“Disunnahkan mentalqin mayit segera setelah menguburnya, di mana seseorang duduk di depan kepala mayit, dan berkata: Wahai fulan anak fulan, dan wahai hamba Allah anak hamba perempuan Allah. Ingatlah janji yang atasnya kamu keluar dari dunia, yaitu persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu baginya, sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan rasulNYA, surga itu benar, neraka itu benar, kebangkitan itu benar, kiamat itu pasti datang; tiada keragu-raguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan orang yang ada dalam kubur. Dan sungguh kamu telah meridhai Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai Nabi, Al-Qur’an sebagai imam, Ka’bah sebagai kiblat, dan kaum Mukminin sebagai saudara” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 303).
Sedangkan, Syekh Al-Bahuti dari mazhab Hanbali menulis:
وَسُنَّ تَلْقِيْنُهُ أَيْ: الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ عِنْدَ الْقَبْرِ؛ لِحَدِيْثِ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
“Dan disunnahkan mentalqin mayit setelah dipendam di kuburan, karena hadits riwayat Abi Umamah Al-Bahili radhiyallahu anhu” (Mansur bin Yunus Al-Bahuti, Syarh Muntahal Iradat, juz 1, h. 374).
Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi menegaskan, mentalqin mayit setelah dikubur hukumnya mubah. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:
أَنَّ تَلْقِينَ الْمَيِّتِ مَشْرُوعٌ، لِأَنَّهُ تُعَادُ إلَيْهِ رُوحُهُ وَعَقْلُهُ، وَيَفْهَمُ مَا يُلَقَّنُ.
“Sesungguhnya mentalqin mayit itu disyariatkan, sebab ruhnya dikembalikan kepadanya, begitu pula akalnya. Dia memahami apa yang ditalqinkan (diajarkan)” (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 3, h. 153).