Di antara ulama yang membolehkan mentalqin mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:
تَلْقِينُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ لَيْسَ وَاجِبًا بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا كَانَ مِنْ عَمَلِ الْمُسْلِمِينَ الْمَشْهُورِ بَيْنَهُمْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَائِهِ. بَلْ ذَلِكَ مَأْثُورٌ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْ الصَّحَابَةِ؛ كَأَبِي أُمَامَةَ، وَوَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ. فَمِنَ الْأَئِمَّةِ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ كَالْإِمَامِ أَحْمَدَ، وَقَدْ اسْتَحَبَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَأَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ. وَمِنَ الْعُلَمَاءِ مَنْ يَكْرَهُهُ لِاعْتِقَادِهِ أَنَّهُ بِدْعَةٌ. فَالْأَقْوَالُ فِيهِ ثَلَاثَةٌ: الِاسْتِحْبَابُ، وَالْكَرَاهَةُ، وَالْإِبَاحَةُ، وَهَذَا أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ.
“Mentalqin mayit setelah kematiannya itu tidak wajib, berdasarkan ijma’, juga tidak termasuk perbuatan yang masyhur di kalangan umat Islam pada masa Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya. Tetapi, hal itu dicritakan dari sebagian sahabat, seperti Abi Umamah dan Watsilah bin Al-Asqa’. Karenanya, sebagian ulama membolehkannya, seperti imam Ahmad. Sebagian sahabat (murid) imam Ahmad, dan sahabat-sahabat imam Syafi’i mensunnahkannya. Sebagian ulama menghukuminya makruh, karena meyakininya sebagai bid’ah. Dengan demikian, ada tiga pendapat dalam hal ini; sunnah, makruh, dan mubah. Dan pendapat yang terakhir (mubah) merupakan pendapat yang paling adil” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Al-Fatawa Al-Kubra, juz 3, h. 356).
Ketiga, sebagian ulama mazhab Maliki menyatakan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya makruh. Syekh Abdul Wahab Al-Baghdadi Al-Maliki menyebutkan:
وَكَذَا يُكْرَهُ عِنْدَهُ – أَيْ عِنْدَ مَالِكٍ – تَلْقِيْنُهُ بَعْدَ وَضْعِهِ فِي قَبْرِهِ
“Begitu pula dimakruhkan, menurut imam Malik, mentalqin mayit setelah diletakkan di dalam kubur” (Abdul Wahhab bin Ali Al-Baghdadi, Syarhur Risalah, h. 266).