Assalamu’alaikum wr. wb.
Pa ustad, di tempat saya bekerja sering diadakan rapat membahas program kerja dan lainya, dan di setiap rapat itu pula selalu ada makan siang untuk peserta rapat.
Yang saya tanyakan apakah makanan bermerk "hoka-hoka bento" halal? Karena hampir menu ini dijadikan menu favorit para pimpinan (bos) di setiap rapat. Buat saya sangat dilematis, satu sisi memang waktu makan dan tidak ada makanan lain, sisi lain saya khawatir kalo yang saya makan tidak jelas halal haramnya (tidak terdapat logo halal di box/ kemasan).
Mohon bantuan jawabannya pa ustadz.
Jazakallah khoiron katsiron
Wassalmu’alaikum wr. Wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam masalah ini ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan hukum fiqih. Kedua, pendekatan tasawuf.
1. Pendekatan Hukum Fiqih
Kalau kita menggunakan pendekatan hukum fiqih, maka status suatu makanan itu belum bisa berubah menjadi haram, kecuali ada ketetapan yang meyakinkan tentang keharamannya. Bila belum ada kepastian, maka hukumnya kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Sebab hukum segala sesuatu pada dasarnya halal, sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan: al-ashlu fil asy-ya’i al-ibahah. Selama kita tidak melihat secara pisik adanya indikasi keharaman atau kenajisan, atau belum dibuktikan lewat pengujian ilmiyah secara langsung, maka kita tidak boleh ‘main vonis’ secara general.
Kisah yang kita dapat dari masa nabi SAW justru menguatkan hal-hal seperti ini. Pernah beliau ditanya oleh para shahabat tentang kebolehan memakan daging pemberian suatu kaum. Para shahabat agak ragu tentang kehalalannya, persi seperti yang sedang anda alami sekarang ini. Maka beliau SAW memerintahkan untuk membaca basmalah sebelum memerintahkan untuk menyantapnya.
Kalau kita pahami dari kisah ini, seolah beliau SAW menghalalkan hal-hal yang sebelumnya telah diragukan oleh para shahabat. Namun sesuai dengan logika fiqih, keraguan itu tidak bisa atau belum bisa dijadikan alasan untuk mengubah status hukum.
Dalam kaidah fiqhiyah yang kita pelajari, ada disebutkan: al-yaqinu la yazuulu bisy-syakki. Suatu hukum yang telah ditetapkan berdasarkan sesuatu yang yakin, tidak bisa hilang hukumnya hanya karena sesuatu yang bersifat syak wasangka.
Maka makanan yang beredar di tengah umat Islam, meski tidak ada pengesahan dari suatu lembaga tertentu tentang kehalalannya, tidak bisa divonis hukumnya menjadi haram, tanpa ada penelitian khusus yang bisa meyakinkan munculya keharaman.
Pendekatan kedua, pendekatan tasawuf. Disebut dengan tasawuf maksudnya karena lebih menekankan sikap di dalam hati, berupa kehati-hatian dan wara’. Pendekatan ini jauh dari masalah hukum.
Adalah hak setiap muslim untuk menjaga diri dari hal-hal yang meragukan hatinya. Apabila seseorang kurang yakin atas kehalalan suatu makanan, meski tidak ada fatwa yang mengharamkannya, tidak mengapa bila dia tidak menyantap makanan itu, sebagai sebuah sikap wara’ (hati-hati) dari terkena kemungkinan jatuh kepada yang haram.
Di dalam dunia tasawuf, pendekatan ini sangat diutamakan, meski mereka pun sadar bahwa keraguan tidak bisa mengubah status hukum suatu hal. Sehingga, para pelaksana tasawuf memang tidak pernah mengharamkan sesuatu buat orang lain, kecuali hanya berlaku untuk diri sendiri. Dan sikap seperti ini pada batas-batas tertentu memang sangat dianjurkan.
Bila anda tertarik menggunakan pendekatan ini, silahkan tinggalkan makan makanan seperti itu. Misalnya, anda tetapkan hanya untuk diri anda sendiri bahwa semua makanan bermerek yang tidak ada label halalnya, tidak akan anda santap. Kalau anda tetapkan untuk diri sendiri karena berangkat dari sikap kehati-hatian, sungguh merupakan sebuah ibadah dengan nilai tersendiri.
Mengapa ibadah tersendiri? Sebab anda rela tidak makan dan menahan lapar, demi sekedar menjaga diri dari kemunkginan makan makanan yang anda kurang tahu hukumnya.Ketika anda direpotkan membawa nasi bungkus dari rumah, atau keluar cari warteg dengan biaya sendiri, tentu ada nilai tersendiri di sisi Allah.
Namun anda tidak punya hak dan otoritas untuk memaksakan sikap subjektif anda kepada orang lain, karena pendekatan anda hanyalah sebuah pendekatan pribadi yang bersifat kebersihan individual. Secara hukum fiqih, biar bagaimana pun tetap dibutuhkan penelitian ilmiyah secara langsung atas makanan tersebut, sampai bisa dikeluarkan fatwa keharamannya. Dan selama belum ada fatwa tentang keharamannya, kita tidak mungkin memvonisnya sebagai haram. Maka hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc