Assalamualaikum Ustadz,
Semoga anda dilimpahkan rahmat oleh Allah SWT.
Ustadz, saya ingin bertanya sedikit. Saya berasal dari keluarga yang lingkungannya adalah orang – orang Muhammadiyah.
Sejak saya menikah saya dan isteri saya tinggal di lain kampung, kita sebut saja lah orang kampung tersebut menganut mazhab yang umum ada di Indonesia.
Pertanyaan saya timbul setelah saya tinggal di kampung tersebut. Dahulu ketika belum menikah saya tidak melihat masalah antara perbedaan yang ada, saya sholat di mana saya singgah, tetapi ketika saya tinggal di kampung saya yang sekarang ada saja yang mempermasalahkan aqidah saya.
Sebagai contoh ketika saya sholat ied di masjid kampung saya terdahulu (yang berketepan kami sholat ied duluan) ada saja tetangga saya dan rekan – rekan saya yang berkomentar tidak baik.
Pertanyaan saya ustadz bagaimana saya seharusnya bersikap, karena kita semua adalah umat Islam.
Atas perhatian ustadz saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamualaikum
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Memang salah satu resiko dalam kasus anda adalah bahwa anda akan dikucilkan dari pergaulan di kampung anda. Setidaknya, orang-orang akan merasa asing dengan anda dalam masalah-masalah ubudiyah. Mengingat anda punya cara ibadah yang boleh jadi dianggap aneh dan tidak umum di mata orang-orang di kampung anda.
Padahal boleh jadi sebenarnya urusannya cuma urusan perbedaan pendapat (khilafiyah) fiqhiyah, di mana para ulama sejak zaman dahulu memang sudah berbeda pendapat. Dan perbedaan pendapat itu tidak sampai menyebabkan kesalahan atau dosa. Toh semua memang ada landasan syariahnya. Bahkan para ulama itu sendiri tidak jarang sering mengoreksi kembali pendapat mereka.
Pendeknya, kalau masalah itu masih di tangan para ulama yang ahli di bidang ilmu fiqih, insya Allah tidak menjadi masalah. Karena toh masalah-masalah di mana mereka berbeda pendapat itu sebenarnya memang masalah yang tidak bisa ditampik untuk terjadi beda pendapat. Lantaran semua dalil yang ada sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat itu.
Bahkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah mengungkapkan rasa syukurnya bahwa dahulu para shahabat sering berbeda pendapat. Hikmahnya, agama ini menjadi begitu luas dan luwes juga sekaligus. Tidak hanya satu versi saja, melainkan banyak variasi.
Tapi,
Masalahnya tidak semua orang paham seni berbeda pendapat seperti layaknya para shahabat dan ulama yang senior di masa lalu. Kebanyakan orang-orang di sekeliling kita adalah orang yang terbiasa dengan satu pendapat dalam masalah fiqih.
Variasi dan perbedaan pendapat yang sebenarnya sangat banyak di dunia fiqih, terkadang disikapi dengan cara yang berbeda oleh mereka di zaman kita sekarang ini.
Sebut saja anda, yang kebetulan sejak kecil dididik dan diwarnai dengan tata cara peribadahan khas Muhammadiyah, lalu anda menikah dan tinggal di kampung isteri yang kebetulan bukan bergaya khas Muhammadiyah, untuk tidak mengatakan Nahdhatul Ulama.
Maka sudah dapat diprediksi bahwa akan terjadi begitu banyak perbedaan tata cara pendekatan dalam pandangan agama. Itu merupakan resiko yang harus anda ambil, tatkala memutuskan untuk tinggal di kampung isteri anda yang khas itu.
Tapi kita pun tidak bisa menyalahkan masyarakat begitu saja. Sebab apa yang mereka pelajari dari guru ngaji dan ustadz mereka mungkin memang demikian. Satu versi saja dan sudah. Sama sekali tidak pernah dibicarakan bahwa selain apa yang mereka ajarkan itu, ada pendapat-pendapat lain yang agak berbeda.
Akibatnya, para murid yang ikhlas itu hanya tahu fiqih satu versi saja. Tidak pernah tahu bahwa sebenarnya ada banyak versi pendapat, yang boleh dikatakan semuanya benar.
Dan kita juga tidak bisa menyalahkan para guru ngaji atau ustadz mereka yang mengajarkan murid-muridnya ilmu fiqih hanya dengan satu versi saja. Sebab barangkali yang dibutuhkan memang cukup satu versi saja, tidak perlu semua versi diajarkan.
Mengajarkan ilmu fiqih hanya dengan satu mazhab tidak bisa disalahkan, karena buat anak-anak atau buat sekedar bisa menjalankan ibadah yang bersifat praktis, tentu tidak perlu dilakukan kajian perbandingan mazhab. Yang penting, orang-orang sudah bisa beribadah kepada Allah dengan benar, meski menggunakan hanya satu mazhab saja. Toh, sebenarnya sudah cukup dan mungkin dirasa saat itu tidak perlu diperluas ke sana kemari. Yang penting sudah sah dan selesailah masalah.
Lagian, tidak semua guru ngaji bisa menguasai semua mazhab fiqih untuk diajarkan. Karena mungkin dahulu belajarnya memang hanya satu mazhab saja. Dan mungkin juga gurunya guru mereka pun setali tiga uang.
Yang Perlu Diluruskan
Jadi yang perlu diluruskan sebenarnya sederhana saja. Cukup bagi tiap-tiap umat Islam untuk tidak mudah langsung menyalahkan orang lain yang kebetulan tata cara ibadahnya tidak sama dengan kita.
Memang agak sulit juga, sebab terkadang ada tindakan kurang bijak dari sebagian guru ngaji, yaitu ikut-ikutan menyalahkan orang lain yang tata cara ibadahnya tidak sama dengan apa yang diajarkan.
Motivasinya bisa beragam, mungkin karena persaingan, atau karena memang sama sekali tidak tahu adanya perbedaan pendapat. Atau karena sebab-sebab lainnya.
Sikap yang Dianjurkan
Tapi khusus buat anda dan kita semua yang sering mengalami masalah ini, karena kita adalah minoritas dan berada di wilayah mayoritas, mungkin tidak ada salahnya bila kita bersikap lebih dewasa. Maksudnya, tidak ada salahnya bila kitalah yang sedikit ‘mengalah’. Jangan paksakan orang-orang di sekeliling kita untuk bisa memahami diri dan mazhab kita sendiri.
Justru sebaiknya kita ini yang harus ikut memahami mazhab orang-orang di sekeliling kita. Misalnya, kalau jamaah masjid di sekitar rumah kita terbiasa melakukan qunut shalat shubuh, lalu kita sendirian tidak melakukannya, maka tidak ada salahnya bisa suatu saat kita ikut tenggang rasa dengan mereka. Toh, sebenarnya urusan qunut bukan urusan aqidah yang bila dilanggar menggugurkan syahadat.
Dari segi hukum fiqih, seandainya kita ikut qunut shalat shubuh, toh tidak berdosa dan tetap tetap berpahala.
Mengapa berpahala?
Karena kita telah berupaya menyesuaikan diri dengan pendapat jumhur orang-orang yang ada di sana. Sikap kita itu persis seperti sikap Al-Imam Asy-Syafi’i saat beliau diminta menjadi imam shalat shubuh di masjid yang jamaah berkeyakinan bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah.
Padahal, Asy-Syafi’i berfatwa bahwa qunut shalat shubuh itu sunnah muakkadah, dengan sekian banyak hujjah dan dalil shahihnya. Namun sebagai imam yang bijak, beliau sengaja tidak melakukan doa qunut saat itu. Maka jamaah pun puas atas sikap seorang begawan fiqih legendaris itu.
Nah, kalau seorang Imam Asy-Syafi’i yang ilmunya ribuan kali lebih banyak dari kita, beliau bisa melakukan tindakan yang teramat bijaksana, mengapa kita yang jauh lebih bodoh dari beliau, tiba-tiba merasa angkuh dan terlalu percaya diri dengan pendapat kita sendiri. Padahal level kita ini hanya muqallid (orang yang taklid buta dengan guru), jauh dari level mujtahid, apalagi mujtahid mutlak seperti keempat imam mazhab. Bahasa arab tidak bisa, kitab juga tidak punya, yang ada cuma katanya ustadz anu begini dan begitu. Cuma katanya, sama sekali bukan ilmu.
Orang yang jauh lebih dalam ilmu bisa bersikap sangat tawadhu’ dan sangat toleran, sedangkan kita yang ilmunya sangat dangkal, kok bisa-bisanya bersikap keras dan sok mempertahankan ijtihad?
Mending hasil ijtihad sendiri, lha ini cuma ijtihad orang lain yang sebenarnya juga bukan level mujtahid. Aneh bin ajaib memang.
Belajar Fiqih Perbandingan Mazhab
Belajar fiqih dengan banyak mazhab memang jarang digelar di pesantrren atau majelis taklim. Setahu kami, gaya seperti itu hanya dilakukan di fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab, atau pada beberapa majelis taklim yang levelnya sudah tinggi.
Misalnya seperti yang dahulu kami alami saat masih menimba ilmu di Universitas Islam Muhammad Ibnu Suud Kerajaan Saudi Arabia. Delapan semester kuliah di sana, kami memang ‘dijejali’ dengan berbagai materi kuliah tentang khilafiyah antara mazhab.
Saat ujian, tidak ada satu pun soal ujian materi fiqih yang keluar kecuali pertanyaannya adalah bagaimana hukum suatu masalah menurut mazhab ini dan mazhab itu, lengkap dengan dalil mereka masing-masing. Kepala bisa botak memang.
Nah, buat kita yang belum mendapatkan kesempatan belajar fiqih perbandingan mazhab, setidaknya sikap bijaksana dan toleran ala Al-Imam Asy-Syafi’i itu sangat baik bila diteladani. Setidaknya, kita tidak perlu memancing di air keruh, ikan tidak dapat tapi airnya malah jadi keruh.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Ahmad Sarwat, Lc