ass.wr. wb.
Ustazyangdi rahmati Allah.
saya ingin bertanya, saya bekerja dilingkungan non muslim, dan yang mengganjal di diri saya adalah, saya sering diundang pada acara-acara tertentu yang akhirnya disuguhi makanan. sering saya tidak datang, tapi kalau di gedung dan nasinya nasi box dari rumah makan padang, biasanya saya baru akan makan. Mereka selalu bilang, tenang bu.. ga ada babinya kok. sajianbabi di pisah sama ayam koq. ih.saya sudah bergidik mendengarnya. saya pernah baca, barang-barang yang pernah kena najis besar seperti anjing dan babi, jika belum disama’ tetap saja bernajis. Tidak hanya itu, saya juga bingung, menempatkan fikih atau akhlak toleransi, karena setiap hari teman dikantor sering bawa makanan yang dimasak dirumahnya (teman saya non-Islam), sering berbagai alasan saya tolak tetapi beberapa kali saya makan juga karena sungkan selalu menolak. Sepertinya saya tidak konsekuen, mereka tahu babi dan anjing haram buat kita muslim, tetapi apakah makanan yang mereka masak juga jadi haram semuanya. Mereka malah membuat kesimpulan, bahwa makanan yang dimasak oleh orang kristen adalah haram bagi orang Islam. bagaimana ustaz. tolong jelaskan.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau teman-teman non muslim anda menawarkan makanan kepada Anda, itu berarti mereka adalah kawan anda. Buktinya, mereka sampai mau berbagi dalam masalah makanan.
Dan yang namanya kawan pasti tidak mau menjerumuskan, atau tidak akan melecehkan diri anda. Termasuk tidak ingin menghalangi anda dari menjalankan agama anda dengan baik. Dan rasanya, hampir tidak ada orang non muslim yang tidak tahu, bahwa babi dan anjing itu hukumnya haram dimakan oleh muslim. Demikian juga dengan khamar.
Kita tidak boleh memperlaukan seorang non muslim seolah sebagai orang yang ingin menjerumuskan, menjebak atau menelikung kita. Memang ada kalangan non muslim yang demikian, namun tidak semuanya.
Wadah Makanan Bekas Najis
Yang anda khawatirkan barangkali kalau-kalau teman non muslim itu pernah memasak dan memakan makanan yang termasuk najis. Sebenarnya najis itu ada tiga macam, mulai dari yang ringan, sedang dan berat.
Najis yang ringan sering dicontohkan dengan air kencing bayi laki-laki yang belum minum atau makan apapun kecuali air susu ibunya. Di tengah-tengahnya ada najis sedang seperti darah, nanah, bangkai dan lainnya. Cara mensucikannya cukup dengan dicuci pakai air hingga hilang warna, rasa dan aroma najisnya.
Adapun najis yang terakhir adalah najis yang berat (mughalladzhah). Najis seperti ini memang tidak bisa menjadi suci hanya dengan dicuci pakai air saja. Sucinya dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan air.
Ritual ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW ketika menyebutkan cara mencuci wadah yang berisi air namun sempat diminum atau dimasuki moncong anjing.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila anjing minum dari wadah air milikmu, harus dicuci tujuh kali.(HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW bersabda, "Sucinya wadah minummu yang telah diminum anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.(HR Muslim dan Ahmad)
Oleh para ulama, ketentuan pensucian najis air liur anjing ini disamakan dengan pensucian babi yang keduanya dikelompokkan sebagai najis berat.
Maka bila kita mengacu kepada pengelompokan najis, piring milik saudara kita yang non muslim itu belum tentu semuanya harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Karena tidak selalu mereka memasak anjing atau babi.
Mungkin saja mereka hanya memakan bangkai hewan yang tidak disembelih sesuai dengan syariah. Hukumnya buka najis berat tapi najis sedang, jadi najisnya akan hilang saat piring-piring itu dicuci biasa.
Adapun bila kita hanya berpraduga secara umum, misalnya kita bilang, ‘jangan-jangan piring ini pernah digunakan untuk wadah daging anjing atau babi’, sebetulnya dugaan itu belum mengubah status hukum.
Karena sebuah status hukum itu harus didasarkan pada sesuatu yang nyata dan terbukti, tidak cukup hanya dengan dugaan. Kalau kita pernah lihat langsung, atau si non muslim itu jujur mengatakan bahwa piring itu pernah dipakai untuk wadah anjing atau babi, barulah saat itu status hukumnya menjadi pasti. Dan barulah saat itu kita diharamkan menggunakan piring itu sebelum kita sucikan sesuai syariah.
Namun selama kita masih menduga-duga, apalagi bahkan si pemilik piring pun menampik bahwa piring itu pernah digunakan untuk wadah anjing atau babi, maka status hukum piring itu masih sesuai asalnya, yaitu tidak najis. Atau minimal sesuai dengan keadaan pisik yang anda lihat, bersih dan suci.
Kita tidak akan dimintai pertanggung-jawaban dari Allah SWT atas segala hal yang di luar yang nyata di hadapan kita. Kalau secara lahiriyah piring itu suci, maka hukumnya suci. Seandainya diam-diam teman kita yang non muslim itu secara sengaja berbohong untuk menjebak kita, insya Allah kita terbebas dari dosa.
Kesimpulan jawaban ini bisa kita ringkas dalam sebuah kaidah: nahnu nahkumu didzdzhawahir wallahu yatawallas-sarair. Kita menetapkan hukum berdasarkan lahiriyah, sedangkan yang tersembunyi menjadi urusan Allah.
Wallahu a’lam bishshwab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc