Assalamualaikum, Ustadz, apakah boleh kita memakan makanan pemberian dari non muslim? Saya seorang akhwat, apakah boleh berjabat tangan dengan perempuan non muslim? Syukron jazakalloh.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Halal haramnya makanan tidak diukur dari siapa yang memberikan, melainkan dar itolok ukur yang sudah baku. Yang pertama adalah dari cara mendapatkannya, sedangkan yang kedua dari zatnya.
Dari cara mendapatkannya, suatu makanan bisa menjadi haram untuk dimakan. akan tetapi titik keharamannya bukan pada makanan itu, tetapi dari hukum cara mendapatkannya. Misalnya makanan yang dibeli dari uang hasil mencuri, korupsi, manipulasi, memeras, menipu, menyogok, membungakan uang dan seterusnya.
Dari keharaman zatnya, pada dasarnya semua makanan itu halal, kecuali yang namanya atau kriterianya disebutkan di dalam nash-nash suci, baik Al-Quran maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaitkan kehalalan makanan orang kafir (non muslim), selama tidak ada penyimpangan dari dua tolok ukur di atas, hukumnya adalah halal. Maka makanan pemberian non muslim, selama bukan dari hasil-hasil kejahatan di atas, hukumnya halal. Demikian juga, makanan pemberian orang kafir yang tidak disebutkan keharamannya secara tegas di dalam dua sumber hukum Islam, baik namanya atau pun kriterianya, hukumnya halal.
Di antara jenis makanan orang kafir yang diharamkan adalah daging hewan yang disembelih oleh mereka yang beragama selain Nasrani dan Yahudi. Sedangkan sembelihan Nasrani dan Yahudi hukumnya halal bagi umat Islam, meski tanpa menyebut nama Allah. Sebab kebanyakan ulama tidak menjadikan penyebutan nama Allah SWT sebagai syarat sahnya penyembelihan.
Juga hewan yang ketika disembelih, diniatkan untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh atau sesembahan lainnya. Misalnya hewan-hewan yang disembelih untuk sesajen makhluk halus, karena mengharapkan bantuannya. Atau syarat yang diberikan oleh dukun tertentu, sebagai penolak bala bencana dan sejenisnya.
Nampaknya halal haramnya jenis makanan yang terkait dengan makanan dari non muslim hanya seputar kedua hal ini saja. Yaitu bila disembelih oleh orang kafir selain ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) atau disembelih secara sengaja sebagai persembahan dewa atau berhala.
Selebihnya, halal haramnya makanan bersifat umum, tidak dipengaruhi apakah sumbernya dari orang kafir atau muslim.
Apakah Wanita Muslimah Diharamkan Berjabat Tangan dengan Wanita non Muslim?
Buat seorang wanita muslimah ketika bergaul dengan wanita kafir, yang diharamkan adalah terlihat sebagian auratnya, meski sesama wanita. Sebab kedudukan wanita kafir itu setara dengan laki-laki asing (ajnabi) yang bukan mahram. Di hadapan sesama wanita tapi bukan wanita muslimah, diharamkan untuk melepas kerudung atau jilbab. Sedangkan bila dengan sesama wanita muslimah, dibolehkan untuk terlihat sebagian aurat, seperti rambut, tangan dan kaki (aurat kecil).
Sedangkan masalah sentuhan dengan wanita kafir, tidak ada masalah. Karena mereka pada dasarnya juga perempuan. Dalam hal ini hukumnya tidak bisa disamakan dengan hukum melihat aurat.
Juga perlu diketahui bahwa sesungguhnya tubuh orang kafir itu tidak najis, tidak sebagaimana najisnya benda-benda. Maka sentuhan kulit antara muslim dengan non muslim tidaklah membatalkan wudhu’, juga tidak mengharuskan pencucian atau pensucian.
Adapun ayat Al-Quran yang menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, oleh para ahli tafsir disebutkan bahwa kenajisan yang dimaksud ayat itu bukanlah najis hakiki, melainkan najis hukmi.
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 28)
Najis hakiki adalah benda-benda yang kita kenal sebagai najis, seperti darah, nanah, kotoran, air kencing, bangkai dan lainnya. Sedangkan najis hukmi adalah kondisi seseorang yang sedang dalam keadaan janabah, di mana dia dilarang melakukan shalat, menyentuh mushaf, masuk masjid dan sejenisnya. Seolah-olah dia terkena najis, namun bukannajis secara hakiki melainkan secara hukmi.
Untuk mensucikan najis hakiki, dilakukan pencucian dengan air hingga hilang rasa, aroma dan warna. Sedangkan untuk menghiangkan najis hukmi, cukup dengan melakukan mandi janabah. Karena itulah ayat ini dijadikan oleh para ulama sebagai landasan kewajiban bagi orang kafir yang masuk Islam untuk mandi janabah.
Hal itu bisa kita lihat di dalam tafsir ayat ini pada kitab Jami’ li Ahkamil Quran (Tafsir Al-Qurthubi). Di dalam kitab itu disebutkan oleh Qatadah, Ma’mar bin Rasyid, Abu Tsaur dan Ahmad, bahwa orang yang masuk Islam diwajibkan untuk mandi janabah dengan ayat ini. Sedangkan As-Syafi’i tidak mewajibkan mandi janabah, beliau hanya menyunnahkan saja.
Jadi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir itu sama najisnya dengan kotoran manusia, darah, nanah, bangkai atau babi. Ayat ini tidak menyatakan kenajisan mereka secara hakiki, melainkan menegaskan kenajisan mereka secara hukmi, yaitu bahwa mereka dalam keadaan janabah yang mewajibkan mereka mandi janabah, bila masuk Islam. Juga menegaskan bahwa mereka diharamkan masuk ke tanah haram atau masjid Al-Haram di Makkah. Adapun bila masuk ke dalam masjid selain Al-Haram di Makkah, para ulama berbeda pendapat.
Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.