Assalamu’alaikum pak Ustadz,
Semoga Bapak dilimpahi berkah dan rahmatNya sehingga terus dapat membimbing kami dengan menjawab pertanyaan kami. Amiin.
Saya langsung bertanya saja pak Ustadz,
1. Apa yang dimaksud majelis zikir (dalam buku Riyadush Shalihin ada kata ini).
2. Bolehkah menggunakan sebuah Asmaul Huzna sebagai lafal zikir untuk mencapai suatu maksud tertentu (misal Ar Razak biar jadi orang kaya)
3. ibu saya pernah mengikuti tarekat tertentu. Katanya ada zikir Allah (sebagian berkata kata tunggal tidak boleh untuk zikir). Dan katanya ketika sudah berzikir banyak bilangannya maka kaya ada yang meghantam dada. Menurut gurunya zikir untuk menghantam dada supaya masuk ke sanubarinya. Bahkan teman-teman ibu saya ada yang trace. Bagaimana sebenarnya pak Ustadz?
Maaf pak, pertanyaan saya agak banyak. Terimakasih atas perhatian dan jawabannya.
Wassalamu’alaikum wr. Wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sesuai dengan makna bahasa, yang disebut dengan majelis adalah tempat di mana orang-orang duduk berkumpul. Dan makna dzikirsecara bahasaadalah mengingat. Namun secara istilah, dzikir seringkali diidentikkan dengan ucapan lafadz di lidah dengan niat ibadah.
Oleh karena itu secar umum, majelis dzikir seringkali oleh para ulama dimaknai sebagai majelis yang dihadiri oleh orang banyak untuk melakukan dzikir di lidah.
Versi Lain Makna Majelis Dzikir
Memang ada sebagian ulama yang memaknai kata majelis dzikir bukan sebagai majelis untuk berdzikir secara lisan, tetapi dalam pandangan mereka majelis dzikir adalah majelis tempat diajarkannya ilmu agama.
Dalilnya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan orang awam bertanya kepada orang yang punya ilmu. Dan di dalam Al-Quran, orang yang punya ilmu disebut ahludz-dzikri.
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada ahludz dzikir (ahli ilmu/ulama) jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)
Kita menemukan komentar Imam Ibnul Qayyim tentang ahludzdzikir, beliau berkata, "Ahludz dzikir yaitu, orang yang paham tentang apa-apa yang diturunkan Allah kepada para Nabi."
Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah (wafat tahun 114H) berkata, "Majelis dzikir adalah majelis ilmu, majelis yang mengajarkan halal dan haram, bagaimana membeli, menjual, bagaimana puasa, belajar tata cara shalat, menikah, thalaq (cerai) dan haji."
Imam asy-Syathibi menjelaskan, "Majelis dzikir yang sebenarnya adalah majelis yang mengajarkan al-Qur-an, ilmu-ilmu syar’i (agama), mengingatkan umat tentang Sunnah-Sunnah Nabi agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah agar umat berhati-hati terhadapnya dan menjauhkannya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya."
Majelis Dzikir Secara Lisan
Namun hujjah bahwa yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah dzikir dengan lisan juga tetap kuat. Sebab di Al-Quran pun tidak selalu kata dzikir dikaitkan dengan ilmu. Tetap ada banyak ayat lain yang menyebutkan kata dzikir dalam arti dzikir dengan lisan.
Misalnya ayat berikut ini:
وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ
"Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah…" (QS. Al-Ahzaab: 35)
Keutamaan Majelis Dzikir
Lepas dari perbedaan pendapat dengan makna majelis dzikir, namu keutamaanmajelis dzikir ini memang disebutkan di dalam hadits nabawi, salah satunya terdapat dalam kitab Riyadhusshalihin.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling, mereka mengikuti majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemui majelis yang didalamnya ada dzikir, maka mereka duduk bersama-sama orang yang berdzikir, mereka mengelilingi para jamaah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruangan antara mereka dengan langit dunia, jika para jamaah itu selesai maka mereka naik ke langit (HR Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689)
Hadits di atas dan beberapa hadits lainnya telah membuat seluruh ulama sepanjang zaman sepakat bahwa berdzikir di dalam suatu majelis itu disunnahkan dan punya keutamaan. Tidak ada satu pun ulama yang mengingkari keutamaan dzikir berjamaah.
Berbeda Secara Teknis
Namun ketika bicara tentang teknis berdzikir di dalam suatu majelis, para ulama punya pandangan yang berbeda.
Sebagian ulama memandang bahwa urusan teknis diserahkan kepada kreatifitas masing-masing. Misalnya, dzikir dilakukan dengan suara keras, dengan menggunakan langgam dan irama tertentu, bahkan ada lead vocal dan ada koor.
Bagi mereka, selama Rasulullah SAW tidak mengaturnya dan tidak juga melarangnya, dzikir berjamaah boleh dilakukan dengan berbagai teknis.
Namun sebagian ulama lain mengatakan sebaliknya, tidak boleh bila dilakukan secara koor, ada pimpinan dan ada jamaah yang mengikuti. Dalam pandangan mereka meski sudah di dalam satu majelis, dzikir tetap harus dikerjakan sendiri-sendiri. Bahkan ada juga yang tidak membolehkan dzkirdengan suara keras, harus di lisan saja tanpa terdengar.
Argumentasi mereka, bahwa dzkikr berjamaah dengan suara keras, dengan irama, ada pimpinan dan jamaah, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bagi mereka dzikir itu harus diucapkan secara berbisik, tidak boleh sampai terdengar.
Hujjahnya adalah kisah ketika Rasulullah SAW berjihad pada perang Khaibar, para sahabat menyerukan takbir seraya membaca, "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah", dengan suara keras maka Rasulullah SAW bersabda:
"Tahanlah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli maupun jauh, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang Maha mendengar yang dekat dan Dia selalu bersama kalian." (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi sebenarnya kalau mau jujur, kedua belah pihak sebenarnya sedang berijtihad. Di mana masing-masing datang dengan argementasi yang disusunnya sendiri. Padahal tidak ada satu pun dalil yang secara kuat membenarkan teknis itu atau melarangnya.
Benar bahwa Rasulullah SAW tidak pernah diriwayatkan berdzikir dengan cara bersama-sama dengan satu komando dan diikuti dengan paduan suara jamaahnya, namun ternyata tidak ada satu pun dalil dari Beliau SAW yang melarangnya juga.
Hadits yang qath’i tsubutnya tidak bicara sama sekali tentang teknisnya. Sementara hadits yang qath’i secara dilalah tidak kita dapati tentang larangan teknik-teknik dzikir itu.
Berdzikir Asmaul Husna
Al-asma’ al-husna adalah nama-nama Allah yang indah. Dan kita memang diminta untuk memanggil namanya yang indah itu dalam doa-doa kita.
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu (QS. Al-A’rah: 180)
Jadi memang dibenarkan ketika kita meminta kepada Allah, kita sebut namanya. Dan logikanya, ketika kita miskin minta diberikan harta oleh yang Maha Kaya, kita sebut nama-Nya sebagai Yang Maha Kaya. Kalau kita minta dikasihani oleh-Nya, maka kita sapa Dia dengan namaNya, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dan begitulah seterusnya.
Mabuk Dzikir
Sedangkan tata cara dzikir dengan berteriak-teriak sampai seperti orang gila, trace dan tidak ingat apa-apa, itulah bentuk dzikir yang bertentangan dengan sopan santun, etika dan akhlaq.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc