Assalamualaikum wr. wb.
Saat ini diperkirakan gunung Merapi di Jawa Tengah/DIY sedang aktif dan akan meletus. Berbagai data menunjukkan semakin aktifnya gunung ini. Namun ada yang sedikit mengusik kita lantaran adanya kepercayaan sebagian penghuni lereng Merapi terhadap makhluk yang mereka bernama "Mbah Petruk." Konon makhluk ini adalah penghuni gunung Merapi dan menjadi kebiasaan masyarakat setempat untuk memberikan sesaji kepadanya, agar selamat dari bahaya meletusnya gunung ini.
Bagaimanakah pandangan ustadz dalam masalah ini, adakah "Mbah Petruk" sebuah wujud nyata ataukah hanya mitos yang menjadi legenda? Lalu apa hubungannya antara si Mbah ini dengan fenomena alam secara ilmiyah?
Mohon penjelasannya dan sebelum serta sesudahnya kami mengucapkan banyak terima kasih atas jawabannya.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mbah Petruk atau mbah apapun namanya, kalau diberikan sesaji dan dipercaya sebagai penghuni gunung, yang pasti adalah adalah makhluk yang ingkar kepada Allah SWT. Itu pun kalau memang nyata ada.
Memang dalam sudut pandang agama Islam, adanya makhluq ghaib itu tidak diingkari wujudnya. Yang diingkari adalah sikap menjadikannya sebagai sesuatu yang ditakuti, atau disucikan dan bahkan disembah. Memberikan sesaji serta meminta doa kepada makhluq ghaib dalam pandangan Islam adalah sebuah dosa dan sekaligus syirik.
Sebagai muslim, kita boleh saja mempercayai keberadaan makhluq ghaib, sebab Al-Quran sendiri menyatakan demikian.
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
Alif Laam Miim.Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 1-3)
Iman kepada yang ghaib di sini hanya terbatas mengakui keberadaannya, tetapi sama sekali tidak menyerahkan nasib kepada-Nya. Maka tindakan sebagian saudara kita yang tinggal di lereng Merapi untuk berdoa kepada Mbah Petruk serta mengadakan ritual pemberian sesaji dan sejenisnya, tentu merupakan sebuah kemungkaran yang harus dihilangkan.
Para ustadz, ulama, da’i, kiyai dan penceramah serta kaum muslimin di negeri ini secara umum, bertanggung-jawab atas kekeliruan aqidah sebagian saudara kita itu. Janganlah tempat tinggal mereka yang terpencil di lereng gunung menjadi alasan dari absennya seruan dakwah kepada mereka.
Memang berdakwah di lereng Merapi sama sekali tidak menarik, terutama buat para penceramah ibu kota yang terbiasa dengan gembar-gembor acara. Bahkan tidak ada yang memberikan amplop bila berdakwah di sana. Selain itu, keadaan alamnya pun sulit dijangkau. Belum lagi masyarakatnya memang umumnya berlatar belakang tidak mampu.
Walhasil, tidak ada yang mau datang ke sana dan memperbaiki aqidah mereka, atau mengajarkan mereka ilmu-ilmu agama secara lebih baik. Maka wajarlah bila nilai agama mereka pun agak menyedihkan. Sudah miskin secara ekonomi, miskin pula aqidahnya.
Seharusnya ada proyek dari umat Islam ini yang lebih memperhatikan nasib mereka. Di mana proyek itu, paling tidak, bisa menghadirkan sejumlah juru dakwah yang bertugas dengan penuh dedikasi dan keikhlasan. Tentunya dengan memperhatikan juga ma’isyah (penghidupan) mereka dengan cara ditanggung oleh proyek ini.
Tugas para juru dakwah itu adalah mengembalikan masyarakat kepada aqidah dan jalan agama yang benar. Hingga mereka beriman hanya kepada Allah SWT dengan memurnikan aqidah dan ketaatan kepada-Nya. Serta berlepas diri dari ketergantungan jin-jin kafir yang menyesatkan.
Barangkali tugas itu harus dimulai dengan melakukan pendataan penduduk, baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas pelaksanaan syariah Islam. Kemudian juga melakukan pendataan terhadap tokoh dan atau lembaga dakwah yang sama-sama punya proyek dakwah serupa yang barangkali sudah ada sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sinergi yang saling menguatkan di antara sesama juru dakwah. Agar tidak saling bersinggungan dengan cara yang kurang produktif. Demikian juga keterlibatan masyarakat setempat yang sudah punya pemahaman Islam yang lebih baik, sangat perlu untuk dilibatkan. Agar sinergi datangnya dari semua pihak.
Lalu setelah data dari lapangan diterima, perlu dilakukan pengecekan ulang (recheck) dan harus juga dilakukan pengecekan silang (cross check), agar datanya dijamin lebih valid.
Kemudian mulai dibuat strategi jangka panjangnya, dengan dilengkapi dengan dengan langkah-langkah teknis jangka pendek, berikut dengan tips-tips jitu dalam memberikan masukan dakwah kepada mereka. Sangat dianjurkan untuk mencari juru dakwah yang menguasi bahasa mereka, bahkan kalau perlu, dicari yang asalnya memang dari sana. Sebab biasanya faktor bahasa dan penguasaan budaya serta tradisi, sangat berpengaruh dalam kesuksesan sebuah proyek dakwah.
Dan yang lebih penting dari semua itu adalah sistem pengawasan dan evaluasinya. Sebab kita ini terbiasa punya niat baik, ide besar, rencana gemilang, tapi giliran pelaksanaannya, seringkali tanpa dilengkapi dengan sistem pengawasan dan evaluasi yang serius. Kadang juga tidak jelas, kepada siapakah pertanggung-jawaban kerja itu harus disampaikan. Termasuk sistem audit pengelolaan dananya.
Untuk mensponsori proyek ini, kita bisa menghimbau kepada para ustadz dan da’i kondang ibu kota untuk memberikan sedikit bantuannya, khususnya untuk mempelopori poryek besar ini. Mungkin secara bergiliran mereka mendatangi lereng Merapi yang sebenarnya sangat indah, untuk berdakwah di tengah mereka. Kira-kira seperti yang sudah dilakukan di Aceh selama ini akibat mushibah Tsunami.
Kalau seluruh elemen umat Islam bahu membahu menolong saudaranya dari kegelapan jahiliayah, insya Allah pekerjaan yang berat bisa menjadi ringan.
Semoga ada hikmah di balik peristiwa hampir meletusnya gunung Merapi ini, yang bisa dijadikan sebagai ladang untuk mendapatkan bekal kita di akhirat nanti. Amien Ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.