Ya, tetap mendapatkan kesunahan puasa, namun tidak mendapatkan pahala seperti yang terdapat pada hadits tersebut, karena hubungannya dengan puasa Ramadhan. Oleh karena itu, orang yang masih punya utang puasa Ramadhan harus di-qadha’ dahulu, baru melakukan puasa Syawal.
Dilansir dari laman Tebuireng Online, semua produk fiqih adalah hasil ijtihad ulama. Oleh karena itu, ada saja ulama yang berpendapat lain tentang hal ini.
Konsep taba’iyyah (subordinasi) memberikan konsekuensi bahwa puasa Syawal harus dilakukan setelah lengkap puasa Ramadan. Sebagaimana pendapat di atas tadi.
Namun, konsep taba’iyyah juga mencakup taqdiriyyah (kira-kira) yang mana boleh melaksanakan puasa Syawal dulu kemudian baru qada puasa Ramadhan. Bisa juga mencakup mutaakhirah (pengakhiran) yang berarti “menganut” tidak selalu di belakang.
Terkadang ada “menganut” yang letaknya di depan, seperti sholat qabliyah yang menganut sholat fardhu. Dengan pemahaman seperti ini, maka disunahkan melakukan puasa Syawal walaupun masih punya utang puasa Ramadhan.
Level puasa menurut Imam Ghazali
Utang puasa yang dimaksud hanyalah utang yang disebabkan karena udzur. Mungkin karena datang bulan (haid/mestruasi), sakit, atau musafir. Bila utang puasa itu karena disengaja, tanpa ada udzur, maka puasa Syawalnya tetap tidak diperbolehkan, bahkan haram hukumnya.
Sebab, ia berarti telah menunda kewajiban yang harus dilakukan sesegera mungkin (qadha’ fauri), yaitu qadha puasa Ramadan.
Demikian tinjauan fiqih mengenai puasa Syawal bagi kita yang masih mempunyai tanggungan puasa Ramadhan. Semoga kita bisa mendapatkan hikmah dan fadhilah dari puasa Ramadhan ini, dan bisa menyempurnakannya dengan puasa Syawal. Sehingga kita mendapat limpahan pahala dari Allah sebanding dengan pahala setahun penuh. Amin. (Okz)
Oleh: Hilmi Abedillah
Penulis adalah santri Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari