Eramuslim – Siapa yang tidak gembira kala menyambut kelahiran si buah hati. Sebelum kelahiran pun, semua hal tentang si kecil sudah dipersiapkan. Mulai dari belanja baju bayi, menyiapkan kamar khusus, hingga menyurvei tempat yang paling cocok untuk melahirkan.
Tak ketinggalan juga, orang tua utamanya suami menyiapkan nama untuk sang buah hati. Di era teknologi, bahkan ada beberapa aplikasi digital yang menyediakan daftar nama untuk anak lengkap sesuai abjad dan maknanya.
Memberikan nama yang baik adalah hak anak sekaligus kewajiban utamaa bagi sang ayah. Melihat kemajuan zaman dan akses teknologi yang luas, setiap orang tua memiliki preferensi tersendiri dalam menamai anak. Sebagai orang Indonesia yang memiliki budaya lokal, banyak orang tua yang menamai anak mereka dari bahasa Arab. Dan, kini berkembang dengan mengambil nama dari bahasa-bahasa asing lainnya? Bolehkah menamai anak dengan bahasa asing?
Ketua Persatuan Ulama Dunia, Syekh Yusuf Qaradhawi, menilai tidak terlarang menggunakan nama asing untuk anak sepanjang maknanya baik. Contoh paling dekat dalam kasus ini adalah istri Nabi SAW yang melahirkan Ibrahim bernama Mariyah al-Qibthiyyah atau yang terkenal dengan nama Qibthi al-Mishri dari Mesir.
Syekh Qaradhawi menjabarkan dalam nama-nama sahabat dan tabiin pun didapati beberapa nama yang merupakan nama tumbuh-tumbuhan. Seperti Thalhah, Salmah, dan Hanzhalah. Atau juga nama yang merupakan benda mati, seperti Bahr, Jabal, dan Shakr.
Yang jauh lebih penting adalah nama tersebut mestilah nama yang baik dan tidak membuat sang anak kecewa saat ia mengerti kelak. Jangan sampai memberikan nama asing, tapi artinya adalah sesuatu yang hina, bernada pesimistis, atau nama-nama orang jahat dan pendurhaka. Nabi SAW bahkan tak segan-segan mengganti nama-nama yang terkesan buruk. Orang yang bernama Ashiyah (wanita durhaka) diganti dengan Jamilah (wanita cantik).