Kemudian, menurut Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah keempatnya sepakat melarang memperjual-belikan daging kurban, dengan Alasan yang sangat rasional.
“Jika kulit hewan kurban saja dilarang untuk dijualbelikan maka daging kurban tentu sama dilarang untuk dijualbelikan.”
Meski demikian, menjual daging kurban diperbolehkan bagi para fakir dan miskin yang telah menerima dating tersebut. Sebab kepemilikan mereka terhadap daging kurban tersebut adalah sempurna.
“Mereka para fakir dan miskin, orang yang kekurangan menerima sedekah kurban, menurut Syafiiyah dan Hanabilah boleh bagi mereka menjual daging kurban tersebut. Sebab kepemilikan mereka terhadap daging kurban tersebut adalah sempurna dan sesuai,” kata Ustadz Ainul.
Sebagaimana Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan:
وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره
Artinya: “Boleh bagi orang fakir melakukan tasharruf (tindakan) pada daging kurban, baik menjualnya atau tindakan lainnya”. (Tuhfatul Muhtaj jilid 9, hal. 423).
Oleh karenya orang menerima sedekah hewan kurban (fakir miskin) atau orang yang dihadiahi daging kurban (para kerabat dan tetangga) boleh menjualnya, karena status mereka telah memiliki daging yang disedekahi dan barang yang telah dimiliki boleh dijual belikan.
“Namun lain halnya jika orang kaya yang menerima daging kurban, itu dianggap sebagai hadiah dari kurban, dan kepemilikan mereka tidak sempurna. Tidak boleh bagi mereka menjual daging tersebut, hanya boleh memanfaatkannya untuk dimakan (litho’am),”
Lebih lanjut, status daging kurban yang diberikan kepada fakir miskin adalah hak milik secara penuh, utuh artinya bagi fakir miskin boleh mengalokasikan daging kurban secara bebas, baik dimakan ataupun dijual.
“Sedangkan status daging kurban yang diberikan kepada orang kaya adalah ith’am (hidangan/dimakan) sehingga hanya boleh untuk dikonsumsi, disedekahkan dan tidak boleh dijual dagingnya.(Abu Bakar Syayha, Hasyiyah I’anah Ath-thalibin, Al Haramain, Vol.2, Hal 334)” pungkasnya. (okz)