Assalamualaikum wr. wb.
Saya telah berkeluarga selama 4 tahun dan hingga saat ini belum dikaruniai anak. Belum lama ada orang yang menawarkan kepada kami untuk transfer janin dari rahim wanita lain dengan syarat seizin wanita yang hamil tersebut dan dengan usia kandungan di bawah 2 bulan. Katanya sih kalau masih di bawah 2 bulan, gen akan mengikuti orang tua yang baru.
Saya beserta suami sudah sepakat untuk tidak melakukannya. Namun keluarga besar menyarankan untuk mencobanya.
Yang ingin saya tanyakan:
Apakah hukumnya transfer janin dari seorang wanita hamil kepada wanita lain dengan izin wanita yang hamil tersebut? Apakah tidak dilarang dalam agama?
Terima kasih sebelumnya pak ustad.
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah yang anda tanyakan ini termasuk ke dalam bab fiqih kontemporer, sebuah kajian fiqih yang sedikit rumit, lantaran belum pernah terjadi di masa lampau. Sehingga para ulama di masa lalu tidak pernah menulisannya.
Untuk itu diperlukan ijtihad yang bersifat komprehensif, aktual serta tingkat kefaqihan yang mumpuni untuk menjawabnya. Untuk itu kami akan kutipkan saja dari para ulama kontemporer serta fatwa-fatwa dari Majelis Ulama, semoga bisa dijadikan sebagai referensi.
Transfer janin yang anda maksudnya itu sebenarnya merupakan tindakan yang bermasalah dari segi nasab anak tersebut. Mungkin sebagian gen-nya akan mengikuti gen wanita yang mengandungnya, namun bahan dasar janin itu tetaplah milik orang lain.
Sehingga dalam hal ini yang jadi masalah adalah masalah nasab anak tersebut. Sebab dalam hukum Islam telah jelas bahwa yang dimaksud dengan nasab seorang anak bukan semata-mata benih dari ayah dan ibu, namun termasuk juga oleh siapa anak itu dikandung dan dilahirkan.
Meski dimungkinkan secara teknologi bahkan telah lahir begitu banyak bayi lewat proses semacam ini, namun para ulama sepakat mengharamkanya. Misalnya dalam kasus bayi tabung di mana yang jadi masalah adalah nasab anak tersebut.
Fatwa Al-Azhar, Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, Syakh Sya’rawi dan lain-lain, bahwa bayi tabung dari suami isteri, dititip pada rahim perempuan lain, statusnya sama dengan anak hasil zina.
Kecuali proses bayi tabung yang tidak melibatkan pihak ketiga, hanya sekedar membutuhkan tabung untuk proses pembuahan awal, setelah itu zygot yang mulai tumbuh itu dikembalikan lagi ke rahim ibunya yang asli.
Dalam pertanyaan yang anda sampaikan, yang kami pahami dari transfer janin adalah anda hamil tanpa melalui proses hubungan suami isteri dengan suami, namun suami melakukannya dengan wanita lain, setelah terjadi pembuahan, maka janinnya dipindahkan ke rahim anda.
Cara ini termasuk cara yang diharamkan, karena benih anak itu bukan dari anda sebagai ibunya. Melainkan dari wanita lain. Bahkan meski wanita lain itu adalah isteri suami anda sendiri, misalnya sebagai isteri kedua. Memang ketika suami anda berhubungan dengan wanita itu hukumnya halal, karena wanita itu isterinya sendiri.
Namun ketika janin yang mulai terbentuk dipindahkan ke rahim anda, hukum anak itu tetap diharamkan oleh ulama, karena masalah kerancuan nasab. Dan dalam fatwanya tanggal 13 Juni 1979, Majelis Ulama Indonesia telah secara tegas melarangnya. Berikut adalah kutipannya pada nomor 2 (http://mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=78):
Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram beraasarkan kaidah Sadd az-zari’ah (), sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
Apalagi bila janin yang ditransfer ke rahim anda itu sama sekali bukan benih dari suami anda sendiri, tapi dari benih laki-laki lain, maka para ulama sedunia ini sepakat atas keharamannya. Masih dalam fatwa MUI yang sama disebutkan pada poin nomor 4 sebagai berikut:
Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Satunya-satunya yang halal hanyalah bila benih janin itu berasal dari benih anda dan suami anda, lalu dibuahi di laboratorium karena suatu alasan teknis, kemudian dikembalikan lagi ke dalam rahim anda. Sebgaimana juga telah dibenarkan oleh Fatwa MUI dalam fatwa nomor 1:
Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
Cara yang terakhir inipun masih sedikit dipermasalahkan oleh sebagian ulama, lantaran semua proses itu mengharuskan terbukanya aurat anda di hadapan para dokter yang bukan mahram. Yang jadi bahan perdebatan adalah tingkat kedaruratannya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.