Assalamualaikum wr, . Wb
Salam sejahtera pa ust saya mau tanya bagaimana apabila seorang penceramah menjadikan dakwahnya sebagai profesi, sehingga ditakutkan niat mereka tidak ikhlas., dan banyak dari mereka yang mengtargetkan materi apabila ingiin memengil mereka untuk berceramah
Fahry ramadhan
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pekerjaan berceramah memang sering dipandang orang dari dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Sehingga apakah layak seorang menjadikan ceramah sebagai profesi, tentu saja pandangannya menjadi sangat beragam.
Ada kalangan yang membolehkan hal itu namun ada juga yang justru beranggapan hal itu tidak layak. Apalagi bila sampai menjadi sebuah kegiatan profit dan dikemas dengan managemen bisnis ala perusahan komersial.
Ceramah = Mengajar
Ada orang yang memandang bahwa ceramah tidak lain dari kegiatan sebagaimana layaknya seorang guru atau dosen yang mengajar.
Kalau kita mensejajarkan tindakan berceramah dengan tindakan mengajar, rasanya berceramah tidak mengharamkan imbalan atau honor. Masak sih kita melarang pak guru dan pak dosen menerima gaji?
Nantibeliau-beliau itu mau makan apa? Bagaimana pula dengan anak dan isteri mereka? Siapa yang harus menafkahi?
Mereka yang mensejajarkan kegiatan berceramah dengan mengajar, mengatakan bahwa amat layak seorang yang berceramah mendapatkan honor atau gaji dari usahanya. Selain sangat berjasa, para pengajar secara umum dalam pandangan kita memang berhak dan layak menerima honor.
Bahkan di masa nabi, seorang yang bisa mengajarkan 10 orang lain untuk bisa sekedar membaca dan menulis, mendapat imbalan yang sangat besar. Bahkan para tawanan perang Badar yang non muslim itu, akan dibebaskan dengan syarat bisa selesai mengajar baca tulis.
Padahal kita tahu bahwa harga tebusan untuk tawanan perang sangat tinggi. Dan itu terbayarkan hanya dengan mengajar baca tulis untuk 10 orang saja.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengajarkan ilmunya berhak mendapat honor atau imbalan materi, bahkan dengan nilai yang lumayan menggiurkan.
Ceramah = Perjuangan
Namun ada juga kalangan yang memandang bahwa ceramah seharusnya tidak sesederhana mengajar seperti pak guru dan dosen, melainkan ceramah adalah sarana penyebaran ide, fikrah, aqidah, nilai-nilai agama sekaligus nilai-nilai perjuangan.
Kalangan ini lebih cenderung menganggap bahwa berceramah dianggap bukan pekerjaan profit eriented, namun lebih sebagai aktifitas seorang nabi kepada kaumnya. Bagi mereka yang berpandangan demikian, maka seorang penceramah tidak layak menerima imbalan berupa materi, sebagaimana seorang nabi tidak berharap sisi finansial dari aktifitasnya itu. Dan para nabi memang tidak pernah meminta upah, honor, gaji, atau amplop.
Mereka pun berpedoman kepada ayat-ayat Al-Quran yang menyebukan ketidak-layakan menerima honor.
Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan?" (QS. Huud: 51)
Katakanlah, "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya.(QS. Al-Furqan: 57)
Katakanlah, "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku. Dan aku bukan termasuk orang yang mengada-adakan. (QS. Shaad: 86)
Para murobbi dan pembina halaqah tarbiyahbisa kita jadikan sebagai contoh sederhana, mereka umumnya tidak pernah menerima imbalan uang atau honor. Meski mereka bersibuk-sibuk dengan beragam jenis pembinaannya.
Semua dilakukan dengan ikhlas karena tuntutan perjuangan. Padahal jumlah halaqah pengkaderan mungkinribuan jumlahnya. Namun tidak ada anggaran yang turun dari pusat, tidak ada slip gaji dan tidak ada tunjangan pensiun. Namun semua berjalan serta bisa melahirkan lapis demi lapis generasi rabbani.
Ceramah= Showbiss
Di negeri kita yang ummatnya hobi dengan tontonan, entah sudah bosan dengan beragam aliran musik atau sebab lain, ternyata selipan acara ceramah lumayan menarik minat. Berikutnya, seringkali kegiatan ceramah dielaborasi dengan seni pentas dan pertunjukan. Kegiatan berceramah disejajarkan dengan pentas seni.
Dan bicara pementasan, tentu tidak bisa dilepaskan dari urusan dana dan finansial. Dan tidak aneh kalau kita sering mendengar bahwa seorang ustadz menerima honor sekian puluh juta rupiah untuk sekali mentas yang durasinya hanya beberapa menit saja. Maka terkenal istilah da’i sejuta umat dan da’i sejuta rupiah.
Da’i Sejuta Rupiah
Logikanya, seorang artis yang kerjanya menebar maksiat dan cuma menghadirkan kebahagiaan sesaat, bisa menerima honor puluhan juga rupiah. Masak seorang ustadz yang sebenarnya juga diminati oleh khalayak, kok cuma disampaikan ucapan terima kasih alias syukron?
Bagi mereka, amat layak bila pak ustadz yang menebar kedamaian, kebenaran dan kesejukan iman, juga menerima honor sepadan dengan para artis.
Bahkan ada yang bilang, seharusnya honor pak ustadz lebih tinggi dari honor para artis. Sebab yang diberikan pak ustadz itu adalah kebenaran hakiki, sedangkan para artis hanya bisa memberikan hiburan sesaat.
Layak atau Tidak?
Yang jadi pertanyaan barangkali, bolehkah ceramah dan dakwah dikemas sedemikian rupa dengan kegiatan pementasan atau pertunjukan? Adakah analisa dan contoh keberhasilan dakwah dengan cara seperti itu?
Jawabannya tergantung dari target dakwah yang diinginkan. Kalau ceramah di atas pentas seni ditujukan agar lahir pada kader yang militan, rasanya memang terlalu jauh. Tetapi kalau sekedar menjadi alternatif pentas dunia hiburan yang sebelumnya sangat sekuler berganti menjadi pertujukan yang bernuansa religi, mungkin tidak terlalu sulit.
Jadi tergantung target dan tujuannya, bukan masalah layak atau tidak layak. Sebab tidak kegiatan pasti punya tingkat efektifitas dan kemampuannya. Setiap senjata punya keampuhannya masing-masing.
Dakwah ala Sunan Kalijaga
Sejarah dakwah dibaurkan dengan seni pementasan di negeri kita, sebenarnya bukan hal yang aneh. Bahkan sejak zaman para wali songo dulu, sudah ada Sunan Kalijaga yang mentas berdakwah dengan pertunjukan wayang kulitnya, serta berhasil mempermak tokoh jagad pewayangan menjadi media dakwah.
Entah bagaimana logika yang dikembangkan oleh sunan Kalijaga itu, yang jelas tindakan beliau memang tidak lantas disetujui oleh wali penyebar agama Islam yang lain. Sejarah mencatat bahwa perdebatan antar dua pendekatan pernah terjadi. Ada kubu yang lebih cenderung ingin berdakwah apa adanya, tapi ada yang ingin berdakwah lewat seni pertunjukan.
Juga tidak jelas apakah Sunan Kalijaga memungut karcis pertunjukan wayang atau pementasan itu digelar secara gratis. Namun yang pasti, masyarakat Jawa amat menggandrungi wayang sekaligus terIslamisasi dengan cukup merata, meski dengan berbagai tingkat penerimaannya masing-masing.
Bahwa masih tersebar bid’ah, khurafat, tahayyul, atau aqidah yang menyimpang, barangkali memang masih menadi pe-er besar. Tapi setidaknya, metode Sunan Kalijaga itu sudah berhasil membuat bangsa Jawa yang beragama Hindu atau Budha menjadi berstatus muslim secara sah.
Barangkali di masa itu, problem dakwah terbesar adalah masalah pengakuan keberadaan agama Islam. Belum masuk ke urusan bid’ah dan khurafat. Sehingga target yang terpenting adalah bagaimana agar orang-orang berstatus muslim saja dulu. Urusan pembinaan lebih dalam, nanti ada program khususnya. Barangkali…
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc