Assalamualaikum wr, wb.
Yth. Bapak Ustadz.
Ada sesuatu yang meragukan pada diri saya yaitu hukum Melakukan Ibadah atau belajar Agama dalam waktu kerja. Contoh melakukan Sholat Dhuha dan taklim setiap selesai sholat Zhuhur maupun Ashar yang kalau dihitung setiap hari akan menggunakan jam kerja untuk hal tersebut 1 jam diluar waktu Sholat wajib.
Apakah termasuk korupsi waktu yang di maklumi atau tidak. Hal tersebut kami tanyakan karena ada teman yang mengatakan kalau hal itu secara rutin dilakukan walau dalam keadaan libur, maka diperbolehkan, tapi apabila libur tidak melakukan maka termasuk perbuatan curang atau tidak mau mengorbankan waktu pribadinya.
Atas penjelasannya diucapkan terima kasih
Wassalamualaikum wr, wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Shalat Dhuha’ hukumnya sunnah, boleh tidak dikerjakan. Sedangkan bekerja dengan amanah hukumnya wajib. Maka janganlah kita mengejar ibadah sunnah sambil meninggalkan yang wajib.
Kalau bisa dikompromikan, tentu akan lebih baik. Kita boleh shalat Dhuha’ di tengah kesibukan kita, asalkan tugas dan amanah telah beres dikerjakan. Biasanya, atasan yang bijaksana akan berpikir demikian.
Lagi pula yang namanya shalat Dhuha’ itu tidak harus dilakukan tiap hari. Kalau pun dilakukan, tidak harus lama. Tidak perlu baca surat Al-Baqarah di rakaat pertama dan surat Ali Imran di rakaat kedua.
Kalau mau shalat yang panjang, dengan surat yang panjangnya berjuz-juz, lakukan di waktu malam, yaitushalat Tahajjud. Silahkan lakukan sepuas-puasnya, terutama kalau besoknya libur. Tapi jangan shalat yang panjang di waktu Dhuha’, apalagi sampai harus korupsi waktu.
Itu namanya cari jarum kapak hilang.
Taklim di Kantor
Mengikuti taklim tidak mengenal tempat dan waktu, harus dilakukan kapan saja dan di mana saja, selagi ajal masih di kandung badan. Sebab hukumnya bukan sunnah tetapi wajib. Bukankah Rasulullah SAW sudah menegaskan sejak 14 abad yang lampau tentang kewajiban ini?
Menuntut ilmu hukumnya fardhu buat setiap muslim (HR Muttafaq ‘Alaihi)
Jadi kalau di kantor atau tempat kerja ada kesempatanuntuk mengikuti taklim atau menuntut ilmu agama, jangan sampai disia-siakan. Ambil peluang itu dan manfaatkan sebaik-baiknya. Sebab di mana dan kapan lagi kita akan belajar agama Islam?
Apalagi bila usia sudah tua, sudah masuk dunia kerja. Tentu nyaris tidak ada lagi waktu untuk belajar seperti umumnya mahasiswa. Juga mustahil masuk ke pesantren atau madrasah. Maka kalau pada kesempatan ba’da shalat Dzhuhur ada pengajian, kemudian tidak dimanfaatkan, sungguh sangat keterlaluan.
Jaga Amanah
TInggal masalahnya, memanfaatkan waktu istirahat untuk shalat dan mengikuti taklim harus diseimbangkan dengan amanah kerja di kantor. Kalau izin untuk istirahat hanya satu jam, semua itu harus bisa diisi makan, shalat dan mengaji, maka patuhilah dan bersikap disiplinlah.
Kita bisa atur ketiganya dengan cara yang profesional. Umpanya, shalat butuh waktu 10 menit, makan 10 menit, istirahat santai 10 menit, maka sisanya 30 menit bisa untuk ikut pengajian. Begitu jatahnya habis, tentu saja harus kembali bekerja.
Toh waktu untuk ikut pengajian yang cuma 30 menit itu sudah lebih dari cukup. Apalagi kalau jadwalnya bisa setiap hari, misalnya dari Senin sampai Kamis. Berarti dalam sepekan kita sudah belajar 4 sesi. Kalau setahun ada 52 minggu, maka dalam setahun kita sudah belajar agama sebanyak 208 sesi x 30 menit.
Jumlah jam terbang ini cukup baik, apalagi kalau semua materinya dibuat berurutan, ada kurikulumnya, ada satuan ajarnya, ada target-target pelajaran yang dibuat, bahkan kalau perlu ada buku pegangannya, dan juga ada ujiannya, maka sama saja dengan sebuah perkuliahan profesional.
Pengajian seperti itu sangat positif dan merupakan solusi dari keawaman kita atas ajaran Islam. Masalahnya terkadang kita sendiri yang kurang mampu memanfaatkan kesempatan secara efisien, profesional dan amanah.
Jadi belajarlah agama Islam dengan rajin, tapi tetaplah jaga amanah dan profesionalisme. Semoga Allah SWT menjadikan kita orang yang mendengar petunjuk dan bisa melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Amien
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc