Lalu, bagaimana lagi jika ada orang kedua, disusul orang ketiga yang datang terlambat, tentu makin banyak jamaah yang salat di samping imam. Oleh karena itu, masalah ini mengisyaratkan lemahnya pendapat yang ke dua ini.
Pendapat Ketiga
Pendapat yang memberikan perincian dalam masalah ini. Yaitu, apabila dia masih mendapatkan sedikit celah untuk masuk ke saf di depannya, dan dia tidak melakukannya dan memilih membuat saf sendirian di belakang, maka salatnya tidak sah. Namun, jika dia sudah berusaha mencari dan saf betul-betul sudah penuh, maka boleh menjadi makmum sendirian di belakang saf.
Inilah yang menjadi pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibnu Qudamah, dan juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah. Ulama kontemporer yang memilih pendapat ini adalah Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahumullah.
Pendapat yang Paling Kuat dan Alasannya
Pendapat ketiga inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini, dengan didukung beberapa alasan (argumentasi) berikut ini:
Pertama, para ulama sepakat bahwa rukun dan wajib salat itu gugur ketika tidak mampu dikerjakan. Sebagaimana perkara yang haram juga gugur ketika terdapat situasi darurat. Ini adalah salah satu kaidah penting dalam syariat. Misalnya, berdiri adalah rukun salat. Namun, ketika seseorang tidak mampu berdiri, dia boleh salat sambil duduk atau berbaring. Menyusun saf bukanlah termasuk rukun dan wajib salat. Kita tidak ragu lagi bahwa kalau memang tidak bisa bergabung dengan saf yang sudah ada (karena sudah penuh), maka ini adalah situasi ‘udzur yang bisa dimaklumi.
Kedua, bahwa dalil-dalil umum dari syariat juga menguatkan hal ini. Misalnya, firman Allah Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala semampu kalian.” (QS. At-Taghaabun [64]: 16)
Juga Firman Allah Ta’ala,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)