Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, di daerah saya masih menganut tradisi kejawen yang sangat kental, bahkan di keluarga besar saya. Kadang saya ingin pergi untuk menghindari hal-hal tersebut. Contohnya kalau ada pernikahan pasti ada sesajen-sesajennya, bahkan ada sesajen makanan yang dibuang ke perempatan jalan. Astagfirullah………
Ada tokoh tetua desa yang menjadi panutan, mengenai masalah hitungan hari baik, hitungan weton, dll. Saya sudah berusaha menjelaskan ke keluarga saya bahwa hal tersebut tidak ada dalam Islam, tapi mereka belum bisa menerima, bahkan ada yang menyakini jika ritual tersebut tidak dilakukan, maka keluarga akan mendapatkan musibah.
Saya sudah berusaha lobi-lobi ke keluarga kalau misalkan saya menikah nanti untuk meninggalkan ritual-ritual tersebut. Tetapi ujung-unjungnya perdebatan yang terjadi. Ada keluarga yang mengatakan bahwa biarkan saja itu dilakukan orang tua, saya tidak perlu ikut campur, asal saya tidak menyakininya, yang penting proses pernikahannya lancar.
Bagaimana menyikapi hal tersebut ustadz, soalnya di keluarga besar, saya hanya sendirian? Saya ingin proses yang Islami ustadz, yang jauh dari kesyirikan. Mohon penjelasannya ustadz.
Jazzakumullah khairan katsir Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sungguh mulia niat dan keinginan anda dalam rangka memurnikan kembali aqidah Islam di tengah keluarga. Dan tentunya bukan hanya anda saja yang sedang mengalaminya, ada ribuan saudara kita yang lain yang juga sedang bercita-cita untuk membersihkan aqidah kita dari berbagai kekeliruan dan penyimpangan.
Cita-cita itu bahkan sudah dimulai jauh sebelum kita lahir, paling tidak beberapa abad yang lampau. Kita mengenal ada Syeikh Muhammad Ibnul Wahhab di jazirah arabia yang juga telah mengumandangkan seruan untuk membersihkan aqidah Islam. Serta ribuan ulama lainnya.
Di negeri kita sendiri ada gerakan kaum Paderi yang juga punya cita-cita sama.
Namun tujuan dan niat mulia memang tidak selalu mulus jalannya. Akan selalu ada aral melintang, halangan menghadang serta tribulasi yang tiada henti. Yang pasti, semua perjuangan itu pasti akan dijadikan nilai tersendiri di sisi Allah SWT, sebagai bukti kita telah berupaya menegakkan panji-panji aqidah.
Sekedar Renungan
Di tengah semangat kita berjuang, tidak ada salahnya kalau sesekali kita melakukan evaluasi hasil kerja. Evaluasi ini akan menjadi sangat penting demi mendapatkan hasil yang lebih baik lagi nantinya.
Salah satu yang perlu kita pikirkan secara kritis adalah masalah latar belakang munculnya penyimpangan aqidah di kalangan umat Islam. Kita perlu sedikit mempelajari masalah ini secara lebih serius, agar bisa dengan mudah kita analisa serta kita cari solusinya yang efektif.
Sebagaimana kita telah pahami, bahwa penyimpangan aqidah ini sudah ada jauh sebelum kita lahir. Mungkin malah sudah sejak zaman nenek moyang berabad-abad yang lalu. Dan orang Jawa sendiri punya karakteristik khusus yang sangat khas, yaitu mereka sangat menjaga tradisi dari nenek moyang. Bahkan tradisi ini sampai menjadi jalan hidup dan aqidah tersendiri.
Ketika pengaruh agama Islam yang beraqidah murni masuk ke negeri ini, meski banyak yang masuk Islam, namun tradisi dan kepercayaan lama sulit dihilangkan begitu saja. Di beberapa tempat, resistensi terhadap masuknya aqidah Islam terasa lumayan kuat.
Bahkan sebagain pengamat sejarah menyebutkan, bahwa para penguasa Hindu yang dahulu berkuasa di pulau Jawa kemudian tersingkir dengan pengaruh Islam, lalu membangun ‘benteng pertahanan’ khusus di pula Dewata Bali.
Sebagiannya lagi melakukan resistensi dengan jalan naik gunung atau masuk hutan untukmengasingkan diri dari kehidupan ramai, sehingga menjadi komunitas tersendiri. Misalnya masyarakat Tengger dan Baduy.
Dan sebagiannya lagi, meski resistensinya tidak terlihat namun tetap ada dan tidak kalah kuatnya. Bentuknya adalah sikap dan pandangan aqidah yang ada di sebagian masyarakat kita. Meski secara lahiriyah mereka sudah masuk Islam, sehingga secaar zahir dianggap sudah tidak ada masalah, namun dari sisi pemahaman aqidah, ternyata masih kental dengan tradisi dan kepercayaan nenek moyang di masa lalu.
Inilah fakta yang harus kita baca sebagai bekal mental kita dalam menghadapi realitas masyarakat. Bahwa pada sebagian elemen masyarakat ini, resistensi terhadap aqidah Islam dan upaya mempertahankan tradisi dan kepercayaan nenek moyang memang sangat berurat dan berakar.
Sehingga sekedar ceramah dan nasehat verbal akan menjadi tidak ada artinya. Bukan mengecilkan makna dakwah, namun sebagai da’i, kita perlu melihat realitas juga.
Kemungkinan Perubahan
Namun bukan berarti kami ingin menyerah dengan keadaan. Tetap akan ada peluang untuk melakukan perubahan-perubahan. Misalnya lewat pergantian generasi, lewat kurikulum pendidikan, atau lewat media massa. Bahkan kalau perlu lewat pesan-pesan tersirat dari beragam pesan.
Selain itu, secara psikologis perlu juga dipikirkan untuk tidak selalu menyanyikan lagu yang sama setiap saat. Kalau setiap hari orang mendengar dari kita hanya tentang masalah pembersihan aqidah saja, tidak ada solusi dan variasinya, lama-lama mereka bosan juga.
Apalagi di depan mereka ada masalah yang lebih menuntut perhatian, misalnya masalah kemiskinan yang akut, tingkat pendidikan yang sangat rendah, kesejahteraan yang tidak pernah ada. Bagaimana mungkin kita paksa mereka untuk mengikuti seruan kita, sementara perut mereka lapar, badan mereka telanjang tak berpakaian, otak mereka bebal tidak pernah makan sekolahan. Maka apalah arti ceramah-ceramah kita, sementara mereka berada dalam himpitan yang nyata?
Mengapa kita tidak melihat cara para pendeta dan misionaris yang pandai membujuk rayu calon korbannya dengan materi dan kesejahteraan? Mengapa harus orang lain yang bisa merangkul kalangan miskin umat Islam? Mengapa kita terlalu sibuk mencari celah serta aib saudara kita yang kita curigai telah melakukan syirik dan bid’ah, sementar tetangga kita yang kelaparan tidak kita kasih makan? Saudara kita yang tidak punya pekerjaan tidak pernah kita pikirkan bagaimana mereka menyambung hidup?
Pendeknya, sulit bagi kita kalau tema sehari-hari yang kita angkat hanya selalu terpaku pada satu titik saja.
Memang benar bahwa kebersihan aqidah merupakan pondasi dasar dari segalanya, namun pondasi itu tidak akan tertanam kalau kita tidak pernah melakukan penggalian sebelumnya. Dan pekerjaan membangun bangunan itu bukan hanya semata menanam pondasi belaka, tetapi juga harus diikuti dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Selain memang harus punya perencanaan.
Kita Perlu Menggalang Sinergi
Terakhir, untuk menyingkirkan aqidah yang sesat ini, kita perlu menggalang sinergi dengan berbagai kalangan umat. Tentu saja masing-masing elemen umat ini punya perbedaan-perbedaan, namun dibandingkan dengan persamaan-persamaannya, tetap lebih banyak persamaannya.
Maka mengapa kita tidak menggalang persatuan dengan sesama umat Islam, meski dalam beberapa hal kita memang masih berbeda berpendapat? Mengapa kita tidak memperkecil pertentangan dengan sesama muslim dan menguatkan kekompakan di antara kita?
Ketahuilah bahwa umat ini akan sangat kuat dan aqidah yang rusak itu bisa dengan mudah kita hilangkan, manakala kita bekerja tidak sendirian, melainkan bersama-sama.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc