Eramuslim – Di masa perang atau konflik bersenjata banyak negara menggunakan senjata ekonomi untuk menekan lawan.
Antara lain dengan melakukan aksi boikot tidak menjual dan atau membeli barang negara atau pihak yang diboikot.
Tentu saja, dalam situasi konflik upaya melumpuhkan musuh dapat dibenarkan secara logika.
Dalam kitab-kitab fiqih para ulama membahas hukum berdagang dengan pihak musuh. Mayoritas ulama membolehkan kecuali senjata atau lainnya yang dapat disalahgunakan untuk menyerang balik. Pada dasarnya, hukum boikot diperbolehkan dalam agama.
Tetapi hukumnya bisa beragam, tergantung sejauh mana pengaruh dan efektivitasnya. Bila berdampak membahayakan dan merugikan kaum Muslim maka hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram. Tetapi bila memberi pengaruh besar melemahkan negara atau pihak yang menyerang maka hukumnya bisa menjadi wajib atau dibolehkan.
Argumen aksi boikot bisa ditemukan dalam Alquran dan sunnah, antara lain yang pertama firman Allah:
فَاِذَا انْسَلَخَ الْاَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُّمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوْا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍۚ
Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian ….” (QS at-Taubah: 5).
Imam al-Thabari menafsirkan kata wahshurûhum (kepunglah) dengan mencegah mereka melakukan transaksi di negeri Muslim (Tafsir al-Thabari, 14/134). Termasuk di dalamnya segala bentuk pengepungan, baik ekonomi maupun militer.