Setelah itu datang Maqil bin Sinan radhiyallahu anhu, beliau mengatakan bahwa dulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memberikan keputusan yang sama untuk seorang wanita bernama Barwa bintu Wasyiq. (HR.Turmudzi 1176, Nasai 3524, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Keterangan Ibnu Masud, Mahar seperti umumnya wanita menunjukkan bahwa ketika terjadi ketidak jelasan dalam hak atau kewajiban dalam muamalah, dikembalikan kepada urf (aturan yang berlaku di masyarakat).
Di tempat kita, nilai ujrah mistl distandarkan salah satunya dalam bentuk UMR (Upah Minimum Regional). Bolehkah Upah di bawah UMR? Bukan syarat dalam ijarah, upah harus mengikuti ujrah mitsl. Sebagaimana bukan syarat dalam pernikahan, mahar harus mengikuti mahar mitsl. Hanya saja, jika tidak sesuai dengan ujrah mitsl, harus ditegaskan di awal, agar tidak terjadi sengketa.
Umar bin Khatab pernah memberikan kaidah, “Sesungguhnya bagian-bagian hak itu harus dipersyaratkan (di awal).” (HR. Bukhari secara muallaq).
Normalnya, seorang karyawan menerima upah senilai UMR. Namun jika perusahaan hendak memberikan yang kurang dari itu, makaaa dia harus jelaskan di depan, sewaktu penerimaan karyawan. Selanjutnya, karyawan berhak untuk menentukan pilihan, antara melanjutkan jadi karyawan dengan upah di bawah UMR ataukah mundur.
Jika calon karyawan setuju dan tetap memilih bekerja di perusahaan itu, berarti dia telah ridha dengan upah di bawah UMR. Sehingga nantinya dia tidak boleh menuntut. Yang bisa dilakukan adalah mengajukan resign, jika kedepannya ingin mendapat lebih. (Inilah)
Demikian, Allahu a’lam.
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits