Bahkan, ulama Hanbali membolehkan wanita haid yang darahnya sudah berhenti untuk berdiam diri di dalam masjid dengan syarat berwudu, karena alasan keharaman mengotori masjid sudah tidak ada.
Dalil yang digunakan kelompok kedua ini adalah qiyas, yakni menyamakan keharaman orang yang sedang haid dengan orang junub untuk mendekati tempat sholat (masjid), karena haid dianggap lebih berat daripada junub, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS An-Nisa’: 43)
Namun, argumen kelompok kedua ini disanggah Imam al-Mahalliy. Menurut beliau, yang dimaksud ayat di atas adalah larangan sholat kepada orang junub, bukan mendatangi tempat sholat (masjid). Sanggahan ini didukung beberapa riwayat hadits dan atsar para Sahabar.
Ketiga, pendapat Imam Dawud al-Dzahiri dan al-Muzani. Pendapat ini memperbolehkan perempuan yang Haid masuk ke dalam masjid secara mutlak. Pendapat ini berpijak pada hadis yang diriwayatkan dari Sayidah Aisyah, bahwa ada seorang perempuan yang berkulit hitam pernah menjadi budak sekelompok orang arab, lalu mereka memerdekakannya. Wanita itu kemudian datang kepada Rasulullah SAW dan masuk Islam.
Kemudian, dia memiliki tenda atau rumah kecil di dalam masjid. Dan pada biasanya perempuan normal pasti mengeluarkan haid dan Rasulullah tetap membiarkan perempuan tersebut tetap menempati rumahnya yang berada di dalam masjid tersebut.
Namun, dalil ini juga dianggap sebagai dalil yang lemah menurut sebagian ulama, karena bisa jadi perempuan tersebut memang sudah tidak haid atau ketika haid dia akan pergi ke tempat lain.
Alhasil, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa persoalan ini masih menjadi perbincangan yang hangat di kalangan ulam fiqih. Ada yang mengharamkannya secara mutlak, ada yang merincinya, dan ada yang membolehkannya secara mutlak.
Kendati demikian, seluruh ulama sepakat bahwa keharaman masuk masjid bagi perempuan yang haid masih bergantung pada alasan rasionalnya (illah), yaitu mengotori dan tidak menghormati masjid.
Oleh karena itu, selagi perempuan yang haid bisa menjamin darah haidnya tidak keluar (tembus dan mengotori) ke daerah masjid maka ia tetap dinilai orang yang menghormati masjid, dan tentu boleh beraktivitas di dalamnya.
Terlebih, pada zaman sekarang hampir seluruh pembalut yang dikenakan perempuan bisa menjamin keamanannya. Lantas, masihkah perempuan yang haid dilarang untuk belajar agama kepada penceramah di dalam masjid dengan alasan mengotori dan tidak menghormati masjid?
Bukankah orang yang mengasingkan dirinya dari masjid lebih tidak menghormati masjid daripada sekadar perempuan haid yang ingin belajar agama di dalam masjid? (rol)