Assalammu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz yang saya hormati, saya merasa perihatin akan mubaligh dan mubaligho yang sudah terkenal, kalau mau memanggil mereka untuk ceramah, honornya sangat mahal sekali sampai ada yang jutaan rupiah. Sehingga ada suatu panitia hari besar Islam yang donasi kecil sulit untuk memanggil penceramah tersebut, seolah-olah ada kesan semakin ustadz itu terkenal semakin mahal biaya untuk memanggilnya. Melalui rubrik ini saya memohon tanggap dari bapak ustadz. Atas perhatiannya saya mengucapkan banyak terima kasih.
Wassalammu’alaikum Wr. Wb.
Abetas (Tanah Abang )
Assalamu `alaikum warahmatullahi wabrakatuh
Memang sudah menjadi semacam tradisi di Indonesia bahwa para penceramah sering diberi honor begitu selesai berceramah. Sebenarnya wilayah ini agak abu-abu, tidak bisa langsung hantam kromo divonis haram dan juga tidak bisa dikatakan secara umum boleh. Perlu dilihat kasus dan kondisinya.
Dalam hukum Islam, seorang yang mengajarkan al-Quran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat memang berhak mendapatkan upah atas jasanya itu. Bahkan mengajarkan Al-Quran secara syar`i bisa dijadikan sebagai mas kawin dalam pernikahan. Jadi seorang guru atau ustaz yang telah berjuang di jalan Allah untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, pada dasarnya memang berhak untuk mendapatkan upah atas keringatnya itu.
Karena bila tidak, dari mana dia akan menghidupkan keluarganya yang merupakan kewajibannya. Sedangkan kalau mereka semua berhenti mengajar ilmu-ilmu Islam dan beralih profesi berdagang di pasar, maka siapa lagi yang akan mengajarkan dan mempertahankan agama ini. Karena itu, mereka berhak mendapatkan upah atas kerja mereka yang sangat berharga.
Masalahnya tinggal bagaimana teknisnya. Di negara-negara Islam, profesi ustaz, pengajar, bahkan imam dan muazzin di masjid itu ditanggung gajinya oleh negara. Dan negara mendapatkan dana itu dari Baitul Mal termasuk dari uang zakat. Mereka tidak langsung menerima upah dari murid atau orang yang mereka layani, sehingga tidak terkesan menjual ilmu dan doa.
Tapi di negeri non Islam, negara sama sekali tidak memikirkan hal itu, sehingga umat sendirilah yang harus memikirkannya. Dan sayangnya lagi, umat Islam di banyak tempat belum lagi memiliki Baitul Mal untuk menjamin kelangsungan hidup para ustaz dan lainnya. Yang terjadi justru mereka menyisihkan uang untuk dikumpulkan di kas masjid atau kas majelis taklim dan sebagian diberikan kepada ustaz yang mengajar.
Kalau masjid atau majelis taklim itu dikelola oleh sebuah instansi yang memiliki budget tersendiri yang memadai, bisa jadi ‘dana amplop’ untuk para ustaz menjadi lumayan besar untuk ukuran umum. Namun terkadang fenomena ini sering salah disikapi oleh mereka sendiri, karena tidak jarang ada sebagian mereka yang mulai membuat ‘peta’ dan klasifikasi. Kalau ceramah di kantor anu, maka amplopnya lebih tebal dari kalau ceramah di masjid kampung anu. Lalu muncul istilah wilayah ‘basah’ dan wilayah ‘kering’.
Lucunya lagi, terkadang ada semacam pentarifan nilai amplop di kalangan mereka. Kalau ustaz yang diundang itu lumayan ngetop, karena sering muncul di TV misalnya, maka amplopnya harus lebih besar, tapi kalau ustaznya ‘anonmim’, tidak terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya.
Terkadang ukurannya bukan lagi level ilmu dan kemampuannya, tetapi yang jadi ukuran adalah masalah ‘ngetop’ atau ‘tidak ngetop’. Dan bisa jadi ustaz itu malah dari kalangan mereka yang dari segi ilmunya sangat sedikit, tapi orang-orang terkadang tidak peduli dengan semua itu. Karena semangatnya mungkin bukan lagi menimba ilmu, tapi semangat popularitas, gengsi dan sejenisnya.
Misalnya, kalau suatu masjid bisa mendatangkan ustaz ‘X’ yang sedang ngetop, maka ‘gengsi’ pengurus majid itu akan naik. Walaupun untuk itu mereka harus merelakan harga amplop yang jutaan rupiah.
Memang para ustaz itu umumnya tidak pasang tarif, tetapi ada juga satu dua yang melakukan hal itu meski tidak secara langsung. Terutama yang sudah go public tadi, mereka bahkan menggunakan semacam ‘manager’ bak para artis mau diundang ke suatu pertunjukan. Nah, para ‘manager’ inilah yang menentukan nilai itu meski pun juga tidak sevulgar para selebriti.
Akhirnya jadilah profesi ustaz ini layaknya para artis yang ‘pasang tarif’ untuk ceramahnya, bermobil mewah, rumah megah, harta bertumpuk dan segenap kemewahan lainnya. Tentu saja prilaku ini merupakan hak masing-masing orang, karena pada dasarnya apa yang dimilikinya itu halal, karena bukan harta hasil curian. Semua itu merupakan jerih payah mereka juga.
Kalaupun ada yang perlu dikritisi, barangkali semangat kebersamaan dan kesederhanaan mereka, Karena mereka hidup di negeri yang mayoritas penduduknya sangat miskin dan hampir mati kelaparan. Seyogyanya penampilan mereka mencerminkan kesederhanaan dan keprihatinan juga. Karena harta yang banyak dan berlimpah itu pastilah juga akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak.
Tapi perlu dipahami bahwa fenomena itu tentu saja tidak bisa digeneralisir, bahwa setiap ustaz pasti berprilaku demikian. Masih banyak para utaz lain yang bersahaja, sederhana, rizqinya hanya ngepas buat makan saja, kemana-mana naik bus kota, hujan kehujanan dan panas kepanasan. Padahal bisa jadi ilmu yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustaz yang ber-BMW. Tapi semua kita kembalikan saja kepada Allah. Dan buat para ustaz yang sudah lumayan ‘gemuk’, mintalah fatwa kepada nurani anda sendiri. Karena nurani anda itu jauh lebih jujur dan lebih bisa anda dengar ketimbang mulut orang lain.
Wallahu a`lam bish-showab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.