Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang terhormat, langsung saja, di Indonesia adalah hal yang biasa bahwa untuk pengurusan surat-surat penting seperti SIM, paspor, bahkan kadang-kadang KTP, kita harus mengeluarkan uang lebih dari ketentuan. Jika tidak mau membayar, maka akan dipersulit ataupun lama sekali diurusnya. Jika dengan kondisi seperti ini kita lantas membayar, apakah termasuk dalam suap?
Terima kasih atas jawabannya.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Seharusnya di era reformasi seperti sekarang ini, sudah tidak perlu lagi kejadian buruk itu terjadi. Sebab paradigma pelayanan publik itu sudah berubah. Paling tidak di kalangan konseptornya. Namun seperti yang Anda katakan, kenyataan di lapangan seringkali tidak sesuai dengan teorinya.
Ternyata masih banyak urusan birokrasi yang bertele-tele dan berujung kepada uang pelicin. Kalau ada uang pelicinnya, urusan bisa cepat. Bahkan kalau perlu malam hari pun akan dilayani. Sebaliknya, kalau tidak ada uangnya, maka berbulan-bulan sebuah berkas itu hanya akan mengendap di laci meja.
Semua ini berujung pangkal dari mentalitas para pelayan masyarakat itu sendiri. Di mana selama ini etos kerja yang dikembangkan memang sedemikian rupa. Sampai hari ini masih banyak kebobrokan di masa lalu yang masih berseliwerant. Dan ujung-ujungnya kembali lagi kepada berapa uang yang disetorkan. Kalau ada uangnya, uruusn bisa cepat. Tapi kalau tidak ada, dijalankan apa adanya.
Ada sebuah rumah makan cepat saja yang seharusnya kita bisa bercermin. Rumah makan ini bukan hanya mampu memberikan hidangan siap santap dalam hitungan detik, tetapi punya fasilitas pelayanan delivery yang terbilang profesional. Bahkan 24 jam siap melayani siapapun yang meneleponnya. Dengan harga yang sangat murah, jam 3 malam kita bisa makan sahur dengan menu restoran cepat saji. Pegawainya datang mengetuk pintu kita di tengah malam buta, sekedar untuk mengantarkan makanan pesanan kita.
Semua ini bisa berjalan karena managemen yang profesional, sistem yang canggih, ditambah prinsip pelayanan kepada pelanggan yang maksimal. Dan tentunya pelanggan bisa menikmati pelayanan yang baik.
Mampukah para pejabat di negeri kita menciptakan sistem yang seperti ini?
Rasanya memang agak mustahil. Sebab kalau kita lihat sejak awal proses seorang pejabat menduduki jabatannya, belum apa-apa sudah ada kolusi, sogok, monety politik, serta aroma uang yang bertebaran di sana-sini. Idealisme tentang pelayanan publik yang profesioal seperti yang dikembangkan restoran cepat saji itu nyaris sudah dikubur hidup-hidup. Justru paradigma yang terjadi adalah bagaimana menjadi kantor pelayanan publik dan birokrasi itu sebagai tambang emas atau sapi perah.
Maka kita sebagai rakyat tidak lain didudukkan sebagai sapi perah, korban dari managemen bobrok yang sudah usang, serta mentalitas pegawai negeri yang masih punya paradigma lama. Kalau kita butuh pengurusan yang cepat padahal itu adalah hak kita, kita akan dipaksa terperangkap dengan tarif tertentu.
Semua ini bisa diibaratkan bahwa kita seperti kafilah dagang yang melintasi padang pasir, lalu di tengah jalan dibegal, dijarah, dirampok dan masih syukur kalau tidak dihabisi nyawanya. Untuk bisa selamat dari pembegalan ini, para perampok itu memaksa kita uang tebusan.
Karena tidak ada pilihan lain, terpaksa kita pun harus memberikannya, agar harta dan nyawa kita bisa diselamatkan. Sebab kalau tidak, resikonya adalah kita akan kehilangan harta sekaligus nyawa. Tentu saja di mana-mana pembegalan itu adalah sebuah kejahatan. Namun kalau kita terpaksa harus berkorban memberikan sebagian harta kita kepada para pencoleng itu, bukan berarti tindakan kita itu salah.
Demikian pula ketika hak kita untuk bisa mendapat pelayanan sesuai dengan waktunya tidak terpenuhi, sementara kita dikejar waktu. Maka dalam pandangan kami, meski perbuatan memberikan uang pelicin itu tidak bisa dibenarkan, namun dalam hal ini kita hanya sedang menebus hak kita yang dibegal oleh para ‘penjahat birokrasi’ itu. Hak kita adalah mendapat pelayaan yang cepat dan memuaskan, tetapi hak itu dirampas oleh mereka. Tidak diberikan kecuali kalau kita harus bayar tebusan. Maka ketika kita membayar tebusan itu, dari sudut pandang kita, bukanlah sogokan, melainkan kita menebus hak kita yang dirampas.
Adapun yang disebut dengan sogokan yang diharamkan adalah bila kita menyogok seorang pejabat untuk berlaku curang, melanggar hukum dan aturan, atau mengeluarkan keputusan yang tidak adil dan merugikan orang lain. Atau menyogok seorang hakim agar memenangkan perkara kita, padahal kita tahu bahwa kitalah yang salah.
Jumhur ulama memberikan pengecualian kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang terentu. Intinya, yang minta berdosa karena menghalangi seseorang mendapatkan haknya, sedangkan yang membayar untuk mendapatkan haknya tidak berdosa, karena dia melakukan untuk mendapatkan apa yang jelas-jelas menjadi haknya secara khusus. Maksudnya hak secara khusus adalah untuk membedakan dengan hak secara umum.
Jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa
Demikian dijelaskan dalam beberapa kitab fiqih seperti Kasysyaful Qinna` jilid 6 halaman 316, juga kitab Nihayatul Muhtaj jilid 8 halaman 243, juga di dalam tafsir Al-Qurtubi jilid 6 halaman 183, kitab Ibnu Abidin jidli 4 halaman 304, kitab Al-Muhalla jidli 8 halaman 118 serta kitab Matalib Ulin Nuha jilid 6 halaman 479.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.