagaimana hukumnya air liur manusia, apakah najis atau tidak dan cara mensucikannya bagaimana?
2. Apakah semua sholat yang tidak dilaksanakan (baik sengaja maupun tidak) wajib diganti? Bila wajib, waktu pelaksanaannya apakah sesuai waktu sholat masing – masing (ashar dilaksanakan waktu ashar dan sebagainya.)dan niatnya bagaimana?
Jazaakumullohu Khoiron Katsiiron.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Air liur atau sering disebut denganludah, secara hukumnya suci. Baik air liur manusia mapun hewan, kecuali air liur anjing. Air liur anjing hukumnya najis dengan dalil hadits nabawi berikut ini:
"Pensucian bejana seorang di antara kalian, jika terkena hirupan anjing adalah dicuci tujuh kali salah satunya dengan tanah" (HR Muslim). (HR Muslim).
"Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, " Jika anjing menjilat pada bejana seorang darimu maka buanglah (airnya) kemudian cucilah tujuh kali"
Adapun air liur manusia, tidak kita temukan dalil yang menunjukkannya sebagai benda najis. Jangankan air liur orang yang beragama Islam, bahkan air liur orang yang agamanya non Islam sekalipun tetap suci hukumnya.
Dahulu orang-orang kafir yang datang kepada Rasulullah SAW bercampur baur dengan umat Islam. Bahkan ada yang masuk ke dalam masjid. Namun Rasulullah SAW tidak pernah diriwayatkan memerintahkan untuk membersihkan bekas sisa orang kafir.
Juga ada hadits Abu Bakar berikut ini:
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian, lalu disodorkan sisanya itu kepada a`rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya, lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata, `Ke kanan dan ke kanan`. (HR Bukhari)
Kecuali bila orang kafir itu baru saja meminum khamar dan masih ada sisa-sisa khamar dari mulutnya, maka hukum ludah atau bekas air liur menjadi haram.
Adapun ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, sesungguhnya najis yang dimaksud dari ayat ini adalah najis secara maknawi, bukan hakiki. Seringkali orang salah mengerti dalam memahami ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis , maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 28)
Air Liur Muslim Tidak Najis
Sedangkan tidak najisnya air liur sesama muslim, kita dapati dalil yang mendasarinya adalah hadits berikut ini:
Dari Aisyah ra berkata, `Aku minum dalam keadaan haidh lalu aku sodorkan minumku itu kepada Rasulullah SAW. Beliau meletakkan mulutnya pada bekas mulutku. (HR Muslim 300)
Kewajiban Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan
Semua shalat yang ditinggalkan pada dasarnya wajib diganti. Baik ditinggalkan secara sengaja atau tidak. Kewajiban menggantinya adalah begitu seseorang sadar bahwa dia telah meninggalkan shalat.
Misalnya, orang yang tidak shalat karena lupa atau ketiduran, maka begitu ingat atau terjaga dari tidurnya, dia wajib segera shalat meski waktunya telah lewat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Orang yang terlewat shalatnya karena tidur atau terlupa, hendaklah segera shalat begitu terjaga/ ingat. Tidak ada kaffarah atasnya kecuali hanya melakukan shalat itu saja."(HR Bukhari dan Muslim).
Yang dimaksud dengan lafadz ‘tidak ada kaffarah atasnya’ adalah bahwa hukuman atas kelalaiannya itu adalah segera shalat saat itu juga. Setelah -tentunya- berwudhu’ terlebih dahulu.
Pesan yang kita tangkap dari hadits ini adalah bahwa diwajibkan untuk segera menebus atau mengqadha’ shalat yang telah terlewat secepatnya. Tidak boleh ditunda-tunda lagi.
Sedangkan niatnya biasa saja, yaitu kita akan melakukan shalat yang terluput sebagai qadha’. Niat itu adalah menyengaja di dalam hati dengan memastikan jenis shalat yang akan kita lakukan.
Sedangkan lafadznya, sama sekali bukan niat itu sendiri. Paru ulama yang menganjurkan at-talaffudz bin-niyah (melafadzkan niat) sepakat bulan bahwa lafadz itu bukan rukun shalat. Lafadz itu sekedar menguatkan niat, tetapi lafadz itu bukan niat.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc